E.P. Da Gomez: Politisi, Pemikir dan Pejuang Demokrasi (Sebuah Obituari)

Oleh: Andreas Hugo Pareira*

Sekitar setahun yang lalu diawal bulan Mei 2019, setelah selesai Pileg-Pilpres, sebelum kembali ke Jakarta, saya sempat berkunjung ke rumah E.P. Da Gomez.

Kalimat pertama, ketika menyambut kedatangan saya; “Bagaimana penghitungan suara?” Saya sampaikan bahwa untuk Pilpres dukungan untuk Jokowi-Amin dari NTT maksimal sekitar 80-an %. Sementara untuk Pileg DPR RI kursi terbagi merata ke 6 partai. Meskipun PDI Perjuangan meraih suara terbanyak, tetapi tidak cukup untuk kursi ke-2.

Namun untuk kabupaten, saya sampaikan ada tambahan satu kursi,  dan kemungkinan PDI Perjuangan keluar sebagai partai pemenang di Kabupanten Sikka. Mendengar PDI Perjuangan menang di Kabupaten Sikka raut wajah politisi senior ini senyum sumringah.

Seperti biasa, setiap kali bertemu EP da Gomez pembicaraan selalu dimulai dengan pertanyaan kritis; antara ingin tahu dan mengajak diskusi mengevaluasi realita politik baik nasional maupun daerah.

Kali ini pembicaraan dimulai EP dengan pertanyaan: “Andre, bagaimana menurutmu untuk memenangkan kursi DPR, dan kemudian memenangkan partai”.

(Baca juga: Ketika Orang Lain Masih Berbisik…)

Saya terkejut mendengar pertanyaan ini, terdengar biasa tetapi menukik pada substansi persoalan aktual yang dihadapi baik politisi maupun partai politik. Saya diam sejenak, merenung, karena saya tahu, frame berpikir sang begawan politik, dengan realita politik saat ini sudah sangat berbeda. Masa ketika dia di pentas politik, dengan situasi politik hari ini sudah jauh berubah.

Kemudian saya mulai dengan menjelaskan perubahan sistem politik secara nasional, perubahan sistem pemilu menjadi proporsional terbuka dengan suara terbanyak, dan praktik politik di lapangan yang tentu jauh berbeda dengan sistem proporsional tertutup dengan memilih tanda gambar partai, seperti yang berlangsung ketika EP da Gomez masih manggung di dunia politik.

Saya katakan kepada Mo’at EP, bahwa dengan sistem pemilu seperti saat ini, politisi yang berkontestasi di Pileg pasti berpikir yang pertama dan terutama adalah bagaimana dia terpilih. Dan untuk terpilih ada syaratnya, harus cukup modal sosial, modal politik dan modal finansial yang diramu dalam paket strategi kampanye.

Partai pun dalam mengusung Caleg akhirnya harus memasukkan variabel kemungkinan keterpilihan sebagai pertimbangan utama. Soal kompetensi sebagai politisi seringkali nomor dua.

Sampai pada poin ini, EP da Gomez langsung menyeletuk; “Wah, kalau begini saya tidak sanggup lagi. Realita politik kalian hari ini sudah jauh dari mimpi saya soal politisi dan partai yang ideal”.

Saya kemudian menambahkan, dengan sistem seperti ini yang diutamakan adalah terpilih (elected), bahwa yang terpilih itu mewakili  (represent), mudah-mudahan. Oleh karena itu, pentingnya kaderisasi dan di PDI Perjuangan kaderisasi dilakukan terus menerus baik sebelum maupun setelah terpilih agar mereka yang terpilih adalah kader yang  sadar mewakili rakyat.

Diskusi pun kami akhiri, dan saya pun pamit. Sambil mengantar saya ke mobil, EP da Gomez sempat berpesan: “Andre, kau terpilih, dan kaupun harus mewakili rakyat. Sampaikan juga kepada teman-teman yang terpilih, mereka juga harus bekerja mewakili rakyat”.

Itulah sekilas obrolan langsung saya terakhir dengan politisi senior EP da Gomez. Pada kesempatan lain setelah itu, beliau selalu menelepon melalui salah seorang puteranya untuk berdiskusi masalah partai atau hal politik yang beliau baca atau dengar.

EP da Gomez di kalangan masyarakat Kab Sikka, masyarakat Flores maupun NTT dikenal sebagai politisi yang kritis, loyal, dan berintegritas tinggi terhadap persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan baik di daerah maupun nasional.

Kalau Max Weber, sosiolog Jerman, menggambarkan sosok politisi ideal adalah mereka yang memahami politik sebagai panggilan hidupnya, Politik als Beruf (politik sebagai profesi), sosok itu ada pada seorang EP da Gomez.

Saya mengenal politisi kawakan ini, sejak saya masih SD-SMP di Kabupaten Sikka, di tahun 1970-80an, ketika itu bersama rekan-rekan politisi Partai Katolik berfusi menjadi PDI di Kabupaten Sikka.

Kemudian selama orde baru, dalam situasi yang dimarjinalkan secara nasional, EP da Gomez bersama rekan-rekan politisi PDI berjuang untuk tetap eksis, kritis terhadap kepemimpinan politik daerah yang berada dibawah payung Orde Baru.

Kalau di tingkat nasional selama orde baru, PDI adalah partai “underdog” yang selalu mengekor pada penguasa pada masa itu, tidak demikian halnya di Kabupaten Sikka.

Di Sikka karena tekanan dan represi penguasa Orde Baru, kursi raihan PDI selalu nomor dua di bawah Golkar, namun tidak demikian halnya dengan kiprah politisi-politisinya di DPRD yang selalu kritis terhadap pemerintah, sejak jaman Bupati Lorens Say, Dan Woda Pale sampai beralih ke masa reformasi.

Politik di Sikka selalu menjadi pantauan mata penguasa orde baru, baik di pusat maupun daerah. Sehingga tidak berlebihan kalau pada masa orde baru, Kabupaten Sikka dijuluki sebagai barometer politik NTT, dan salah satu motornya adalah EP da Gomez, yang pada saat itu adalah ketua Fraksi PDI.

Beralih zaman, masuk masa reformasi, kiprah EP da Gomez malah semakin bersinar. Kalau di tingkat nasional Megawati Sukarnoputri adalah simbol perlawanan terhadap orde baru, di Kabupaten Sikka EP da Gomez dan kawan-kawannya di PDI Pro Mega adalah simbol perlawanan terhadap penguasa lokal pada masa itu.

Untuk itu, EP da Gomez pun harus berpisah dengan sebagian kawan-kawan seperjuangan di PDI. EP da Gomez menentukan pilihan yang tepat secara politik mendukung Megawati Sukarnoputri dan bergabung dengan PDI Pro Mega yang kemudian bermetamorfosa menjadi PDI Perjuangan.

Pasca-reformasi, seolah menjadi masa transisi bagi seorang EP da Gomez. Sempat terpilih menjadi anggota DPRD mewakili PDI Perjuangan di awal reformasi, EP da Gomez kemudian mundur dari dunia politik praktis, dan lebih fokus menjadi penulis.

Kurang lebih 29 judul buku tentang politik, sosial kemasyarakatan dan sejarah kepemimpinan di daerah dihasilkan oleh seorang EP da Gomez. Beberapa buku yang ditulis oleh sang begawan politik ini antara lain: PDI, Pemilu, dan DPRD Kabupaten Sikka; Don Thomas Peletak Dasar Sikka Membangun; Memaknai Nilai Ketokohan dan Kepemimpinan.

Dunia EP da Gomez dalam satu dekade terakhir ini adalah dunia membaca, mengamati, mengkritisi, dan menulis.

Di partai yang ikut dibesarkannya, EP da Gomez lebih memainkan peran sebagai penasihat yg kritis terhadap semua yang diamggapnya tidak beres. Sebagai Dewan Pertimbangan Partai, EP da Gomez selalu hadir bilamana diundang untuk rapat partai.

Pada suatu kesempatan, ketika saya hadir sebagai DPP Partai untuk Rapat Koordinasi dengan DPC PDI Perjuangan Sikka, sebelum rapat dimulai sang politisi senior, meminta waktu untuk bicara.

EP da Gomez kemudian mengkritik kami semua yang hadir pada saat itu karena tidak disiplin. “Bagaimana partai ini bisa maju, kalau kader-kader partai mulai dari DPP, DPD, sampai ke Ranting tidak disiplin. Undangan rapat jam 15, jam 16 rapat belum dimulai”.

EP da Gomes mengomeli semua yang hadir. Sambil mendekati beliau, saya pun minta maaf karena setelah tiba di airport, saya mampir makan dulu di warung sebelum ke DPC untuk rapat.

Sambil senyum, EP da Gomez meminta agar rapat segera dimulai. Itulah EP da Gomez selalu lantang, kritis, dan penuh integritas sampai akhir hayatnya.

Selamat jalan om EP, sang politisi, sang inspirator, dan sang pejuang demokrasi. Jasa, nasihat dan karya-karya tulismu akan selalu kami kenang.

*Anggota DPR RI / Politisi PDI Perjuangan

spot_img
TERKINI
BACA JUGA