Mbay, Ekorantt.com – Pemerintah Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo sedang berupaya menyelesaikan sengketa tanah ulayat antara Persekutuan Adat Suku Mbay dan Suku Mbare di Kelurahan Towak.
Meski upaya penyelesaian belum membuahkan hasil, Pemcam Aesesa berjanji akan terus berkomitmen melakukan pendekatan secara persuasif.
“Mereka (Suku Mbare) belum berkenan untuk datang tapi kami akan terus mencoba lakukan pendekatan secara persuasif. Kami dari pemerintah meminta agar kedua belah pihak bisa menahan diri, kita jaga stabilitas keamanan di wilayah Kecamatan Aesesa,” tutur Camat Aesesa Yakobus Laga Kota kepada wartawan di Mbay, Selasa (9/11/2021).
Ia pun kembali berharap agar kedua belah pihak bisa bersedia menyelesaikan persoalan ulayat secara kekeluargaan dengan hati terbuka.
“Iya itu harapan kami di lembaga pemerintah agar bisa selesai dengan baik. Hari ini sebenarnya hari yang tepat karena saya terus terang saja, beberapa hari ke depan jadwal kerja saya sangat padat. Selain urusan Mbay dan Mbare, saya juga sedang mengurus persoalan waduk Lambo,” ujar Yakobus.
Sebelumnya, Yakobus mengaku kesal katidakhadiran pihak Suku Mbare dalam pertemuan yang diagendakan pada Selasa (9/11/2021) di Aula Kantor Camat Aesesa.
Padahal pemerintah sudah menginformasikan baik secara lisan maupun tertulis kepada pihak Suku Mbare. Ke depannya, Yakobus berharap agar kedua pihak dapat membuka ruang untuk bermusyawarah mufakat menyelesaikan persoalan tanah ulayat yang diklaim oleh antar pihak.
“Saya harap pada waktu tertentu kedua pihak bisa bertemu, kami mediasinya,” ucap Yakobus.
Larang Ritual Adat
Juru bicara Persekutuan Adat Suku Mbay, Nikolaus Hema Daeng menerangkan bahwa tanah yang saat ini sebagai tempat pemukiman Suku Mbare merupakan tanah ulayat Suku Mbay.
Untuk itu, pihaknya mengingatkan Suku Mbare agar tidak menggelar ritual adat di atas ulayat Suku Mbay. Pasalnya, hal itu menjadi eskistensi nilai budaya yang ditanam leluhur Suku Mbay sejak dahulu.
“Untuk itu kami melarang ritual adat yang mengatasnama Suku Mbare diatas ulayat persekutuan adat Mbay. Dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun, kami melarang,” tutur Nikolaus.
Nikolaus menambahkan bahwa larangan tidak berbuat seremonial adat bukan baru kali ini. Pihaknya mengklaim sudah mengingatkan Suku Mbare sejak tahun 1982, namun tidak diindahkan.
Pada tahun 1984, pihak Suku Mbare kemudian mengundang lembaga pertanahan untuk mengukur tanah di atas ulayat Suku Mbay secara diam-diam. Kemudian diikuti pembangunan ‘Ngandung’ (simbol adat) di Wewoloe yang merupakan ulayat Suku Mbay.
“Kami sudah mengingatkan dan melarang seremonial adat di ulayat kami. Tapi tidak diindahkan juga. Dan perlu saya ingatkan, nama asli daerah itu bukan Towak tetapi Mbungeng,” tutur Nikolaus.
“Jadi kami melarang seremonial adat di atas ulayat kami, termasuk upacara tinju adat,” tegas Nikolaus.
Hal serupa juga diungkapkan Muhamad Saman Jogo, tokoh masyarakat adat Mbay kepada wartawan usai pertemuan di Aula Kantor Camat Aesesa,
Muhamad mengatakan seremonial adat boleh dilakukan kecuali digelar di tempat yang sesungguhnya yakni Nggolo Ojang. Bukan sebaliknya menggelar di Wewoloe yang merupakan ulayat Suku Mbay.
“Iya, mereka datang hanya untuk mengolah sawah bukan mendirikan persekutuan adat dan melakukan seremonial adat di wilayah tanah adat Mbay,” katanya.
Muhamad pun meminta kepada pemerintah untuk memastikan dalam waktu dekat agar Suku Mbare tidak menggelar tinju adat di Wewoloe.
Dilansir Laskar Media.com pada 22 Oktober 2021 lalu, Ketua Suku Mbare Elias Pita menegaskan bahwa pihaknya dan seluruh anggota suku akan tetap selenggarakan tinju adat seperti biasa di tempat yang sama.
“Sebagai Ketua Suku Mbare sikap saya jelas akan tetap gelarkan tinju adat sebagaimana biasanya. Apa yang sudah saya katakan dan sudah kami lakukan, tidak akan saya mundur,” kata Elias di kediamannya.
Diinformasikan, hingga berita ini diturunkan wartawan media ini belum berhasil menemui pihak Suku Mbare. Media ini akan terus berupaya menggali informasi dan meminta klarifikasi secara lengkap dari pihak Suku Mbare.
Ian Bala