Oleh: Bernardus Tube Beding
Kehidupan masyarakat zaman sekarang masih jauh dari nilai humanitas. Bahkan, kaum muda yang disebut putra dan putri Indonesia yang sekarang mengisi semangat Sumpah Pemuda dalam dunia pendidikan makin terusik. Tidak dimungkiri bahwa sering kita dengar dan saksikan di layar televisi atau baca di pemberitaan media massa, perilaku kaum muda jauh dari nilai-nilai humanitas.
Senarai panjang bisa kita buat untuk menunjukkan fenomena anomali tersebut. Sekadar contoh realitas bisa kita sebut, pelajar tawuran usai sekolah di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, tawuran para pelajar di Bogor, tawuran antarwarga di Adonara, Flores Timur NTT, dan di daerah-daerah lain seluruh Indonesia. Umumnya, karena tersulut emosi, kaum muda menjalin percekcokan, bentrokan, tawuran, dan tidak jarang berujung pada kematian yang sia-sia. Ironinya, kejadian-kejadian tersebut acapkali hanya dipicu oleh kesalahpahaman, persoalan sepele, dan hal-hal lain yang remeh-temeh.
Tentu, masih banyak perilaku kekerasan, baik verbal maupun nonverbal merajalela dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa kegiatan pendidikan kita masih jauh dari nilai humanitas. Jika demikian, upaya humanisasi pendidikan mendesak dilakukan.
Suwandi (2017) memberi konsep humanisasi pendidikan sebagai upaya strategis untuk menyiapkan generasi bangsa yang cerdas nalar, cerdas emosional, cerdas sosial, dan cerdas spiritualitas. Bukan sebaliknya menciptakan individu-individu berwawasan sempit, pasif, eksekutif, dan tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Pembelajaran Bahasa
Rekonstruksi humanitas pada diri kaum muda pelajar merupakan bagian integral dalam praktik pendidikan dan pembelajaran bahasa (dan sastra) Indonesia. Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMP termuat bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik.
Ini berarti pelajaran bahasa Indonesia diharapkan membantu peserta didik mengenal diri dan budayanya, serta budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat pengguna bahassa, serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya.
Demikian halnya dalam Permendikbud No. 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013. Permendikbud tersebut tersurat kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik SMP, yakni (1) memiliki perilaku jujur, percaya diri, tanggung jawab, kreatif, peduli, santun dalam merespon berbagai hal secara pribadi dan (2) memiliki perilaku jujur, percaya diri, tanggung jawab, kreatif, peduli, serta santun dalam menangani dan memberikan berbagai hal.
Kedua rujukan tersebut menunjukkan bahwa rekonstruktif humanisasi tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran bahasa Indonesia. Alasannya bahwa selain sebagai objek pembelajaran, bahasa merupakan medium penting dalam interaksi sosial dan edukatif antara pendidik dan peserta didik, antarpeserta didik, komponen pendidikan dengan sumber belajar.
Bahkan, bahasa merupakan medium paling penting bagi semua interaksi manusia dan dalam banyak hal bahasa disebut sebagai intisari dari fenomena sosial.
Anwar (1995) menegaskan bahwa tanpa adanya bahasa tidak akan mungkin terbentuknya masyarakat dan tidak akan ada kegiatan dalam masyarakat, selain kegiatan yang didorong oleh naluri individu.
Bahasa merupakan suatu pranata sosial yang setiap orang harus menguasainya agar dapat berfungsi di dalam daerah yang bersifat kelembagaan dari kehidupan sosial. Bahasa merupakan alat yang penting dalam berkomunikasi, akan tetapi bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, bahasa juga alat dari pengalaman perasaan secara kolektif.
Bahasa juga sebagai simbol realitas budaya (Kramsch, 1998). Artinya, bahasa merupakan sistem tanda yang dapat dilihat sebagai pemilikan sebuah nilai budaya. Pengguna bahasa mengenali dirinya dan orang lain melalui bahasa yang digunakannya. Bahasa adalah simbol identitas masyarakat. Jika larangan dan pembatasan penggunaan bahasa oleh masyarakat tertentu sering dipahami penutur sebagai penolakan terhadap kelompok sosial dan budaya mereka.
Hal itu berarti pelajaran bahasa Indonesia tidak cukup hanya berkenaan dengan aspek-aspek linguistik. Pelajaran bahasa Indonesia harus memperhatikan aspek kebudayaan. Alasannya, bentuk dan kegunaan bahasa mencerminkan nilai-nilai kultur masyarakat pemakai bahasa tersebut. Oleh sebab itu, memiliki kompetensi linguistik saja tidak cukup bagi seorang pembelajar bahasa untuk berkompeten dengan bahasa tersebut.
Seorang pembelajar bahasa harus menyadari, misalnya, cara yang tepat secara kultural, menyapa orang lain, mengungkapkan terima kasih, meminta, dan menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuan. Mereka harus mengetahui bahwa prilaku dan pola intonasi yang tepat di dalam berbahasa mungkin akan ditanggapi secara berbeda oleh orang lain. Mereka harus memahami agar komunikasi berhasil, kegunaan bahasa berkaitan erat dengan perilaku yang tepat secara kultural (Suwandi, 2006). Melalui bahasalah nilai-nilai humanitas dikembangkan dan dipraktikkan, baik di lembaga pendidikan, masyarakat, dan latar sosial lainnya.
Pelajaran Sastra
Pelajaran sastra pun berperan dalam membangun nilai humanitas, yaitu mengasah budi, kepekaan rasa, dan kepedulian sosial peserta didik. Sastra mengajar pembacanya untuk dapat memahami dan menginternalisasi nilai yang terkandung di dalamnya, serta memiliki empati terhadap berbagai pengalaman hidup yang dengan daya kreatif dan imajinatif dihadirkan oleh pengarang, baik melalui puisi, cerpen, novel, drama, atau jenis karya fiksi lainnya.
Sastra bukan sekadar rangkaian kata-kata indah. Sesungguhnya, sastra merupakan kerja intelektual yang cerdas dan kreatif dari pengarangnya. Sastra mengemban banyak fungsi, seperti mengingatkan, menyindir, mengkritik, menenangkan, mengedukasi, menghibur, dan membentuk perilaku pembaca. Dari sastra, pembaca dapat banyak belajar tentang kejujuran, kesederhanaan, tanggung jawab, kedermawanan, kesalehan, dan kearifan yang dibutuhkan dalam menjalin kehidupan.
Melalui sastra pembaca dapat pula belajar memahami relasi yang baik antarmanusia dalam membangun dan mewujudkan harmoni sosial. Sastra yang baik akan mampu menyemai, menumbuhkan nilai-nilai, dan membentuk jiwa-jiwa humanis.
Kesetujuan Solutif
Saya menyatakan bahwa pelajaran bahasa (dan sastra) Indonesia di lembaga-lembaga pendidikan, khususnya pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebagai konstruksi humanitas. Karena itu, lembaga pendidikan (sekolah dan kampus) memiliki kewajiban untuk mendesain dan mengimplementasikan pendidikan bahasa (dan sastra) Indonesia yang membangun kemanusiaan atau kodrat manusia.
Lembaga pendidikan dituntut untuk merancang dan melaksanakan program kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler yang memberikan ruang luas bagi penyemaian dan penumbuhsuburan, serta berkembangnya nilai-nilai humanitas bagi kaum muda, putra dan putri Indonesia.
Secara khusus, pada tingkat perguruan tinggi, pengejahwantaan harapan itu, baik jika membangun kebijakan yang memayungi dan mengarahkan berbagai produk regulasi atau panduan yang peka terhadap prilaku konstruktif humanitas bagi seluruh civitas akademika. Tentu, menjadi kewajiban lembaga mengembangkan dan mewujudkan para pendidik yang humanis, serta infrastruktur dan atmosfer yang mendukung berbagai aktivitas dan kreativitas bagi perwujudan konstruksi humanitas.
*Penulis adalah Dosen Prodi PBSI Unika Santu Paulus Ruteng