Identifikasi Ancaman Bencana dan Advokasi Perubahan Iklim, YPPS Gelar Kegiatan FGD di Flotim

Larantuka, Ekorantt.com – Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) melakukan kegiatan  Focus Group Discussion (FGD) bersama sejumlah komunitas di Flores Timur guna mengidentifikasi ancaman bencana, kerentanan, kapasitas, dan perubahan iklim berperspektif gesi dengan pendekatan pada aset penghidupan. 

Kegiatan tersebut merupakan lanjutan dari program  Voice for Inclusiveness Climate Resilience Actions (VICRA) atau Suara untuk Aksi Ketahanan Iklim yang Inklusif.

Program VICRA bertujuan untuk menciptakan ruang bagi petani yang rentan dan memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dan mengadvokasi posisi mereka dalam aksi ketahanan iklim.

Kegiatan yang dilaksanakan sejak Senin hingga Selasa, 4-5 April 2022 ini  juga melibatkan enam desa di Kabupaten Flores Timur.

Keenam desa tersebut, yakni Desa Kimakamak, Desa Bedalewun, Desa Nelelamawangi, Desa Gekeng Deran, Desa Lewobunga, Desa Lewomuda.

Peserta tampak antusias memaparkan kajian desa masing-masing terkait bidang sosial, alam, infrastruktur, dan finansial. 

Magdalena Rianghepat (37), Manager Program YPPS mengatakan, kegiatan yang sedang mereka jalankan adalah cara mengidentifikasi kerentanan dan juga kapasitas. 

Menurutnya, hal itu penting karena bersentuhan dengan perspektif gender dan sosial inklusi.

“Ada faktor sosial, alam, infrastruktur sosial dan juga finansial. Nah, dari kajian-kajian ini, kita akan coba memetakan ke depan kira-kira perbaikannya seperti apa. Kalau kita bicara tentang pengurangan resiko bencana, misalnya, seperti apa potensinya. Itu kita lihat dari kerentanan yang ada di desa. Lalu seperti apa perbaikan yang nanti akan dihasilkan dari kerentanan itu, kira-kira apa yang mesti dihasilkan untuk mengurangi supaya di saat terjadi bencana, tidak ada resiko yang berlebihan,” ungkapnya kepada Ekora NTT, Selasa (5/4/2022).

Rianghepat mengatakan kehadiran desa-desa yang menjadi daerah dampingan tiga tahun terakhir untuk memastikan kesiapan mereka menghadapi perubahan iklim.

“Untuk mencoba melihat ketangguhan mereka terkait dengan perubahan iklim itu sendiri,” terangnya.

Desa Lewomuda, kata Rianghepat, di luar dari desa dampingan YPPS. Tetapi, sebut dia, ada program tambahan yang diikutsertakan dalam proses kajian. 

“Lalu satu desa lagi kita pertimbangkan, yakni desa Lewobunga. Itu tidak masuk dalam daftar desa dampingan kita. Tetapi melihat dari potensi dan juga ancaman yang mereka alami. Karena mereka punya ancaman, juga abrasi,” bebernya.

Ia mengatakan, sesuai hasil pengkajian di enam desa itu, yang mendominasi adalah kekeringan.

“Yang mana kekeringan selama ini tidak pernah disenggol ini. Dan orang merasa biasa saja. Tetapi justru dari kajian ini, Petani sangat rentan ketika terjadi perubahan iklim, karena domain kita hampir 100% masyarakat produktif di desa itu mayoritas petani. Sehingga bicara tentang pertanian mereka sudah tidak leluasa seperti dulu lagi, ketika dihadapkan pada curah hujan yang sudah mulai minim,” ujarnya.

Menurut dia, petani di desa dampingan sudah memetakan bahwa hanya terjadi 60-an kali hujan pada 2019.

“Ketika petani tahu informasi ini maka mereka tidak salah pilih benih, tidak salah pilih waktu yang tepat saat menanam,” ujarnya.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA