Oleh: Reinard L. Meo*
10 Februari tahun ini, genap 23 tahun Romo Mangun wafat. Bagi seorang legenda, berapa pun usia kematiannya, ia akan tetap hidup, bahkan seolah tak pernah mati. Kisah hidupnya memangkas laju waktu, pikiran-pikirannya abadi meski fisiknya telah lenyap ditelan bumi.
Artikel ini punya dua tujuan. Pertama, mengenang dan menghormati Romo Mangun. Sebelum menulis ini, saya telah terlebih dahulu membaca beberapa tulisan Romo Mangun dan tulisan tentang Romo Mangun. Awal Februari tahun ini saya khususkan buat Romo Mangun. Kedua, kritik terbuka bagi kita semua.
Mati dalam Tugas
Bernama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Romo Mangun lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, 6 Mei 1929 dari pasangan Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah. Pada 8 September 1959, ia ditahbiskan menjadi Pastor.
Selain sebagai rohaniwan Katolik, Romo Mangun dikenang juga sebagai aktivis, penggiat HAM, penulis, novelis, arsitek, budayawan, dan teolog pembebasan. Oleh Alm. Bapak Habibie, Romo disebut sebagai “Paus”-nya umat Kali Code dan Kedung Ombo, oleh sebab kegigihannya membela wong cilik di daerah itu.
Dalam buku “Kata-kata Terakhir Romo Mangun. Sebuah Perjumpaan Hangat di Ujung Perjalanan” (Jakarta: Kompas, 2014) yang diedit oleh Th. Bambang Murtianto, kita dapat membaca detail bagaimana Romo Mangun akhirnya wafat.
Pada 10 Februari 1999, Romo Mangun menjadi salah satu pembicara dalam seminar berjudul “Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia” yang diselenggarakan oleh Yayasan Obor Indonesia dan beberapa penerbit lainnya, di Hotel Le Meridien, Jakarta. Sehabis mempresentasikan makalahnya, pada pukul 14.55 WIB, Romo Mangun terkena serangan jantung dan jatuh terkulai di bahu budayawan dan sahabat karibnya, Mohamad Sobary. Romo Mangun wafat pada usia hampir 69 tahun.
Ada hal menarik yang sekejap memunculkan rasa kagum dalam diri saya. Dari jauh-jauh hari sebelum wafat, Romo Mangun ternyata sudah merumuskan semacam cita-citanya: “(a) meninggal dalam tugas, (b) bila akan mati tidak perlu pakai sesi sakit-sakitan yang berlarut-larut, agar kematiannya tidak merepotkan orang lain, dan (c) tubuhnya bisa disumbangkan untuk dirobek-robek mahasiswa kedokteran sebelum dimakamkan” (hlm. 10). Dua cita-cita terkabul sempurna, yang ketiga dilarang oleh pihak Keuskupan Semarang.
Pokok-pokok Pikirannya
Dalam artikel yang terbatas ini, saya tidak membentangkan semua atau lebih banyak pokok pikiran Romo Mangun. Saya hanya memilih dua, yang hemat saya, relevan untuk kondisi kita saat ini.
Pertama, tentang politik. Ada dua macam pengertian politik, menurut Romo Mangun (hlm. 5-7). (a) Politik dalam rangka kekuasaaan. Politik jenis ini berlaku atau dihayati oleh yang berkuasa untuk mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan. Konsekuensinya, masyarakat umum kemudian menilai “politik itu kotor”. Politik diidentikkan dengan kekuasaan, atau berpolitik berarti ingin berkuasa dan menjadi penguasa.
(b) Politik moral. Bagi Romo Mangun, inilah arti dan makna politik yang asli-autentik. Politik sebetulnya adalah ikhtiar atau niat mulia demi kepentingan dan kesejahteraan orang banyak. Bila saya mengambil satu potong kue saja saat jam minum karena masih ada banyak teman lainnya yang belum kebagian, itu sudah masuk keputusan politik.
Ringkasnya, politik harus diartikan sebagai upaya untuk menyumbang pada kepentingan masyarakat luas yang adil dan beradab.
Kedua, tentang buku. Untuk seminar yang sudah disebutkan di atas, Romo Mangun menyiapkan makalah berjudul “Peran Buku Demi Kearifan dalam Iptek” (hlm. 21-47). Romo Mangun mengajukan beberapa pertanyaan penting. “…, apa mungkin benda yang namanya buku dapat mengikuti lomba kemajuan yang begitu cepat?”, “Apakah buku sebagai sarana informatif masih punya harapan bersaing dengan perangkat lunak dan keras dari dunia chips dan silikon?” Komputerisasi yang kian melejit, membuat buku sungguh merana karena serba kurang praktis.
Buku, bagi Romo Mangun, bagaikan andong atau dokar yang ditarik kuda dengan lonceng kecil berdenting merdu bagi orang yang sedang bernostalgia ke tempo dulu van voor de oorlog, ketika nasi gudek seperseratus rupiah sudah berlauk telur rebus, ketika harga sepeda rakyat hanya 25 rupiah; dan negara serba tenteram dan damai, maling pasti tertangkap, dan barang curian pasti ditemukan polisi dan dikembalikan tanpa tebusan satu sen pun kepada pemilik, elok dan antik, artinya berharga, akan tetapi kini dokar mustahil dipakai sebagai kendaraan antarkota.
Buku tetap penting, hemat Romo Mangun. Dalam perkembangan iptek yang kian menggila, Romo malah menekankan pentingnya buku panduan bagi iptek dan bagaimana menghadapi geliat perkembangan iptek tersebut.
Kritik Terbuka
Sekarang, mengapa artikel ini saya beri judul “Romo Mangun Adalah Kritik”? Sebagai seorang Pastor Katolik yang kerap disebut juga sebagai Gembala Umat, Mohamad Sobary melukiskan, “Bagi Romo kelihatannya mengabaikan Tuhan, untuk sementara, tak menjadi masalah. Tapi kita tak boleh mengabaikan manusia, para ‘domba’ yang memerlukan perhatian, dan kasih sayang dari sang gembala. Saya kira Tuhan tak cemburu sedikit pun pada pilihan etis seperti itu. Mungkin malah sebaliknya, Tuhan menyetujui, karena inilah jalan pemujaan yang lebih sejati” (hlm. xx).
Dalam praksis bergereja dewasa ini, makin sering kita berjumpa para gembala yang alih-alih dekat dengan dombanya, malah sebaliknya mengambil jarak dari dombanya. Gembala berbau domba makin sulit ditemukan, di tengah penerapan liturgi yang makin formalistik.
Gereja dibangun semegah-megahnya, di samping rumah umat yang reot sereot-reotnya. Umat miskin jarang didatangi, umat kelas menengah ke atas menjadi wajib dalam list kunjungan dengan macam-macam agenda.
Keprihatinan Romo Mangun mengenai kondisi teologi di Indonesia dan Asia dan keberpihakannya kepada kaum miskin dan tertindas tetaplah penting untuk diangkat kembali dan dikenang (hlm. 113). Sebagai teolog pembebasan gaya Indonesia (ia lebih suka istilahnya menjadi “Teologi Pemerdekaan”), Romo Mangun sungguh hadir sebagai sebuah kritik.
Selanjutnya, dalam dunia politik kita hari-hari ini, politik moral rasa-rasanya telah lama ditinggalkan. Orang makin ramai memakai politik hanya sebagai alat, sebagai kendaraan, untuk tujuan tunggal, berkuasa. Dalam rangka kekuasaan, “tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi” menjadi nyata.
Di Ngada misalnya, menuju Pilbup-Pilwabup 2020 yang lalu, masyarakat menjadi makin mudah terbelah. Pilpres 2019 telah lebih dahulu membuktikan itu, bahwa rakyat Indonesia pecah ke dalam tiga kubu yang saling baku hantam, kubu 01, kubu 02, dan kubu yang tegas mengatakan bahwa bagi orang waras, tidak ada opsi dalam Pilpres 2019.
Orang-orang Ngada tidak segan-segan memaki, memfitnah, hingga melancarkan tuduhan rasis, hanya karena beda jagoan. Politik kemudian menjadi sangat kotor, bukan karena in se politik itu kotor, tapi karena dimainkan sedemikian oleh warga dan loyalis yang tidak paham esensi politik.
Romo Mangun mengingatkan, dari segi politik moral, ada teman abadi, dan itulah tiga prinsip ini: memperjuangkan apa yang benar, apa yang baik, dan apa yang indah. Ini temannya yang abadi-sejati, jelas tidak bisa berubah.
Terakhir, dalam kaitannya dengan buku khususnya dan berliterasi umumnya, kritik itu saya sederhanakan dalam pertanyaan ini, kapan terakhir kali Anda membaca buku? “Ah, saya ini daging tua, tidak menarik untuk diterjang peluru…. ya, paling juga jadi pupuk.” Romo Mangun, doakan dan kritiklah kami selalu.
*Alumnus STFK Ledalero, Mengabdi di SMAS Katolik Regina Pacis Bajawa