Jakarta, Ekorantt.com – Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) selama ini sangat lamban. Usaha mikro dan kecil yang dialokasikan dana sebesar Rp124 triliun dari total dana Rp695 triliun sampai saat ini ternyata salah sasaran.
“Usaha Mikro dan Kecil itu jumlahnya 99,3 persen dari sebanyak 64 juta pelaku usaha kita. Mereka selama ini adalah pemberi pekerjaan masyarakat hingga 95 persen dari total angkatan kerja. Mereka adalah sektor yang selama ini menghidupi ekonomi masyarakat banyak,” kata Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto dalam rilis yang diterima Ekora NTT tertanggal 13 Agustus 2020.
Menurut Suroto, selama ini program PEN difokuskan untuk dialokasikan ke korporasi besar yang sebetulnya memiliki dana cadangan lebih besar.
“Mereka diberikan berbagai bentuk skema pendanaan seperti restrukturisasi, subsidi bunga, dana penempatan, modal penyertaan, pengadaan bantuan sosial dan lain lain. Sementara alokasi sebesar Rp124 triliun untuk UMKM dan koperasi saja semua dialokasikan melalui mekanisme bank. Sementara bank dalam situasi seperti ini pasti semakin hati-hati salurkan pembiayaan,” sebutnya.
“Tim yang dipilih untuk pemulihan ekonomi juga tidak menggambarkan aspirasi dari mereka. Jadi sangat kecil sekali kemungkinan untuk membuat komitmen kepada usaha mikro dan kecil. Faktanya sampai hari ini masih menjadi wacana terus,” sambungnya.
Lebih miris lagi, jelas Suroto, dana Bansos (Bantuan Sosial) yang dikucurkan itu ternyata tidak memberikan dampak multiplier ekonomi secara signifikan. Sebaliknya, hanya memperkaya pelaku usaha korporat besar. Ini dapat dilihat dari pemenangan lelang dari bansos yang ada.
“Krisis ini ternyata justru hanya meningkatkan akumulasi dan konsentrasi pendapatan dari segelintir pemilik korporat besar. Ini bukan hanya menghambat proses akselerasi pemulihan ekonomi, tapi juga akan meningkatkan jurang kesenjangan sosial ekonomi,” ungkapnya.
“Sebelum pandemi saja, kesenjangan kepemilikkan kekayaan kita itu jauh parah dari rata-rata internasional. Menurut laporan akhir tahun 2019 dari lembaga riset internasional Credit Suisse, 82 persen dari 173 juta orang dewasa Indonesia hanya memiliki kekayaan di bawah 10.000 dollar amerika. Jauh di atas rata-rata dunia yang hanya 58 persen,” tambahnya.
Hanya 1,1 persen dari orang dewasa yang memiliki kekayaan di atas 100.000 dolar amerika. Hal ini jauh sekali di atas rata-rata dunia yang angkanya hingga 10,6 %.
“Kondisi ketimpangan kekayaan atau Rasio Gini Kekayaan kita sudah sangat tinggi sekali, yaitu 0,83. Diperjelas dalam laporan Suisse tersebut, hanya 1% kuasai 45 % kekayaan nasional,” jelasnya.