Jakarta, Ekorantt.com – Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto menilai bahwa UU Cipta Kerja sebetulnya semangat lama dan paradigma lama yang disusun untuk kepentingan memperkuat kepentingan lama para mafioso bisnis perusak lingkungan dan eksploitatif terhadap kemanusiaan, yang selama ini sudah berjalin kelindan dengan kepentingan elit politik dan elit kaya di Indonesia sebagai agennya.
Baginya, hal ini merupakan kemunduran jika ditinjau dari berbagai indikator kepentingan strategis nasional. Baik itu bagi kepentingan penyelamatan lingkungan dan kemanusiaan dan untuk ciptakan kemandirian ekonomi.
“Paradigma pembangunan dunia yang sedang mengarah pada penciptaan pembangunan berkelanjutan ditabrak semua. Mereka menabrak tujuan dari model indikator pembangunan berkelanjutan yang bervisi keadilan, perang terhadap kerusakan lingkungan dan eksploitasi kemanusiaan,” jelas Suroto.
“Menyimak pasal-pasalnya, Ini akan jadi blunder bagi kepentingan investasi itu sendiri karena melihat dari fungsi delegasi kewenangan yang memberikan diskresi kebijakan terlalu luas pada pemerintah. Diskresi yang longgar ini akan berpotensi ciptakan ketidakpastian hukum dan birokrasi lapangan yang akan semakin rumit, bukan untuk memperbaikinya,” tambahnya.
“Pandangan para pengusaha pro pembangunan hijau (green invesment) sudah pasti banyak yang tidak setuju. Bagi investor baru, ini juga bukan berita bagus. Ini kepentingan pebisnis hitam lama yang sudah berjalin kelindan lama,” imbuhnya lagi.
Lebih lanjut, Suroto mengatakan UU ini model invesment driven, bukan people driven yang andalkan investasi asing langsung (foriegn dirrect invesment). Menyasar ke komoditi ekstraktif dan ini merupakan kebijakan lanjutan dari penciptaan pembangunan infrastruktur yang selama ini digenjot pada periode pertama.
UU Ciptaker, beber Suroto, adalah satu paket dari kebijakan lama. Jebakan masuk pada ketergantungan utang haram yang dikomitmenkan membangun faktor pendukung bagi investasi asing, yang akan merusak lingkungan dan “serobot tanah rakyat lebih luas, pengendalian harga secara ologopsoni dan terakhir sasarannya adalah pada jebakan konsumsi yang saat ini sebetulnya sudah terlihat rentan karena ketergantungan terhadap importasi yang tinggi”.
Bahkan menurut Suroto, para pembentuk UU ini sudah melanggar secara serius prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan juga hak-hak konstitusional warga.
“Maka baiknya segera dihentikan saja. Investasi di sektor komoditi ekstraktif selama ini hanya ciptakan biaya sosial dan kerusakan lingkungan yang tinggi yang dalam kepentingan jangka panjangnya menambah beban fiskal. Dalam kepentingan jangka pendek juga tidak akan langsung berikan keuntungan bagi masyarakat kecuali janji surga”.
“UU ini juga banyak mengecoh masyarakat, seakan UU Cipta Kerja ini akan banyak berikan angin segar bagi UMKM dan koperasi. Ini omong kosong karena pasal-pasalnya tidak imperatif”.
Suroto menegaskan bahwa Undang Undang ini malah akan banyak membunuh inisiatif warga karena banyak mengarahkan ke persoalan teknis. Ini hanya akan berfungsi untuk melegitimasi kepentingan proyek elit. Istilah “pembinaan, pemberdayaan” dan bahasa teknis lainya di UU selama ini ternyata justru telah menempatkan fungsi pemerintah sebagai creator (pencipta) dan destroyer (perusak) sekaligus.