Oleh: Rosis Adir
Ada pengalaman unik saat saya menjalani kerja-kerja sukarela bersama Kelompok Kasih Insanis – sebuah kelompok sosial karitatif yang punya perhatian khusus terhadap ODGJ di NTT.
Dalam suatu kesempatan, kami relawan KKI di Kabupaten Manggarai Timur mengunjungi seorang bapak tua yang diduga mengidap gangguan jiwa. Bapak tua ini tinggal sendiri di kebun yang jaraknya sekitar 1 Km dari pemukiman.
Saya bersama ka’e Markus Makur, Pater Frumens, om Foyen, Pak Kades setempat, dan istrinya om Foyen – petugas medis di desa tersebut, berjalan kaki, turun bukit, menuju kebun bapak tua itu.
Kami melewati perkebunan cengkeh, kakao dan kebun kopi milik warga di desa itu. Perjalanan dengan medan yang cukup curam, membuat kami harus ekstra hati-hati. Apalagi waktu itu musim hujan. Licin. Beberapa kali, saya tergelincir. Hampir jatuh.
Sekitar 20 menit berjalan, kami tiba di kebun milik bapak tua itu. Pohon-pohon kopi robusta tampak tinggi menjulang. Hampir tak ada satupun gulma tumbuh di celah-celah pohon kopi milik bapak tua tersebut. Bersih.
Dalam hati, saya berdecak kagum. Saya bergumam, “orang sakit, tetapi bisa merawat kebun kopi. Apakah benar-benar sakit atau pura-pura sakit.”
Bapak tua ini tinggal sendiri di kebun itu. Istri dan anaknya tinggal di kampung yang lumayan jauh dari wilayah desa tempat bapak tua tinggal.
Menurut informasi yang kami peroleh, istri dan anaknya memilih pindah dari desa itu sejak bapak tua terkena sakit.
Sebelum kami menuju kebun bapak tua itu, ada sedikit arahan dari pak Kades. Pak kades ini dikenal dekat dengan bapak tua tersebut. Menurut pak Kades, bapak tua itu mudah tersinggung dan curiga. Oleh karena itu, kami diingatkan untuk tetap menjaga tingkah dan tutur.
Untuk meluluhkan hati si bapak tua, pak Kades membeli tembakau dan daun lontar – bahan baku rokok tradisional. Bapak tua itu suka isap rokok tradisional.
Ketika hendak mencapai pondok milik bapak tua tersebut, pak Kades langsung memanggil bapak tua agar ia tidak kaget saat kami mendekat.
Mendengar suara pak Kades, bapak tua itu keluar dari dalam pondok. Ia berdiri di depan halaman yang luasnya sekitar 3×4 meter. Menurut pak Kades, halaman itu digunakan untuk menjemur kopi dan beberapa komoditas perkebunan lainnya yang dimiliki si bapak tua.
Pak Kades langsung mendekat dan menyerahkan oleh-oleh, sembari memberitahukan bahwa ia datang bersama rombongan. Si bapak tua tampak mengangguk dan menjemput kami. Ia menyodorkan tangan untuk bersalaman.
Bapak tua itu membangun tiga pondok. Jaraknya berdekatan. Satu pondok dibangunnya di atas sebuah batu besar. Di sisi timur batu itu membentuk gua. Pondok kedua, ia bangun persis di mulut gua tersebut. Sebagian ruangan pondok itu adalah gua batu. Kemudian, pondok ketiga ia bagun persis di samping pondok kedua.
Pondok-pondok itu dibuat dari bambu. Kondisinya sudah mulai reyot. Di atas atap pondok-pondok itu penuh dengan daun-daun kering.
Marah
Saya mulai percaya bahwa bapak tua mengidap sakit jiwa, saat ia mulai marah-marah. Kemarahannya berawal dari kekeliruan salah seorang anggota kami yang mengambil video saat bersalaman dengannya.
Si bapak tua tidak terima karena posisi kamera handphone terlalu menyoroti wajahnya. Bapak tua tersinggung dan marah-marah.
Kemarahan itu terus berlanjut. Ia mulai mencurigai kami. Namun, beberapa menit kemudian, Pater Frumens mengajak kami semua untuk berdoa. Kebetulan bapak tua adalah seorang Katolik.
Sebelum berdoa, bapak tua itu menceritakan bahwa ia bisa berdoa dalam beberapa bahasa. Salah satunya bahasa roh. Kami pun hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Lalu, Pater berkelakar dan memintanya untuk berdoa dalam salah satu bahasa asing. Bukannya berdoa, bapak tua malah tersinggung. Ia mulai marah-marah lagi. Ia mengancam untuk mengusir kami. Bersyukur pak Kades bisa menenangkannya. Setelah amarahnya mulai redah, Pater mulai memimpin doa. Selama berdoa, saya lihat, bapak tua khusyuk. Badannya merinding.
Minta Maaf
Setelah doa selesai, mata bapak tua itu tampak berkaca-kaca. Ia menyalami Pater dan salah satu anggota kami yang sebelumnya dimarahinya. Ia meminta maaf dan mereka saling berpelukan.
“Saya minta maaf atas kata-kata saya tadi. Jangan simpan di dalam hati,” tutur si bapak tua. Situasi itu sangat mengharukan.
Setelah itu, istrinya om Foyen mengukur tekanan darah, dan menitipkan vitamin untuk bapak tua.
Lalu, kami berpose bersama bapak tua tersebut. Ia sangat senang. Gembira. Bahkan ia mengutarakan niatnya untuk bisa pesiar ke Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur.
“Nanti kami datang jemput dengan oto (mobil),” sahut ka’e Markus, sebelum kami meninggalkan pondok si bapak tua itu.
Menurut istrinya om Foyen, selama ini, bapak tua ini belum mendapat obat khusus sakit jiwa karena tidak ada keluarga yang bisa mengontrol konsumsi obat tersebut.
Harapannya, istri dan anak dari bapak tua ini bisa kembali dan hidup bersama dengannya. Ia butuh perhatian. Butuh kasih sayang. Sebab, perhatian keluarga adalah salah satu faktor yang bisa membuatnya pulih.
(Penulis adalah sukarelawan KKI Manggarai Timur, wartawan Ekora NTT)