Ruteng, Ekorantt.com – SMA Katolik Setia Bakti Ruteng membentuk sanggar seni sebagai upaya untuk mengangkat dan melestarikan budaya Manggarai. Sanggar budaya itu dikenal dengan nama Wela Songke.
Nama Wela Songke diambil dari bahasa Manggarai. Wela berarti bunga, dan songke merujuk pada kain tenun daerah setempat.
Sanggar Wela Songke dibentuk sejak 2005 oleh Selestinus Nabus, salah seorang guru seni di sekolah yang bernaung di bawah Yayasan Dian Yosefa, milik para Suster Kongregasi SSpS tersebut. Saat itu, yang menjabat sebagai kepala sekolah yaitu Sr. Mektilde Nahas, SSpS.
Sanggar Wela Songke dikukuhkan pada 2009 oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Manggarai, dengan pendirinya yaitu Maximilian Wangku, Irna Aburman, dan Selestinus Nabus.
Menurut Irna Aburman, kegiatan di sanggar itu sebagai bagian dari kegiatan ekstrakurikuler bagi para siswa-siswi yang tergabung di dalamnya.
Setiap siswa-siswi yang tergabung dalam Sanggar Wela Songke, kata Irna, mempelajari budaya Manggarai melalui praktik-praktik seni tari, seni teater, dan seni musik tradisional.
Menurut Irna, dampak positif adanya sanggar tersebut yakni siswa-siswi mampu mengapresiasi kebudayaan daerah, sehingga tumbuh sikap mencintai budaya daerah.
Diakuinya juga, perkembangan teknologi dan informasi acapkali membuat generasi muda lupa diri. Lupa pada budaya sendiri. Lupa pada akar dan asalnya. Lupa pada jati dirinya. Nah, dengan terlibat dalam sanggar seni, diharapkan generasi muda bisa belajar budaya dari mana dirinya berasal.
“Mereka semakin mengenal kebudayaan daerah itu sendiri. Itu yang kita mau. Kita dampingi anak-anak sehingga mereka hidup dengan budaya khasnya kita,” katanya kepada Ekora NTT pertengahan Februari 2021 lalu.
Hal itu, kata dia, sesuai dengan filosofi masyarakat Manggarai: eme wakak betong, asa manga wake nipu tae, yang artinya: ada generasi yang mempertahankan budayanya sendiri.
Selain itu, siswa mampu berkreasi mengembangkan bakat dan minat mereka dalam seni tari, musik dan teater. Lalu, karakter peserta didik terbentuk dengan baik, disiplin, bertanggung jawab, dan mandiri.
“Tumbuh rasa percaya diri bagi siswa, tumbuh rasa toleransi dan sikap kerja sama yang positif. Ini jadi bekal untuk mereka ke depan, baik di dunia kerja juga di tengah masyarakat,” tuturnya.
Adapun alat musik yang digunakan oleh Sanggar Wela Songke yakni alat musik tradisional seperti gong, gendang, ceketindi, dan ceketonda.
Prestasi
Tak hanya mempertahankan nilai budaya, Sanggar Wela Songke juga sering meraih prestasi dalam setiap perlombaan seni, seperti pernah jadi penyaji terbaik pada lomba teater tahun 2010 yang diselenggarakan oleh Ippsen Parleso. Kala itu, Sanggar Wela Songke membawakan teater dengan judul Ende oh Ende.
Sanggar ini juga pernah juara favorit pada Jambore Pariwisata 2010 yang oleh Dinas Pariwisata Provinsi NTT di Rote Ndao. Waktu itu, Sanggar Wela Songke mempertunjukkan sendratari caci.
Lalu, meraih juara satu lomba Tarian Kreasi Daerah yang disponsori oleh Yamaha Motor pada 2010.
Dua tahun kemudian, sanggar Wela Songke merengkuh juara pertama tari tradisional, dalam lomba yang digelar oleh KKBM Mahasiswa Pendidikan Sendratasik UNWIRA Kupang.
Sanggar Wela Songke juga pernah meraih juara satu Festival Teater yang diselenggarakan di Kupang oleh Dinas Pariwisata Provinsi NTT. Kala itu, mereka mementaskan teater dengan judul Molas Molot.
Selanjutnya, pada 2017, sanggar ini mendapat juara pertama lomba tari tradisional tingkat Kabupaten Manggarai yang digelar oleh Dinas Pendidikan setempat.
Sanggar Wela Songke pernah menyabet juara satu lomba tari tradisional FL2sn tingkat Kabupaten Manggarai pada 2019. Di tahun yang sama, mereka meraih juara dua lomba tari tradisional FL2sn tingkat Provinsi NTT yang diselenggarakan di Kupang.
Selain menjuarai berbagai lomba seni, Sanggar Wela Songke sering mengikuti setiap event baik itu nasional maupun lokal. Bahkan kegiatan sanggar seni ini pernah diliput oleh salah satu stasiun televisi nasional.
Irna mengatakan, selain berdampak positif terhadap para siswa-siswi, Sanggar Wela Songke juga secara tidak langsung telah memengaruhi masyarakat luas untuk mengenal dan mencintai budaya daerah, khususnya Manggarai.
“Harapan saya sebagai pelaku seni, cintailah dan lestarikan budaya Manggarai,” tutup Irna.
Adeputra Moses