Maumere, Ekorantt.com – Ekosistem digital di Indonesia belum memiliki aturan yang jelas. Akibatnya pelaku sistem elektronik masih bingung ke mana arah kepatuhan mereka terhadap kebijakan data konsumen karena Indonesia sendiri belum memiliki aturan tentang perlindungan data pribadi
Demikian perkataan Ruby Alamsyah dari Digital Forensic Indonesia (DFI) dalam webinar bertajuk “Dilema Seputar Hak Digital di Indonesia: Kebebasan Berekspresi dan Privasi Data” pada Selasa, 16 November 2021. Webinar ini terselenggara berkat kerja sama Delegasi Uni Eropa dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Yayasan TIFA.
Ruby melanjutkan bahwa aturan yang belum jelas itu, salah satunya RUU Perlindungan Data Pribadi yang belum kunjung diundang-undangkan. Hal ini, kata Ruby, disebabkan dua hal. Pertama, terkait komisi pengawasan Perlindungan Data Pribadi (PDP).
“Dari pemerintah, mereka minta Kominfo yang awasi. Padahal di satu sisi, kalau kami dari praktisi dan sebagian besar anggota DPR, kan Kominfo menjadi salah satu entitas yang diawasi, kok mau menjadi pengawas juga. Bisa terjasi conflict of interest,” jelasnya.
Menurut Ruby, bila merujuk pada pengalaman di negara lain, komisi pengawasan ini merupakan entitas independen, berada di luar pemerintah.
Kedua, terkait agregasi data. Tapi, lanjut Ruby, poin pertama yang paling krusial yakni komisi pengawasan PDP.
Pada sesi lain, Peneliti Utama Yayasan TIFA, Sherly Haristya menjelaskan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia berkembang pesat. Sehubungan dengan itu, hak-hak digital sangat penting.
“Hak kebebasan berekspreasi online dan privasi data,” ujarnya sembari menambahkan bahwa pentingnya juga adalah menjaga keamanan publik dan pertumbuhan ekonomi digital.
“Ada tarik menarik antara nilai dan tujuan, kebebasan berekspresi online atau keamanan publik, dan antara standar yang diterapkan oleh sosial media platform dengan konteks lokal Indonesia.”
Sementara Perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Josua Sitompul dalam materinya menjelaskan bahwa motif dari cyber space ada tiga yaitu virtual, bisa diakses dari mana saja, borderless.
Dalam UU ITE, jelas Josua, ada tiga stakeholders yang sangat berperan yaitu, pemerintah, penyelenggara sistem elektronik, dan pengguna.
“Penyelenggara sistem elektronik privat dapat memproses data atau menempatkan pusat datanya di luar Indonesia. Apabila penyelenggara memroses atau menempatkan pusat datanya di luar Indonesia, maka mereka wajib memastikan efektivitas pengawasan serta penegakan hukumnya,” tandasnya.