Maumere, Ekorantt.com – Osias (65), Godi (60) dan Edi (58) sempat mengalami pengalaman pahit selama berdagang kayu bakar di Pasar Alok, Maumere, Kabupaten Sikka. Semenjak virus African Swine Fever (ASF) menyerang ternak babi, membuat usaha berdagang mereka sempat goyah.
Namun, para pedagang ini tidak terlarut dan patah semangat dalam masalah ekonomi mereka. Ketiga pria paruh baya ini justru mulai bangkit dan fokus pada bisnis kayu bakar.
Di bawah pohon kersen, kompleks Pasar Alok, tempat mereka berteduh menjajaki kayu bakar. Kayu-kayu bakar yang sudah diikat disusun rapi berbaris. Adapun tempurung kelapa yang mereka mulai kembangkan dalam bisnis kecil-kecilan.
Edi (58) sebenarnya tidak ingin mengungkit kembali masalah ekonomi keluarga pada masa lalu karena kehilangan hampir belasan juta akibat virus ASF. “Yang membuat saya terpukul adalah babi betina yang lagi bunting dan perhitungan lagi dua minggu beranak ikut mati akibat virus ini,” kata Edi.
Untuk membangkitkan kembali ekonomi keluarga, Edi harus rela meminjam Rp 5 juta dari koperasi CU Bahtera Sejahtera sebagai modal bisnis kayu bakar. Ia menyadari, untuk mengembalikan kehilangan puluhan juta dari ASF itu perlu butuh waktu yang lama.
“Bagi saya, kehilangan ternak babi itu merupakan musibah yang sangat berarti,” ujar pensiunan pegawai honorer daerah itu.
Namun, Edi merasa sedikit terbantu saat pergantian musim. Ia berkata, bisnis kayu bakar yang sangat menyenangkan ketika musim pesta. Bahkan stok yang disediakan kurang karena permintaan cukup tinggi.
Pengalaman itu pun diakui Osias (65) yang dianggap sebagai senior dalam bisnis kayu bakar sejak Pasar Alok diresmikan pada tahun 2007. Osias menyatakan pendapatan saat musim pesta bias mencapai Rp 1-2 juta.
“Ya, karena permintaan sangat tinggi. Kami kadang-kadang kewalahan stok kayu bakar,” ujar pria asal Dobo, Kecamatan Mego itu.
Ia menyatakan, bisnis kayu bakar memang sangat menjanjikan ketiga musim pesta atau hajatan adat. Karena itu, ia focus menggeluti. “Sebelum jual kayu bakar saya jual sayur-sayuran dan buah-buahan di Pasar Bongkar Perumnas Maumere. Ketika Pasar Alok mulai beroperasi, saya fokus dengan jual kayu bakar karena sungguh menjanjikan,” ungkap Osias.
Meski diklaim menjanjikan, Osias sempat putus asa karena ASF mulai bertubi-tubi menyerang ternak babi di Sikka. Osias bilang, pengaruh ASF terhadap bisnis kayu bakar cukup besar.
“Pasti untuk pakan babi pada umumnya keladi dan cincangan batang pisang dan jelas dimasak. Pasti butuh kayu bakar. Nah, disitulah bisnis kami macet,” terang Osias.
Ia mengungkapkan kayu-kayu bakar itu dibeli dari warga di wilayah Aimitat, Kolisia, Nangarasong, Nilo, Blidit dan Wolomapa. Kemudian ia menjual lagi di Pasar Alok. “Biasanya sebelum membeli kayu bakar pelanggan datang membawa seikat kayu bakar sebagai contoh. Jika sudah sepakat dengan harga baru diantar dengan pick up,” katanya.
Sementara Godi (60) asal Poma, Kecamatan Tanawawo mulai menggeluti usaha ini sejak tahun 2010. Ia mengatakan bermodalkan pinjaman dari koperasi harian, ia jalani usaha jual kayu bakar ini.
Ia mengakui pada saat pesta, dirinya boleh tersenyum karena sehari bisa mengantongi uang lumayan. “Uang hasil jualan ini selain kebutuhan anak sekolah dan kebutuhan sehari-hari, sisanya saya sisihkan untuk simpan di Kopdit Obor Mas dan Pintu Air,” ujar Godi.
Ia menuturkan, keadaan sulit dialami oleh pedagang kayu bakar disaat wilayah Maumere diserang virus ASF dan Covid-19. Selain penurunan pembeli akibat ASF juga pemberlakuan kebijakan pemerintah soal pembatasan pergerakan masyarakat membuat pebisnis kayu bakar tak berdaya.
“Karena kami sudah tua dan hanya menunggu pembeli datang. Berbeda sekarang yang harus pesan online. Kalau sekarang sudah baik karena pasar sudah normal kembali. Kami merasa terbantu kembali,” kata dia.
Yuven Fernandez