Oleh: Eto Kwuta*
Saat ini Eksplorasi Budaya Lembata yang sudah dimulai dari tanggal 7 Februari dan akan berakhir pada 7 Maret 2022 tengah berlangsung dan melibatkan seluruh masyarakat adat Lembata. Momentum ini dinamakan sebagai Eksplorasi Budaya Lembata. Sebuah judul besar yang mau mengangkat budaya Lembata untuk dikenal secara lokal dan nasional.
Judul tersebut memberikan satu tanda bahwa dengan mengeksplorasi, itu berarti budaya Lembata akan digali untuk memeroleh pengalaman baru dari situasi yang baru. Di sini, Pemerintah Kabupaten Lembata menjadi penanggung jawab utama untuk mengontrol seluruh proses kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata.
Jika dilihat dari kaca mata berpikir filsafat seni, maka budaya itu memang pada dasarnya bermuatan seni paling murni dan kerena itu, perlu mendapat tempat di hati masyarakat. Sembari melihat kiat kerja Bupati Thomas Ola Langoday, segmen ini adalah sebuah revolusi seni dan budaya yang harus diapresiasi.
Life is short, but art is long (ars longa vitabrevis) adalah pepatah Latin klasik yang menunjukkan seni punya wacana abadi dan meluas. Di sisi lain, bicara seni tidak terlepas dari keindahan karena keindahan menjadi esensi dari kesenian (Mudji Sutrisno, 2005:5). Dengan begitu, masyarakat Lembata perlu melihat bagian ini sebagai satu revolusi budaya yang bermartabat.
Hemat saya, ada kemungkinan banyak persepsi pro dan kontra yang lahir. Tentu, itu sangat normal. Akan tetapi, perlu diingat bahwa eksistensi sebuah masyarakat budaya pada dasarnya selalu didobrak dengan banyak opini hingga pada akhirnya benar-benar menjadi opini yang berguna. Maka, Eksplorasi Budaya Lembata yang dilakukan Pemkab Lembata saat ini bukan satu ambisi politis, tapi ini adalah kewajiban politik dari Pemkab Lembata untuk seluruh elemen masyarakat Lembata itu sendiri.
Beberapa akademisi, di antaranya Dr Hippolitus Kristoforus Kewuel, dosen Antropologi Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya dan Dr. Drs. Ola Rongan Wilhelmus, M. Sc yang menyanjung perhelatan budaya lantaran melibatkan anak-anak sampai orang dewasa (Pos Kupang, 26/02/2022). Bentuk apresiasi kedua tokoh akademisi ini sangat berdasar lantaran mereka melihat Eksplorasi Budaya Lembata perlu dilakukan karena memiliki dampak positif untuk Lembata.
Di lain sisi, Pemerintah Kabupaten Lembata juga melihat ini sebagai suatu kewajiban generasi muda Lembata dalam mengetahui dan mencintai warisan budaya leluhur.
Tentu, hemat saya ini sebuah keberpihakan kepada budaya yang sering dilupakan. Pemkab Lembata sudah berani keluar dari jalur lama dan mengeksekusi dimensi seni yang ada di dalam masyarakat, lalu mengangkatnya ke permukaan.
Ada Dialektika
Di sini, muncul dialektika yang bisa dikatakan paling romantis. Dalam bahasa seni, Eksplorasi Budaya Lembata ini memberikan dampak keindahan yang bernilai abadi. Dengan memahami ars longa vitabrevis tersebut, kegiatan ini sungguh tepat sasar karena pada dasarnya memberikan seni berdialog yang dalam.
Ada dialektika atau komunikasi dua arah yang saling berhubungan, mendukung, dan pada akhirnya melestarikan budaya itu secara bersama. Dengan adanya dialektika ini, hubungan horizontal dan vertikal terjadi begitu dalam. Hubungan bapak dan anak menjadi dekat, atas-bawah dirapatkan, pemimpin dan warganya berpelukan, dan sebagainya.
Faktanya, seorang tokoh adat melakukan orasi paling indah di titik ke-9 di Desa Baolangu, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata hari ini (Ekorantt.com, Sabtu 26/2/2022). Yang dimaksudkan dengan Nubatukan, dia ada di tengah-tengah dan itu adalah bahu pemikulnya. Bukan lebar, bukan isi yang ada di depan dan belakang, tetapi bahu orang yang pikul itulah Nubatukan. Seruan seorang tokoh adat ini menjadi satu pertanyaan sekaligus autokritik paling murni.
Dengan demikian, siapa pun yang ada di Nubatukan, maka tugasnya adalah dia harus berpikir untuk semua arah mata angin. Jelas di sini, Thomas Ola Langoday mendorong Eksplorasi Budaya Lembata secara menyeluruh.
Maka sangat jelas di sini, bahasa autokritik tokoh adat Lembata sebagaimana diberitakan Ekora NTT menjadi sebuah evaluasi fundamental untuk Pemkab Lembata.
Jika autokritik ini berbunyi utara dia pikir, selatan dia harus pikir, timur dia pikir, barat pun harus pikir, karena Nubatukan, Lewoleba, dia harus pikul dengan seimbang, maka pada tataran ini, kata ‘dia’ merujuk pada Pemkab Lembata yang saat ini sedang memimpin Lembata menuju Lembata yang lebih damai.
Di sini, hemat saya, Eksplorasi Budaya Lembata sebaiknya dipahami dalam rangka dialektika atau komunikasi dua arah yang kontekstual. Mengapa demikian?
Pertama, Eksplorasi Budaya Lembata menjadi momentum dialog antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Jika dalam bahasa Hegel dialektika adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, maka kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata in se mengandung kontradiksi budaya.
Kedua, bicara soal kontradiksi dalam hubungan dengan budaya, maka hemat saya kontradiksi adalah motor dialektika, satu jalan menuju kebenaran, maka kontradiksi harus mampu membuat konsep yang bertahan dan saling mengevaluasi. Maka dari itu, Eksplorasi Budaya Lembata, walaupun melahirkan kontradiksi, ia memberikan dampak dan manfaat bagi masyarakat Lembata. Jadi, sebaiknya diterima.
Ketiga, Eksplorasi Budaya Lembata bukan semata hanya terletak pada konsep di atas kertas, tapi aplikasi nyata sebagai bentuk implementasi dari seni yang di dalamnya terdapat keindahan yang melibatkan masyarakat.
Di sini, berlakulah life is short, but art is long (ars longa vitabrevis) yang menunjukkan seni punya wacana abadi dan meluas, maka terjawablah, banyak masyarakat terlibat karena merasa punya seni dan budaya yang sudah berjalan secara turun-temurun.
Keempat, ajakan untuk masyarakat Lembata demi menjaga produktivitas Lepan Bata atau Kabupaten Lembata sebagai ibu dan atau perempuan yang melahirkan banyak produk-produk lokal yang berbasis budaya daerah Lembata. Jadi, jika kita orang Lembata, maka kita bersyukur bahwa pemerintah ber-dialektika dan memilih turun dari bukit untuk melihat kualitas dan yang tidak berkualitas, supaya bisa dibenahi.
Dengan demikian, Eksplorasi Budaya Lembata adalah momentum eksplorasi untuk mengangkat nilai-nilai seni budaya yang semakin hari terkikis oleh zaman. Jadi, tak perlu takut ketika ada kontradiksi, karena darinya ada dialektika.
*Penulis adalah editor di Surat Kabar Ekora NTT