Borong, Ekorantt.com – “Nyawa menjadi taruhan pun saya tidak peduli. Yang penting anak saya selamat.” Demikian ungkapan Elisabet Namus ketika melahirkan putra bungsunya, 22 tahun lalu.
Kala itu, ia berjuang sekuat tenaga agar bayi selamat, meskipun dirinya dalam kondisi lumpuh.
“Waktu mengandung itu saya sudah tidak bisa berdiri, tapi tangan masih bisa gerak,” ceritanya.
Elisabet mulai sakit sejak 1997. Saat itu, kedua kaki dan lututnya terasa keram. Ia tidak sanggup berdiri dan berjalan.
Setahun kemudian, rasa sakitnya tak kunjung sembuh hingga ia mengandung anak bungsunya. Ia melahirkan putranya itu dalam kondisi sakit. Kedua kakinya tidak bisa bergerak.
Pasca melahirkan anaknya itu, kondisi Elisabet semakin memburuk. Kaki dan tangan melengkung dan kaku, tidak bisa direntangkan. Jari kelingking dan jari manis di kedua tangannya terlipat. Badannya juga kaku, tidak mampu bergerak. Ia sering muntah-muntah.
Melihat kondisi yang demikian, suaminya, Ferdinandes Kanel membawa Elisabet ke Rumah Sakit St. Rafael Cancar.
“Di rumah sakit, tidak ditemukan adanya penyakit,” tuturnya.
Elisabet pun kembali ke rumahnya di Nggari, Desa Golo Nderu, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Manggarai Timur. Sejak saat itu, ia hanya bisa terbaring di dalam kamar.
Puluhan tahun ia menghabiskan hari-harinya di dalam bilik berukuran sekitar 2×3 meter itu. Ia berbaring di atas tempat tidur kayu, beralaskan kasur yang kini kondisinya sudah tipis dan keras. Ia tidak bisa keluar kamar, apalagi keluar rumah.
“Kasur ini sudah puluhan tahun tidak pernah diganti, sehingga terasa keras dan membuat badan semakin sakit. Namun mau bagaimana lagi, ini sudah hidup saya,” ujarnya lirih.
Saat makan, minum, dan mandi, Elisabet membutuhkan bantuan orang lain.
Sedangkan ketika hendak membuang air besar dan kecil, ia membuka pakaiannya sendiri, menggunakan kayu berukuran kecil. Elisabet memegang kayu itu menggunakan jari jempol dan jari telunjuk, seperti memegang pulpen.
Kotorannya itu ia buang lewat lubang kecil di sudut tempat tidur, dan ditampung menggunakan sebuah ember.
Kendati kondisinya yang demikian, Elisabet tetap bersyukur karena masih diberi napas kehidupan.
Sementara Kanel mengaku sedih, dan ingin sekali mengajak istrinya itu berjalan ke luar rumah.
“Tapi mau bagaimana lagi, saya juga sudah tua dan tenaga saya tidak kuat lagi untuk gendong dia,” ujarnya.
Elisabet berharap, suatu saat, di usianya yang semakin tua, ia bisa menikmati suasana di luar rumah.
“Semoga di sisa umur saya ini, saya punya kesempatan untuk menikmati suasana di luar,” tutupnya.
Yaflin Lehot