Oleh: Anselmus D. Atasoge*
Dalam sebuah seminar dialog virtual bertema “Kontribusi Para Pemimpin Agama dalam Menanggulangi Ekstremisme Kekerasan dan Mempromosikan Kohesi Sosial di Eropa: Pertarungan dan Respon” yang diadakan Pusat Internasional untuk Dialog Antaragama dan Antarbudaya (KAICIID) bekerja sama dengan Dewan Pemimpin Agama Eropa, Raja Abdullah bin Abdul Aziz menegaskan bahwa para pemimpin agama mengecam aksi ekstremisme di Eropa menyusul serangan teroris di Prancis dan Austria.
Aksi ekstremisme dan terorisme tak dibenarkan dalam ajaran agama apapun. Di mata Sekretaris Jenderal KAICIID, Faisal bin Muaammar, aksi terorisme berasal dari pemahaman yang salah dan menyesatkan tentang agama mereka.
Lebih jauh, Bin Muaammar menyoroti dampak platform media sosial dalam memicu kekerasan dan kebencian setelah terjadi serangan teroris serupa di Prancis dan Austria dalam beberapa tahun terakhir.
Baginya, tanggapan dan tanggapan balasan dari pengikut agama dan budaya di Eropa dan dunia melalui media sosial pada umumnya memicu kontroversi, setelah tanggapan itu dibarengi dengan ujaran kebencian dan kejahatan.
Secara umum dikenal dua macam ujaran-ujaran yang mengandung unsur kebencian. Pertama, hate speech, yakni sebuah ujaran yang dengan sengaja, sistematis dan dibuat masif ditargetkan kepada pihak tertentu. Biasanya, ujaran kebencian dilakukan oleh mayoritas kepada minoritas.
Kedua, hate spin yakni kebencian diproduksi oleh seseorang atau sekelompok orang sedemikian rupa untuk mendiskreditkan orang atau sekelompok orang.
Dalam media sosial, dua bentuk ujaran seperti ini menyata dalam tiga bentuk kekacauan informasi (hoax-lebih luas dari sekadar berita bohong) dengan pelbagai variannya.
Pertama, misinformasi. Artinya, informasi yang tidak benar namun orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasi tersebut benar tanpa bermaksud membahayakan orang lain. Contohnya, informasi yang salah tentang kesehatan dan penculikan anak. Seringkali informasi seperti ini disebar tanpa ada verifikasi dari ahli atau pihak yang berwenang dan disebarkan justru dengan maksud yang baik, supaya orang lain tidak mendapat masalah atau terlibat dalam bahaya.
Kedua, disinformasi. Artinya, informasi yang tidak benar dan orang yang menyebarkannya juga tahu kalau itu tidak benar. Informasi ini merupakan kebohongan yang sengaja disebarkan untuk menipu, mengancam, bahkan membahayakan pihak lain.
Ketiga, malinformasi. Artinya, informasi yang benar namun digunakan untuk mengancam keberadaan seseorang atau sekelompok orang dengan identitas tertentu. Atau dengan kata lain, ini adalah sejenis hasutan kebencian. Misalnya, hasutan kebencian terhadap kelompok minoritas agama atau orientasi seksual tertentu.
Ujaran kebencian terutama yang bersentuhan dengan RAS menjadi acaman terhadap pluralisme kewargaan yang berdampak pada kohesi sosial masyarakat. Ia menampik penerimaan dan penghargaan keragaman dan upaya bekerja bersama orang atau kelompok lain demi mencapai kebaikan bersama. Ia menyisipkan idealisme penolakan terhadap pengakuan akan adanya beragam tradisi keagamaan atau budaya. Di titik ini, ujaran-ujaran kebencian menjadi tantangan berat bagi kohesi sosial.
Keragaman (bahasa, etnisitas, agama, dan sebagainya) merupakan fakta kehidupan saat ini yang tak dapat diingkari. Di balik fakta ini, hal yang harus diwanti-wanti demi menjaga kohesivitas masyarakat yakni adanya kebangkitan identitas agama di ruang publik, atau upaya-upaya untuk membawa aspirasi keagamaan ke ruang publik, yang sering terungkap dalam politik identitas.
Di satu sisi, pengakuan aspirasi kelompok-kelompok itu penting untuk suatu masyarakat demokratis dan pluralis, demi penjagaan otentisitas kelompok-kelompok masyarakat yang nilai-nilainya tak selalu sama dengan kelompok-kelompok lain. Di sisi lain, bahaya besarnya adalah jika pengakuan perbedaan yang dikuti perlakuan berbeda itu menjadi diskriminasi yang terus diproklamirkan melalui ujaran-ujaran kebencian.
Dalam konteks suatu negara-bangsa yang demokratis sekaligus plural seperti Indonesia, senjata utama sebagai perisai untuk membingkai kewanti-wantian tersebut adalah prinsip kewarganegaraan yang setara, yang menganggap semua orang dan kelompok masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Masyarakat yang pluralis diharapkan untuk serius mengakui dan menjaga perbedaan dan pada saat yang sama mengupayakan kesetaraan. Kuncinya ada pada upaya mengelola keragaman itu. Niat baik para pihak terutama para pemegang kebijakan di negara-bangsa Indonesia adalah anak kuncinya.
Hemat saya, salah satu model pengelolaan tersebut adalah berbasis nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Artinya, pengelolaan keragaman bersumber pada nilai-nilai masyarakat setempat yang telah menjadikan agama sebagai sumber nilai dan basis spiritualnya.
Jika negara berkehendak baik untuk mengelola realitas keberagaman (termasuk keragaman agama, sosial, budaya) maka negara perlu menaruh penghormatan dan pengakuan pula terhadap nilai-nilai sosial, budaya, agama termasuk nilai-nilai (seperti keadilan, kebenaran, cinta kasih, kegotong-royongan dan lain sebagainya) yang dimiliki agama minoritas dan yang telah dihidupi mereka dan terbukti telah menjadikan mereka sebagai manusia-manusia ‘baik dan bijak’ secara individual maupun komunal.
Dalam keragaman seperti ini, peran negara (terutama yang dilandasi oleh demokrasi) adalah mengadopsi nilai-nilai baik itu sebagai nilai-nilai dominan dalam mengelola fakta keragaman di Indonesia dan di sisi lain negara harus mendorong upaya-upaya mentransformasi ‘sisi-sisi buruk’ (di antaranya kekerasan, penindasan, pelecehan) yang hidup dalam realitas keragaman agama, sosial dan budaya tersebut terutama yang paling bertentangan dengan nilai-nilai universal seperti hak asasi manusia (HAM).
Justifikasi atas sesuatu sebagai ‘yang buruk’ tentunya tidak dilakukan secara serampangan sebab ‘apa yang buruk di mata yang lain, belum tentu menjadi juga yang buruk di mata yang lain pula’.
*Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Reiha Larantuka/Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta