Terima Kasih Yayasan Pantau

Oleh: Rosis Adir

Sebuah flayer yang mengumumkan bahwa Yayasan Pantau akan membuka kursus menulis muncul di galeri foto handphone saya sekitar akhir Februari 2021. Flayer itu sepertinya dibagikan di beberapa grup jurnalis yang kebetulan saya ada di dalamnya.

Saya pun langsung mengikuti petunjuk mendaftar melalui link google form yang tertulis dalam flyer tersebut. Saya mengisi form tersebut, apa adanya. Mulai dari nama, alamat email, tema liputan, angle, data awal yang telah diperoleh, link tulisan yang pernah terbit di media daring, dan beberapa lainnya.

Setelah hampir sebulan berlalu, tepatnya pada 27 Maret 2021, ada email masuk. Pengirimnya, Yayasan Pantau. Saya pun membuka email tersebut. Pihak Yayasan Pantau menulis: “Kami mengucapkan terima kasih Anda telah mendaftar Workshop Menulis Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang diselenggarakan oleh Yayasan Pantau bersama Kedutaan Jerman di Indonesia. 

Kami menerima 419 calon peserta yang mendaftar dari sejumlah kota di Indonesia. Keterbatasan kuota menyebabkan kami menyeleksi 75 peserta yang berhak lolos ke tahap selanjutnya. Kriteria yang dipakai oleh tim penilai adalah (1) tema, (2) ketajaman angle, (3) kedalaman usulan liputan, (4) keseimbangan gender, dan (5) keterwakilan daerah.”

“Setelah melalui proses seleksi oleh panitia, kami memutuskan Anda Lolos. Keputusan tim penilai bersifat final dan tidak bisa diganggu gugat.”

Saya senang. Bangga. Saya adalah satu dari lima orang NTT yang lolos dalam kursus menulis di Yayasan Pantau.

Yayasan Pantau adalah lembaga nirlaba di Jakarta yang mendorong perbaikan mutu jurnalisme di Indonesia melalui program pelatihan wartawan, konsultasi media, riset, penerbitan, serta diskusi terbatas.

Awalnya Pantau hanya sebuah majalah bulanan yang diterbitkan Institut Studi Arus Informasi pada 1999-2003. Majalah ini menurunkan laporan-laporan panjang dan mendalam, dari soal media hingga terorisme. Ia berubah jadi Yayasan Pantau pada 2003.

Selama sekitar dua bulan, saya dan kawan-kawan peserta lainnya mendapat pengetahuan menulis dari Yayasan Pantau. Kami belajar tentang elemen-elemen jurnalisme, jurnalisme sastrawi, jurnalisme data, dan beberapa topik lainnya. Kami dibantu oleh jurnalis-jurnalis hebat seperti Andreas Harsono, Evi Mariani, Fahri Salam, Chik Rini, Budi Setyono, dan Wan Ulfa.

Saya bersyukur bisa berkenalan dengan jurnalis-jurnalis hebat – yang pernah meraih berbagai penghargaan jurnalisme tingkat internasional – seperti mereka. Satu hal yang saya petik dari sikap mereka: rendah hati.

Dari mereka, saya belajar bahwa menjadi jurnalis itu harus belajar terus menerus. Belajar apa saja. Sebab, jurnalis harus tahu banyak hal. Tahu banyak isu. Supaya jangan ditipu dan dimanfaatkan oleh narasumber. Dan, jurnalis lebih baik terlihat bodoh di depan narasumber daripada terlihat bodoh di depan pembaca.

Sabtu, 5 Juni 2021, merupakan hari terakhir kursus menulis bersama Yayasan Pantau. Banyak hal yang saya peroleh, baik dari para mentor maupun teman-teman peserta. 

Dari kursus ini pula saya sadar bahwa masih banyak hal yang harus saya pelajari tentang jurnalisme. Jurnalisme itu bukan hanya tentang 5W+1H. Jurnalisme tidak boleh provokatif. Tidak boleh bias. Sebab, kerja-kerja jurnalistik adalah kerja-kerja kemanusiaan. Jurnalis harus menjadi ‘anjing penjaga’ yang mengontrol kekuasaan, dan menjadi penyambung lidah orang-orang yang tak berdaya dan diabaikan.

Dalam jurnalisme, tidak boleh menambah sesuatu yang tidak ada atau tidak terjadi. Jangan menipu audiens. Jangan menggiring opini. Sebab jurnalisme itu mencari kebenaran. Bukan mencari sensasi. Tugas jurnalis adalah memberitakan kebenaran. Kebenaran sesuai hasil pengumpulan fakta-fakta.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Pantau yang telah memberikan kesempatan kepada wartawan lokal – seperti  saya – untuk belajar lebih dalam tentang jurnalisme. Bagi saya, ini adalah momentum paling berharga untuk masa depan jurnalisme di daerah. Semoga, ke depannya, Yayasan Pantau lebih banyak mengakomodir wartawan-wartawan daerah – dari media-media lokal – untuk mengikuti kelas-kelas pelatihan jurnalisme ini.

Akhirnya, ada pesan dari salah satu mentor yang selalu saya ingat: “Cerita-cerita menarik (dalam karya jurnalistik) itu biasanya datang dari orang-orang biasa, orang-orang kecil.”

(Penulis adalah peserta kursus menulis Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Yayasan Pantau, Wartawan Ekora NTT)

Catatan: Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Tabeite.com.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA