Kapitalisme, Tambang, dan Opium Pembangunan (Antara Luwuk dan Lengkololok)

Oleh: Louis Jawa*

Kabupaten Manggarai Timur mencatatkan namanya dalam berita paling populer, selain Covid-19 dalam media pemberitaan online di Nusa Tenggara Timur. Industri pabrik semen begitu ramai didiskusikan dan diperdebatkan, oleh pelbagai kalangan, baik dari kalangan pemerhati lingkungan hidup hingga masyarakat diaspora asal Lambaleda yang merantau ke tanah orang.

Sesungguhnya, Manggarai Timur mencatatkan sebuah prestasi membanggakan sekali terutama dalam hal penanganan masalah Covid-19 ini, terutama menjadi salah satu kabupaten yang peka dan siaga total hampir di semua sudut desa dan perbatasan kecamatannya. Mengagumkan sekali kepekaan pemerintahan seperti ini, juga menjadi cermin dan cambuk bagi kabupaten sekitarnya, yang terkesan sangat elitis dan kaku dalam menangani pandemi virus mematikan ini.

Dinamika industri pertambangan sekurang-kurangnya memadamkan citra baik itu, namun tetap pada porsinya, ketika dua bidang ini terbentuk dalam kompleksitas persoalannya masing-masing.

Luwuk dan Lengkololok, kini tengah dipersiapkan dengan begitu matang oleh investor tambang untuk bahan baku batu gamping dan pabrik semen. Lengkololok yang ada pada ketinggian, menjadi pusat dari batu gamping sebagai bahan dasar semen, juga pada bagian terdalamnya memiliki kandungan mangan yang istimewa.

Lengkololok pernah menjadi area pertambangan mangan, dengan kawah besar di atasnya, kini dioperasikan kembali dengan dalih batu gamping. Luwuk persis ada pada pesisir pantai yang tenang dengan dataran panjang, yang berbatasan dengan Serise dan Lengkololok.

Inilah titik lokasi yang sedang menjadi perdebatan publik, secara de fakto investor telah mengantongi tanda tangan persetujuan dari warga dua kampung besar ini. Tidak main-main, lebih dari 90 persen masyarakat sudah menyatakan persetujuannya, dan hanya sedikit saja yang menolak untuk menandatangani dokumen penting itu.

Kemakmuran pembangunan dengan industri pertambangan memang terasa seperti sebuah ilusi kesejahteraan yang menindis dan mencengkeram kesederhanaan masyarakat kecil, yang dengan tulus dan lugunya terbawa promosi, proyeksi, dan iming-iming betapa pertambangan itu lebih baik dan lebih menyejahterakan.

Luwuk dan Lengkololok persis masuk dalam dinamika pastoral saya setiap hari, ketika saya persis mengenal betapa masyarakat ini adalah petani, peternak dan pelaut, yang juga pada satu sisi kehidupan, menjadi kantong penghasil kayu api yang berkualitas.

Mereka lebih bergantung pada sektor kehidupan ini, lantas dalam kedekilan akal budi dan iman ini, saya lantas menggugat diri saya sendiri, “mengapa mereka begitu cepat membubuhkan tanda tangan persetujuan atas proyek raksasa, yang pada masa lalu, sama sekali tidak mempedulikan keluarga dan anak cucu mereka dan menyisakan kerusakan alam ciptaan?”

Atau dengan lebih sederhana dan tulus, saya bertanya,” mengapa kesederhanaan, ketulusan dan kerja keras masyarakat kecil, bisa dibelokkan menjadi sebuah dukungan tegas atas ide penguasa-pengusaha?”

Pastor Peter Aman,  Koordinator JPIC Kongregasi OFM Indonesia dalam sebuah seminar di aula St. Paulus Ledalero mengungkapkan, kebohongan-kebohongan dari investasi tambang antara lain tambang membawa kesejahteraan, tambang dapat memulihkan ekologi dengan program reklamasi, dengan investasi tambang infrastruktur seperti ketersediaan air minum, sekolah, klinik, sarana ibadat dan lain-lain terjamin dengan baik.

Selain itu, tambang juga memberi ganti rugi yang adil, limbah tambang atau polusi yang diakibatkan oleh tambang dapat diatasi dengan sempurna, hak-hak masyarakat dijunjung tinggi, dan ada lapangan kerja untuk masyarakat lokal.

“Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Tidak ada satupun proyek tambang di dunia ini yang menyejahterakan masyarakat lokal. Papua yang punya freeport, misalnya, sampai sekarang masyarakatnya tetap miskin dan sederhana. Di Manggarai juga sama. Ada seorang satpam dan istrinya yang bekerja di tambang, tetapi mereka tetap tinggal di sebuah gubuk reot 20 meter dari lokasi tambang dan sumber air mereka pun mengering serta terancam oleh limbah,” kata pegiat kemanusiaan yang pernah melakukan investigasi di lokasi tambang di Manggarai.

Don Klaudius Marut dalam seminar itu juga mengingatkan masyarakat akan potensi konflik dan bahaya penyingkiran masyarakat lokal dari sumber daya alam komunal sehingga perusahaan-perusahaan tambang bisa mengambil alih tanah tanpa kompensasi.

Sri Paus Yohanes Paulus II peduli pada lingkungan hidup. Pada tahun 1979, setahun setelah menduduki kursi kepausan, ia menyatakan Santo Fransiskus Asisi sebagai pelindung para pelestari lingkungan hidup.

Dalam suratnya, Sanctorum Altrix, ia juga menyebut Santo Benediktus sebagai orang kudus lain, pelindung ekologi. Benediktus bukan hanya membaca sabda Tuhan dalam Kitab Suci tetapi juga dalam kitab raksasa yakni alam raya.

Ia menulis: “kekuasaan yang diberikan pencipta kepada umat manusia atas seluruh bumi bukanlah kekuasaan yang mutlak. Kita tidak berhak berbicara tentang kebebasan untuk menggunakan atau mengatur segalanya sesuka hati. Dalam berhadapan dengan alam, kita harus tunduk di bawah hukum biologi dan hukum moral”.

Sebagai peringatan 20 tahun atas Ensiklik Populorum Progressio, ia mengeluarkan ensiklik Solicitudo Rei Socialis (SRS) yang menekankan arti penting lingkungan hidup yang dilanda krisis.

Pertama, SRS lebih menyadari bahwa pemanfaatan mahluk ciptaan bernyawa atau tak bernyawa selalu menimbulkan akibat yang tidak terhindarkan. Penggarapan kekayaan alam demi keperluan ekonomi tanpa mengingat kodrat setiap pengada dan saling keterkaitan di anataranya sistem organisme teratur (kosmos) memang berbahaya.       

Kedua, terdapat ciri keterbatasan sumber-sumber alam. Pemanfaatan kekayaan alam dengan sikap dominasi mutlak bukan hanya membahayakan generasi sekarang, tetapi juga generasi mendatang.

Ketiga, industrialisasi selalu menambah kontaminasi lingkungan dengan akibat-akibat berat untuk kesehatan masyarakat.

Tambang memang bukan atas ide dan inisiatif masyarakat sekitar lokasi pengerukan itu. Tambang juga bukan kios kecil tempat berbelanja kopi dan gula di dusun kita, karena tambang itu sesungguhnya adalah raksasa pertambangan.

Ia punya mekanisme dan struktur yang tersusun rapi. Memiliki tujuan tertentu dengan menggunakan seribu satu cara. Raksasa pertambangan bisa saja membungkus wajahnya begitu sederhana dalam selembar tiga daun uang biru lima puluh ribu untuk membeli makanan dan menyekolahkan anak.

Pertambangan tak pernah mengumbar dampak negatif kerusakan lingkungan hidup justru ketika ia memiliki setumpuk uang untuk sejenak  meninabobokan rakyat kecil tentang makna kebutuhan hidup sehari-hari.

Ini memang sebuah opium pembangunan di tangan kaum kapitalis.

* Pastor Desa, tinggal di Manggarai Utara

TERKINI
BACA JUGA
spot_img
spot_img