Oleh: Bayu Tonggo*
Hari-hari terakhir ini, pertanyaan “apa kabar?” barangkali menjadi pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Pasalnya, banyak di antara kita yang kabarnya masuk dalam kerangkeng perasaan dan situasi yang campur aduk dan bahkan kacau balau. Keberadaan pandemi Covid-19 dengan persebaran kasus yang mulai menanjak sejak 7 Juni 2021, menjadi penyebab kaburnya perasaan dan campur-aduknya situasi hidup kita.
Sejak 7 Juni 2021 atau dua sampai tiga minggu setelah libur Lebaran, kasus Covid-19 tidak pernah turun. Dari rata-rata kasus per minggu enam ribuan, naik tujuh ribuan, hingga mendekati sepuluh ribuan, bahkan lebih. Minggu (27/6/2021) dilaporkan ada 21.342 kasus atau naik 247 kasus dari Sabtu (26/6/2021) sebanyak 21.095. Untuk total kasus Covid-19 yang dilaporkan hingga minggu ini, mencapai 2.115.304 orang terhitung sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020 lalu.
Adanya peningkatan tajam kasus Covid-19 ini, memantik sejumlah kebijakan dari pemerintah pusat maupun daerah untuk kembali memulihkan “kenyamanan” kesehatan dan “kaburnya” harapan-situasi hidup warganya. Slogan atau pun seruan “Kembali Taat Protokol Kesehatan!”, barangkali merangkum segala sudut, aspek kebijakan pemerintah itu.
Sebab, ihwal protokol kesehatan inilah yang menjadi problem, dasar penyebab “tak kunjung melandai-nya” kasus Covid-19 di negeri dan daerah kita beberapa hari terakhir ini.
Dua Tindakan Keburukan, Penyebab Lonjakan Kasus Covid-19
Sekurang-kurangnya ada dua dasar keburukan tindakan kita, yang dapat ditilik sebagai subjek penyebab menanjaknya kasus Covid-19 akhir-akhir ini. Karena, pertama jenuh, lesu, tatakala berhadapan dengan situasi pandemi, membuat kita bergerak dalam kepasrahan, seenaknya saja melakukan aktivitas tanpa kawalan prokes yang sebagaimana mestinya dijalankan.
Kedua, kita bergerak dalam ke-ego-an otonomi diri; yang tanpa suatu paksaan batiniah berdasarkan motif tertentu (rasional, intelektual) atau kondisi tertentu (psikis, ekonomis, sosial-politis). Kita hadir dalam pemahaman bahwa perwujudan diri kita yang otonom itu, adalah paling sempurna dari kehendak manusia dan mengabaikan kebebasan kepribadian kita untuk mewujudkan kemampuan, menentukan diri ke arah kebaikan dan nilai sejati.
Secara sederhana, ke-ego-an, perwujudan diri yang otonom ini dapat kita sebut sebagai “sikap malas tahu”. Orang bergerak dengan pemikirannya sendiri dan melihat, menganggap prokes kesehatan itu tidak penting atau pun program vaksinasi yang diluncurkan pemerintah itu tidak ada gunanya.
Dua tindakan kita tersebut tentu memilili keterkaitan yang begitu erat. Bahwasannya, sama-sama bergerak dalam “sikap tak mau tahu” dengan upaya dan kebijakan penanganan Covid-19 oleh pemerintah: menjalankan prokes dan program vaksinasi.
Jikalau kita menjalin keterkaitan tindakan kita itu, dengan mimpi bersama kita untuk melenyapkan kasus Covid-19 dari kehidupan kita, tentu tak selaras. Kita ingin virus corona lenyap, tapi toh kita sendiri yang lalai dan malas tahu dengan upaya kooperatif, kebijakan pemerintah untuk menangani persebaran kasus. Ini kan aneh dan mustahil untuk dipahami.
Dua Tindakan Keburukan, sebagai Actus Humanus yang Buruk
Jika kita meninjau lebih jauh tindakan kita tersebut yang sebagai subjek penyebab dari menanjaknya kasus Covid-19 beberapa waktu terakhir ini; kita dapat menyebut tindakan kita sebagai sebuah actus humanus yang buruk. Disebut actus humanus yang buruk karena tindakan kita yang dipertimbangkan secara rasional dan dikehendaki secara bebas (tindakan etis) itu, mencuat dalam sikap enggan untuk bertanggung jawab atas akibat yang timbul dari tindakan kita tersebut.
Selain itu, tindakan yang kita jalankan, terbentuk oleh unsur-unsur tindakan yang buruk, sehingga tentu akan menghadirkan pemahaman bahwa actus humanus yang membentuk tindakan kita tersebut, buruk pula.
Kita dengan begitu berani hadir dalam actus humanus untuk pasrah begitu saja, berhadapan dengan situasi pandemi atau pun dengan berani bergerak dalam otonomi kebebasan diri yang egois, untuk malas tahu dengan kebijakan prokes dan vaksinasi. Inilah sekurang-kurangnya unsur-unsur tindakan keburukan kita, sehingga actus humanus yang kita jalankan bermain peran dalam sebutan keburukan yang serupa.
Terhadap keburukan actus humanus kita sebagai subjek penyebab dari melonjaknya kasus Covid-19, dapatlah kita pahami bahwa actus humanus kita tersebut bergerak dalam payung kebebasan tindakan, yang dalam dunia filsafat disebut kebebasan yang libertarian-eksistensialisme (kebebasan sebagai sumber nilai moral).
Kita memunculkan tindakan kita di bawah payung kebebasan yang melihat diri sendiri secara otonom – tanpa suatu paksaan batiniah berdasarkan motif tertentu (rasional, intelektual) atau kondisi tertentu (psikis, ekonomis, sosial-politis). Kita melihat bahwa tindakan kebebasan yang berdasarkan otonomi diri sendiri itu, sebagai sebuah perwujudan paling sempurna dari kehendak manusia dan mengabaikan kebebasan untuk mewujudkan kemampuan menentukan diri ke arah kebaikan dan nilai sejati.
Pelaksanaan tindakan di bawah naungan kebebasan model ini, tentu secara langsung akan mencederai konsep kewajiban sebagai ciri hakiki dari kebaikan moral.
Sebagaimana dalam pandangan Kant, tindakan yang secara etis baik adalah tindakan yang dilaksanakan karena kewajiban. Sejatinya dalam tatanan kebaikan moral, kewajiban menghadirkan keharusan moral dalam diri seseorang untuk memunculkan tindakan, yang berdasar pada putusan yang bebas (actus humanus). Karena berdasar pada putusan yang bebas (penyebab bebas), maka tentu akan ada perwujudan tanggung jawab di dalamnya.
Memecahkan Actus Humanus yang Buruk
Pengungkapan tindakan (actus humanus) yang buruk (tindakan yang tidak bertanggung jawab) dalam bahasan moralitas tindakan, dapatlah ditinjau pemecahannya lewat pemahaman yang mesti baik tentang kewajiban dalam hubungannya dengan kebebasan dalam bertindak.
[a] Pertama-tama mesti dilihat bahwa konsep kewajiban dalam pengungkapan tindakan mesti mengklaim konsep kewajiban ala Kant. Kewajiban menurut Kant, merupakan kewajiban yang sebagai ciri hakiki dari kebaikan moral. Kewajiban ini menghendaki sebuah keharusan moral – Iought; sollen (bukan keharusan fisik – I must/mussen) dalam mengungkapkan sebuah tindakan yang baik. Kewajiban ini pula hanya bisa dipenuhi dalam kerangkeng kebebasan.
[b] Kebebasan yang sekurang-kurangnya mesti terwujud dalam sebuah tindakan moral, ialah kebebasan yang sebagaimana dalam pemahaman kebebasan yang ketiga menurut filsafat Skolastik. Kebebasan ini adalah libertas a peccato. Kebebasan yang bukan hanya menentukan diri tanpa paksaan dari luar atau dari dalam, tetapi juga kemampuan (kebebasan) untuk menentukan diri ke arah kebaikan dan nilai sejati.
Dalam konteks keberadaan kasus Covid-19 yang melonjak akhir-akhir ini, ragam langkah-laku actus humanus kita haruslah bernaung di bawah payung dua pemahaman tentang kewajiban dalam hubungannya dengan kebebasan dalam bertindak tersebut. Kita dapat merangkum dua pemahaman itu, bahwasannya untuk membentuk sebuah tindakan yang actus humanus (tahu, mau, bebas) yang dapat dipertanggungjawabkan, orang harus hadir dalam sebuah pemahaman akan tatanan tindakan yang mesti berpijak pada konsep kewajiban sebagai ciri hakiki dari kebaikan moral.
Kewajiban ini akan mengungkapkan sebuah keharusan moral dalam diri seseorang untuk bertindak secara bebas. Orang bebas untuk melaksanakan atau mengabaikannya. Pelaksanaan kewajiban moral ini bersifat membebaskan, karena menyempurnakan manusia sebagai pribadi. Karena orang atau si pelaku tindakan adalah penyebab bebas, dalam arti bahwa tindakan tertentu ada di bawah kontrol dan kuasanya, maka ia bertanggung jawab atas tindakan itu.
Dua keburukan actus humanus kita: “sikap pasrah dan malas tahu”, yang ditilik sebagai subjek penyebab menanjaknya kasus Covid-19 beberapa waktu terakhir ini, mestilah dilihat sebagai sebuah kekeliruan tindakan kita yang terlampau mengandalkan otonomi kebebasan pribadi kita.
Kita tampil dengan sangat berani dengan kekuatan ego pribadi kita dan seolah-olah mampu untuk melawan virus corona secara berdikari. Kini actus humanus kita harus kembali pada jalur “yang menuju kebaikan moral”. Kita bertindak dengan sebuah pesan “kewajiban”, yang akan mengarahkan kita dalam kerangkeng kebebasan menuju kebaikan moral yang diimpikan bersama: “mengusir keberadaan virus corona dari kehidupan kita!”
*Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero, Tinggal di Ritapiret