Keuskupan Ruteng Kembali Beberkan Kerisauan Warga Wae Sano Soal Proyek Geothermal

Labuan Bajo, Ekorantt.com – Gereja Katolik Keuskupan Ruteng kembali merespons polemik proyek panas bumi (geothermal) di Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat.

Dalam rilis yang diterima Ekora NTT, Jumat (11/6/2021), Vikjen Keuskupan Ruteng, Romo Alfons Segar, Pr. menjelaskan, Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat telah menyuarakan persoalan-persoalan masyarakat tentang proyek panas bumi Wae Sano kepada Presiden Jokowi melalui surat pada tanggal 9 Juni 2020.

Hal itu sebagai bagian dari keterlibatan sosial kritis-profetis gereja atas proyek ini yang bertolak dari jati diri gereja seperti yang ditandaskan oleh Konsili Vatikan II yang bersolider dengan “suka dan duka, harapan dan kecemasan masyarakat”.

Dalam rilis itu juga, Romo Alfons kembali membeberkan enam hal terkait kerisauan dan kecemasan masyarakat Wae Sano.

Pertama, titik bor eksplorasi proyek yang ditengarai berjarak puluhan meter dari kampung Nunang dapat membahayakan hak hidup dan keselamatan warga. Kedua, proyek itu akan merusak ruang hidup masyarakat, mata pencaharian, dan sumber kehidupannya.

Ketiga, proyek tersebut dapat merusak situs adat dan komunitas adat setempat. Keempat, proyek dapat mengganggu kenyamanan peribadatan dan kegiatan kerohanian di lingkungan gereja.

Kelima, proyek geothermal berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan alam yang parah atas danau Sano Nggoang. Keenam, munculnya ketegangan sosial dalam masyarakat Wae Sano akibat proyek tersebut.

Keindahan Danau Wae Sano, Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat. (Foto : Sandy Hayon / Ekora NTT)

Menanggapi surat tersebut, jelas Romo Alfons, presiden melalui Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan berdialog intensif dengan Uskup Ruteng dan mengajak Gereja Katolik untuk bersama-sama mengklarifikasi persoalan yang disuarakan masyarakat dan mencari solusi komprehensif atas problem proyek geothermal Wae Sano.

“Hal ini kemudian disepakati dalam nota kesepahaman (MOU) yang ditandatangani di Ruteng pada tanggal 2 Oktober 2020 oleh Uskup Ruteng dan Dirjen EBTK Kementerian ESDM. Dialog dan kerja sama konstruktif pemerintah,” ujarnya.

Ia mengatakan negara dan gereja sangatlah penting. Sebab kedua institusi ini pada dasarnya melayani manusia yang sama, dan bersama-sama mengusahakan terwujudnya kesejahteraan umum (borum commune) bagi masyarakat.

Sementara itu, lanjut Romo Alfons Segar, pemerintah pusat (seperti yang tertera dalam MOU) menandaskan beberapa hal.

Pertama, geothermal adalah salah satu upaya Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi seperti yang tertera dalam perjanjian Paris tahun 2015. Penurunan emisi ini sangat mendasar bagi keberlangsungan hidup planet bumi.

Kedua, secara nasional, proyek geothermal meningkatkan pasokan energi listrik dan ketahanan energi nasioal serta menjaga kestabilan fiskal negara. Lebih dari itu, pemanfaatan energi panas bumi yang ramah lingkungan ini mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi fosil yang polutif terhadap ekologi (misalnya: minyak bumi).

Ketiga, secara lokal, kebutuhan energi listrik di Flores, khususnya di Kabupaten Manggarai Barat terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan aktifitas ekonomi, pembangunan, pertumbuhan industri, khususnya pariwisata.

Sementara rasio elektrifikasi Manggarai Barat 93,189 (Agustus 2020) dan berada di bawah rata-rata nasional. Masih banyak desa dan kampung terpencil yang belum mendapat pasokan energi listrik.

Keempat, kenyataannya energi listrik di Flores masih didominasi oleh pembangkit fosil yang menimbulkan emisi gas rumah kaca serta tergantung pada pasokan dari pulau lainnya. Pada hal Pulau Flores kaya dengan potensi panas bumi (910 MWE). Proyek geothermal Wae Sano ini akan mendukung kemandirian energi di wilayah barat Flores, khususnya Manggarai Barat.

Dijelaskan juga bahwa dalam nota kesepahaman (MOU) itu, pemerintah pusat menjawab keresahan masyarakat Wae Sano yang disampaikan dalam surat Uskup Ruteng melalui komitmen untuk menjamin keamanan proyek, yakni keselamatan dan kesehatan warga serta ruang hidupnya.

Tak adanya relokasi (kecuali evakuasi sementara), kelestarian sosial lingkungan termasuk kelangsungan keanekaragaman hayati dan ekosistem sebagai penyangga kehidupan termasuk Danau Sano Nggoang, keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi, dan kelestarian kultural dan spiritual.

Sementara itu, Gereja Katolik Keuskupan Ruteng berkomitmen untuk menjadi gembala yang mengayomi semua pihak guna menemukan solusi komprehensif terhadap persoalan yang ada.

Memperjuangkan prinsip dan nilai dalam pembangunan holistik berkelanjutan yang mengutamakan martabat manusia dan kesejahteraan umum serta berbasis pada kearifan lokal dan ramah lingkungan. Membantu mengawasi proses sosial agar berjalan sesuai dengan prinsip dan etika sosial.

Membantu penyelesaian masalah panas bumi secara komprehensif, bermartabat, dan berkeadilan sosial.

Selanjutnya, kata Romo Alfons Segar, pemerintah pusat melalui Tim Bersama Pengelolaan Sosial Proyek Panas Bumi Wae Sano telah mengadakan kegiatan dialog intensif, klarifikasi transparan, hari studi dan sosialisasi (pencerahan) dengan pelbagai elemen dalam Gereja Katolik.

Sejalan dengan itu telah dibentuk Tim Rencana Kerja Tindak Lanjut yang melibatkan Tim Sosial Pemerintah Pusat dan Keuskupan Ruteng yang dalam tugasnya mengadakan dialog secara transparan dan bermartabat dengan berbagai pihak masyarakat Wae Sano.

Selain itu, sosialisasi dan pencerahan tentang proyek geothermal Wae Sano serta klarifikasi yang objektif dan kredibel atas persoalan-persoalan yang ada. Melakukan “groundchecking” bersama warga Wae Sano, di mana pihak pemerintah mengklarifikasi lokasi titik bor yang tepat, menjelaskan proses teknisnya, dan menjamin keamanannya.

Melalukan diskusi ‘Lonto Leok’ di berbagai kampung/desa untuk mendalami masalah kerentanan masyarakat serta mengkaji potensi pengembangan ekonomi komunitas dan regional.

Pihak keuskupan menegaskan pentingnya upaya meningkatkan kesejahteraan warga Wae Sano melalui pembangunan holistik yang meliputi bidang pertanian, peternakan, pariwisata, ekologi, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan modal usaha serta dilakukan secara partisipatif.

Pada tanggal 13 Desember 2020 Pemerintah Pusat melalui Sekretaris Komite Bersama Penyediaan Data dan Informasi Panas Bumi mengirimkan kepada Uskup Ruteng lembar fakta klarifikasi yang komprehensif atas berbagai isu dan persoalan masyarakat yang disampaikan dalam surat Uskup pada tanggal 9 Juni 2020.

Berdasarkan klarifikasi atas permasalahan yang ada, serta menimbang manfaat proyek bagi kepentingan nasional, daerah dan masyarakat Wae Sano sendiri, pemerintah memutuskan untuk melanjutkan pemanfaatan panas bumi Wae Sano.

Kemudian pada tanggal 14 Desember 2020 surat lembar fakta klarifikasi pemerintah ini dibacakan dan dipresentasikan kepada masyarakat Wae Sano di Nunang.

Pada tanggal 20 Mei 2021, Tim Sosial Pemerintah Pusat menyampaikan kepada Uskup Ruteng hasil dialog, klarifikasi, sosialisasi dan pencerahan selama ini. Berdasarkan identifikasi, kajian isu strategis, dan masukan dari Tim Rencana Kerja Tindak Lanjut, Tim tersebut telah merekomendasikan perubahan titik bor dari Welipad B yang dekat dengan kampung Nunang ke titik bor alternatif Welipad A.

Titik bor alternatif ini berpindah jauh dari kampung Nunang. Akses jalan masuk tidak lagi melewati kampung Nunang tapi melingkari danau dari arah lain untuk mengurangi resiko sosial dari proyek geothermal tersebut sekaligus membuka isolasi wilayah serta meningkatkan potensi ekonomi dan pariwisatanya.

Keuskupan Ruteng mengapresiasi jaminan Pemerintah Pusat atas keamanan proyek geothermal tersebut, atas keselamatan warga dan ruang hidupnya, atas eksistensi kampung dan situs adat (tak ada relokasi permanen), atas pembentukan lembaga mekanisme pengaduan masyarakat, serta komitmen meningkatkan kesejahteraan masyarakat Wae Sano dan mengembangkan kehidupan ekonomi kawasan tersebut (Livelihood Restoration Program/Benefit Sharing Program).

Wewenang untuk memutuskan proyek geothermal Wae Sano dan tanggung jawab terhadapnya berada pada otoritas Pemerintah Pusat RI.

Meskipun demikian, Keuskupan Ruteng berjuang semaksimal mungkin dan mendesak agar keputusan pemanfaatan panas bumi untuk menyediakan energi listrik terbarukan bersifat ramah lingkungan demi pembangunan bangsa dan wilayah Manggarai Barat, dan dapat menjamin keselamatan dan kesejahteraan masyarakat lokal Wae Sano serta melindungi dan mengembangkan integritas ciptaan (ekologi) dan warisan kultural setempat.

“Atas pelbagai pertimbangan-pertimbangan itu, Keuskupan Ruteng merekomendasikan rencana tindak lanjut tahap kedua proses proyek geothermal Wae Sano. Hal ini dituangkan oleh Uskup Ruteng dalam suratnya kepada Bapak Presiden RI pada tanggal 29 Mei 2021,” pungkas Romo Alfons.

Sandy Hayon

spot_img
TERKINI
BACA JUGA