Oleh: Yohanes Sudarmo Dua
Ratusan rumah warga masih terkubur lumpur dan tertindih batu-batuan gunung saat presiden Joko Widodo tiba di desa Amakaka, kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, april silam. Didampingi Viktor Laiskodat (Gubernur NTT), Bupati Lembata, dan beberapa pejabat pusat seperti Basuki Hadimuljono (Menteri PUPR), Pramono Anung (Sekretaris Kabinet), dan Doni Monardo (Kepala BNPB), presiden Jokowi mengunjungi desa Amakaka yang kala itu menderita terjangan badai seroja dengan tingkat kerusakan paling parah. Saat disambangi presiden Jokowi, lebih dari separuh desa tersebut tampak seperti sebuah kuburan masal.
Tak jauh dari Amakaka, terdapat sebuah lokasi lain yang juga tampak menyerupai ‘kuburan’. Presiden Jokowi, sayangnya, tidak sempat mengunjungi tempat ini. Maklum, yang terkubur di sana bukanlah rumah-rumah warga yang terdampak badai seroja. Yang terkubur di sana adalah tiang-tiang beton yang konon hendak digunakan sebagai tiang pancang untuk proyek jembatan apung dan kolam renang milik pemerintah daerah (Pemda) Lembata.
Lokasi ‘kuburan’ tiang-tiang beton itu bernama Awololong. Di lokasi itu, tidak hanya tiang-tiang beton yang sedang terkubur; ‘terkubur’ pula di sana uang negara senilai hampir tujuh miliar rupiah.
Proyek Awololong adalah sebuah mega proyek Pemda Lembata yang dikerjakan oleh PT Bahana Krida Nusantara. Proyek yang menghabiskan uang rakyat senilai miliaran rupiah tersebut gagal dituntaskan hingga akhir masa kontrak pada 31 Desember 2018 silam. Pun setelah dilakukan dua kali addendum hingga akhir 2019, realisasi fisik pengerjaan proyek di lokasi Awololong masih nihil.
Celakanya, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek Awololong, Silvester Samun, telah mencairkan anggaran proyek senilai hampir 85% kepada PT Bahana Krida Nusantara. Dugaan tindak pidana korupsi pun menyeruak.
Atas laporan dan pengaduan dari berbagai lapisan masyarakat, pihak penegak hukum akhirnya menetapkan Silvester Samun (PPK), Middo Arianto Boru (konsultan perencana), dan Abraham Yehezkibel Tsazaro (kontraktor pelaksana) sebagai tersangka kasus korupsi yang sidang perdananya telah digelar pada 26 Oktober 2021.
Tanpa berniat mendahului fakta persidangan yang muncul, terdapat suatu pertanyaan menggelitik yang perlu dijawab: apa sebab utama kegagalan proyek Awololong? Banyak pihak menilai, muasal mangkraknya proyek ini lebih disebabkan oleh kegagalan konstruksi di lokasi proyek. Tiang-tiang beton yang disiapkan oleh PT Bahana Krida Nusantara ternyata tidak dapat dipancang di lokasi proyek. Alasannya tentu sangat teknis-mekanis.
Muncul dugaan, pembangunan proyek ini tidak didasarkan atas studi kelayakan dan kajian yang akurat. Dugaan lain, rekomendasi hasil kajian tim ahli bentukan Pemda Lembata terkait proyek ini mungkin dibuat sekadar untuk memenuhi persyaratan administratif belaka.
Bila asumsi-asumsi ini benar, kasus korupsi proyek Awololong sebenarnya mengingatkan kita akan salah satu hulu potensi korupsi yang mesti diswapadai. Hulu dimaksud adalah perencanaan proyek yang tidak berbasis data dan kajian yang akurat. Pengabaian terhadap basis data, selain berakibat pada mangkraknya sebuah proyek, juga dapat membuka ruang bagi tindak pidana korupsi.
Solusi atas persoalan seperti di atas harusnya tampak straight forward: setiap proyek yang dibangun harus telah direncanakan secara matang dan disandarkan pada kajian-kajian yang holistik, valid, dan reliabel.
Dalam hal ini, pertama, harus dapat dipastikan bahwa kajian-kajian tersebut benar-benar dibuat oleh tim ahli yang tidak hanya berkompeten tetapi juga berintegritas.
Kedua, kontrol publik terhadap proyek-proyek Pemda harus dilakukan sejak dini. Selama ini, di banyak daerah di tanah air, publik hanya disuguhi informasi terkait sebuah proyek yang sedang dalam pengerjaan lewat papan pengumuman proyek.
Harusnya, Pemda dapat menciptakan sistem yang memungkinkan publik untuk mengakses lebih dini ‘bank data’ baik itu berupa kajian-kajian, studi kelayakan, berikut rekomendasi dari setiap proyek yang hendak dibangun. ‘Bank data’ ini harus bisa diakses oleh publik jauh-jauh hari sebelum suatu proyek dieksekusi.
‘Bank data’ yang open access tersebut harus dapat menjadi living issue yang terbuka terhadap kritikan, saran, dan bahkan penolakan publik bila terbukti orientasinya bukan untuk bonnum commune. Dengan cara-cara ini, seluruh pihak dapat mencegah di hulu hadirnya aneka proyek siluman atau proyek-proyek hasil negosiasi gelap di ruang senyap yang dilakukan oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Kampus Merdeka
Program ini diluncurkan oleh Mendikbud-Ristek, Nadiem Makarim guna mendorong perguruan tinggi (PT) agar dapat menghasilkan lulusan yang adaptif, kreatif dan inovatif dalam menghadapi dunia kerja yang senantiasa mengalami volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas. Salah satu terobosan paling menonjol dari program ini adalah pemberian kebebasan kepada para mahasiswa untuk belajar di luar kampus selama dua semester dengan mengikuti aneka kegiatan seperti Magang, Riset, Pertukaran Mahasiswa, Kampus Mengajar, KKN Tematik, Proyek Kemanusiaan, atau jenis kegiatan lainnya yang diputuskan oleh rektor masing-masing PT.
Terlepas dari gagasan awal program Kampus Merdeka yang utamanya menempatkan para mahasiswa sebagai objek yang sedang digembleng, bila dicermati secara seksama, beberapa kegiatan Kampus Merdeka (sebut saja: Kampus Mengajar dan Proyek Kemanusiaan) sebenarnya menggambarkan sisi lain dari program ini yang mungkin jarang diperbincangkan atau bahkan alpa dari diskusi kita di ruang publik.
Bagi penulis, kegiatan-kegiatan tersebut pada hakikatnya mewakili kesadaran negara akan pentingnya keterlibatan orang-orang muda (baca: mahasiswa/i) untuk turut serta menyelesaikan persoalan bangsa. Program Kampus Mengajar, misalnya.
Selain menjadi kesempatan bagi mahasiswa untuk mengasah kepedulian sosial dan kemampuan pemecahan masalah, program ini juga memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk turut berkontribusi dalam memajukan pendidikan bangsa. Melalui program Kampus Mengajar, para mahasiswa dapat pergi ke dusun-dusun di pelosok negeri ini dan membantu para guru dalam pembelajaran literasi, numerasi, dan adaptasi teknologi.
Demikian pula lewat Proyek kemanusiaan, para mahasiswa dapat turun tangan untuk membantu menyelesaikan persoalan bangsa. Tentu, sambil terus belajar!
Cegah Korupsi di Daerah
Dalam konteks pencegahan hulu potensi korupsi di daerah lewat ketersediaan ‘bank data’ suatu proyek atau (lebih tepatnya bakal proyek) milik Pemda, energi para mahasiswa sebenarnya dapat diberdayakan. Untuk tujuan tersebut, penulis mengusulkan agar skema Riset pada program Kampus Merdeka dapat dimodifikasi untuk mewujudkan gagasan di atas.
Saat ini, program riset masih sebatas memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan riset pada suatu kelompok riset atau lembaga penelitian. Program ini sebenarnya bisa diperluas untuk mengakomodir ketersediaan ‘bank data’ yang dibutuhkan Pemda.
Caranya: setiap daerah dapat membuka diri atau bila perlu mendeklarasikan diri sebagai regency of research, daerah tujuan riset, bagi seluruh mahasiswa Kampus Merdeka. Para mahasiswa yang tertarik dan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan dapat difasilitasi untuk melakukan riset di daerah tersebut.
Secara prinsip, skema riset kampus merdeka yang diusulkan penulis ini berbeda dengan kegiatan penelitian mahasiswa yang selama ini dilakukan, terutama dalam hal inisiatif awal dan juga kebermanfaatan riset yang dilakukan.
Pertama, biasanya, ide riset berasal dari para mahasiswa. Di sini, justru Pemda-lah yang didorong untuk menawarkan kebutuhan riset yang bisa diteliti oleh para mahasiswa di daerah mereka.
Kedua, hasil riset para mahasiswa tersebut harus langsung didiseminasikan secara terbuka di hadapan para pakar (bisa dari akademisi dan praktisi), komunitas-komunitas di daerah, dan Pemda untuk mendapatkan kritikan dan saran guna penyempurnaan riset yang dilakukan. Selanjutnya, hasil-hasil riset yang sudah final tersebut dapat dijadikan ‘bank data’ oleh Pemda untuk dapat digunakan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.
Penulis membayangkan, suatu daerah yang berhasil mewujudkan konsep regency of research akan memiliki tabungan data yang sangat kaya dan dapat dijadikan sebagai building blocks dalam proses pembangunan setiap proyek sesuai cetak biru pembangunan di daerah tersebut. Publik pun dapat berkontribusi secara optimal dalam mengontrol jalannya pembangunan karena sedari awal mengikuti apa yang dilakukan Pemda.
Kita tentu berharap, uang rakyat tidak boleh lagi ‘terkubur’ begitu saja seperti dalam kasus Awololong. Karenanya, hulu potensi korupsi di daerah harus diberangus.
Karena “mahasiswa itu akal dan hati masyarakat”, mari berdayakan mereka untuk berada di garda terdepan. Salah satunya dengan tidak membiarkan hasil pemikiran mereka sekadar ‘terkubur’ beku di kampus.
*Penulis adalah Pengajar Fisika di Universitas Nusa Nipa Maumere, Flores, NTT