Larantuka, Ekorantt.com – Kehidupan bertani sangat lekat dalam kehidupan komunitas masyarakat adat di Desa Bantala, Kecamatan Lewolema, Kabupaten Flores Timur, NTT. Sebagai petani, mereka menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian dan perkebunan, seperti padi, jagung, umbi-umbian, sayuran, dan berbagai jenis buah-buahan lainnya.
Satu jenis panganan lokal yang dibudidayakan oleh komunitas masyarakat adat Bantala yakni jemawut (Setaria Italica). Jemawut adalah salah satu jenis pangan lokal yang dikonsumsi semasa paceklik, kala kekeringan atau krisis pangan berkepanjangan melanda.
Wete, demikian nama lokal jemawut di Desa Bantala. Jemawut diolah dengan cara yang sangat sederhana, yakni dimasak dengan air seperti menanak nasi. Usai dimasak, jemawut diguyur dengan santan kelapa.
Amat sederhana olahannya, namun rasanya sangat manis dan lembut di lidah.
“Dulu kami sering berlomba makan jemawut. Jika ada yang makan jemawut ukuran 2 kaleng susu hingga selesai maka jadi pemenang. Tapi tidak ada yang sanggup makan jemawut ukuran 2 kaleng susu sampai habis. Setengah gelas susu saja, kita sudah sangat kenyang. Satu kaleng susu, jemawut dapat dimakan oleh seluruh anggota keluarga dan kita dapat bertahan dari rasa lapar sepanjang hari,” ungkap Yohanes Kerobi Hurint, Ketua Komunitas tetua adat atau ‘Ata Kelake’ desa Bantala.
Kementerian Pertanian Indonesia merilis, jemawut adalah salah satu pangan lokal yang memiliki kandungan nutrisi yang lebih baik dibanding beras dan jagung.
Kandungan gizi yang dimiliki meliputi karbohidrat 84,2 %, protein 10,7 %, lemak 3,3 %, dan serat 1,4 %. Kandungan karbohidrat yang tinggi ini tentu saja membuat jemawut menjadi pangan andalan dalam menghadapi masa paceklik. Kandungan nutrisinya juga mampu meningkatkan stamina di tengah meluasnya pandemi Covid-19.
Cara menanam jemawut pun sangat mudah. Cukup dihamburkan di atas permukaan tanah. Dalam kultur budaya agraris Desa Bantala, jemawut ditanam di batas-batas kebun dan tidak bisa di tengah kebun.
Hal ini dilakukan karena proses pertumbuhan jemawut lebih cepat dan dapat menghambat proses bertumbuhnya padi dan jagung.
Banyak sedikitnya produksi jemawut tergantung luas lahan kebun adat yang digarap. Kalau lahan luas, pasti hasilnya juga banyak. Tapi kalau lahan yang digarap sedikit otomatis hasilnya sedikit.
Bagi masyarakat setempat, jemawut diyakini sebagai tanaman pelindung. Ia melindungi padi dan jagung dari serangan hama seperti babi dan monyet.
Selain dikenal sebagai cadangan pangan lokal saat musim paceklik, jemawut juga diyakini sebagai makanan yang berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai macam jenis seperti: demam, pembekuan darah, dan patah tulang.
Khusus untuk demam dan memperlancar peredaran darah, jemawut biasanya dimasak menjadi bubur untuk dimakan.
“Kalau patah tulang, biji jemawut diulek hingga halus dicampurkan ke air dan dioleskan ke bagian patah tulang. Ataupun membekunya darah di dalam tubuh akibat hantaman benda keras akibat kecelakaan, dimasak saja menjadi bubur untuk dikonsumsi sebagai obat dalam,” tutur Kerobi Hurint.
Tanaman Spiritual
Jemawut diperlakukan seistimewa padi dan jagung. Saat panen, jemawut adalah jenis pangan yang lebih dulu dipanen dan dibawa pulang ke hoku (pondok padi di dekat rumah). Masyarakat setempat pantang menjual jemawut dari kebun adat.
Masyarakat Bentala biasa menggunakan Jemawut sebagai sarana utama dalam ritual adat, misalnya; saat upacara Utalaka Sedan Puke (upacara adat panen padi) dan ritual adat pernikahan.
Dalam ritus Utalaka Sedan Puke, jemawut diletakkan dalam sebuah tempurung kelapa bersama seekor ikan, kemudian diletakkan di bawah batang padi dan jagung. Setelahnya, diinjak oleh tuan tanah setempat. Proses ini menandai mulainya proses panen di kebun adat.
Suku-suku tertentu di Desa Bantala memakai jemawut atau wete dalam pernikahan adat. Seorang wanita resmi menjadi istri seseorang anak suku apabila sudah makan wete yang disuap oleh sang suami dalam ritus ‘Taku Wete’. Jika belum, wanita itu belum dianggap sah sebagai istri.
Selain punya nutrisi yang banyak, Kerobi Hurint menuturkan, wete selalu hadir dalam sejarah masyarakat adat Sesa Bantala.













