Tekan Nenawen, Ténu Naoten sebagai Pendidikan ala Lamaholot

Oleh: Antonius Bunga Thomas, S.Pd*

Pembukaan UUD 1945 memuat tugas dan tanggung jawab besar untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini tidak saja berarti memajukan bangsa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga kehidupan bangsa seutuhnya yang lebih bermartabat, sefrekuensi dengan Pancasila yang sering dibacakan setiap kali apel bendera pada Senin tetapi penerapannya seringkali diabaikan dalam kehidupan sehari-hari.

Lihat saja lingkungan sekitar dan sajian berita yang dengan mudah kita temukan berbagai permasalahan di Indonesia seperti korupsi, kekerasan seksual, diskriminasi sosial berdasarkan agama, ras, dan golongan, pembunuhan, perampokan, pencurian, pencemaran nama baik, dan lain sebagainya.

Manusia Indonesia belum mencapai dirinya sebagai manusia utuh Pancasilais. Namun, bukan berarti tidak ada manusia utuh Indonesia tersebut di lingkungan kita berada. Keberadaan mereka justru masih memberikan harapan bahwa negara ini masih memiliki orang-orang yang sangat mencintai dan menghayati Pancasila melalui tutur kata dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk itu, pendidikan sebagai salah satu elemen dasar agar tercapainya tujuan negara mencerdaskan manusia Indonesia secara umum, dan secara khusus orang Nusa Tenggara Timur. Bahkan, dalam bidang pendidikan, muatan lima sila tersebut dijabarkan menjadi 18 (delapan belas) karakter bangsa yang mesti dimiliki setiap manusia dalam hal ini peserta didik.

Adapun karakter bangsa yang dimaksud antara lain; religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Bukan mudah untuk menanamkan karakter bangsa ini ke dalam diri peserta didik sekalipun seorang guru telah memiliki kompetensi yang tinggi dan tidak diragukan kredibilitasnya.

Maka, ini menjadi tugas semua pihak. Dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, hingga pemerintah desa/kelurahan harus andil dalam menciptakan lingkungan kelurahan/desa yang aman dan nyaman untuk anak bertumbuh secara fisik maupun psikologis, belajar dan berdinamika dengan sesama di lingkungan sekitarnya. Jika pemerintah tidak memberi dukungan terhadap anak, maka tidak mungkin anak luput dari pelbagai persoalan di lingkungan sekitarnya.

Selain guru, lembaga pendidikan, dan pemerintah setempat, peran orang tua sangat penting dalam pengembangan karakter anak sejak anak itu lahir, tumbuh dan berkembang. Terlebih, jika anak itu bertumbuh dan berkembang di lingkungan yang tidak mendukung, andil orang tua menjadi sangat vital dalam memberikan pendidikan keluarga kepada anak.

Begitu banyak teori terkait tentang pendidikan keluarga. Namun, penulis menyajikan di sini adalah pendidikan keluarga Lamaholot yang termaktub dalam falsafah tekan nenawen ténu naoten. Secara harafiah tekan nenawen ténu naoten dapat di terjemahkan (kita) makan nasehat, (kita) minum petuah.

Tekan ténu, (kita) makan (kita) minum atau pangan merupakan kebutuhan primer manusia selain sandang dan papan. Makanan yang kita makan dan minuman yang kita minum diolah oleh tubuh menjadi energi agar manusia dapat melakukan aktivitas.

Jika kebutuhan akan makan dan minum terpenuhi maka, manusia mencapai kemakmuran hidup. Dengan adanya banyak masalah kelaparan yang terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia sehingga dapat dikatakan bangsa-bangsa di negara-negara berkembang termasuk bangsa Indonesia belum mencapai kemakmuran hidup.

Nenawen naoten adalah bentuk jamak dari tenaw naot (tunggal), nasehat atau petuah yang dapat diartikan sebagai anjuran, petunjuk, atau teguran baik. Nasehat atau petuah bertujuan untuk menjadikan seseorang dari bertutur kata dan atau berperilaku tidak baik menjadi baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan setempat.

Dengan kata lain, tekan nenawen ténu naoten dapat dimaknai bahwa nasehat atau petuah adalah makanan dan minuman — kebutuhan primer — kita yang diolah oleh akal dan budi menjadi energi positif untuk bertutur kata dan berperilaku baik.

Dalam kebiasaan Lamaholot, tekan nenawen ténu naoten menjelma dalam pasca makan bersama pada malam hari. Ayah sebagai kepala keluarga memberikan nasehat atau petuah selain menceritakan adat dan budaya Lamaholot serta temutu—dapat berarti sejarah, lagenda, dongeng, atau mitos—kepada anak-anaknya. Bukan berarti Ibu tidak memiliki peran di sini.

Pada momentum itu, anak tidak hanya tahu tentang adat, budaya dan temutu tetapi juga dibekali nasehat atau petuah dari orang tuanya seperti yang tersirat dalam falsafah Lamaholot heku tobo daé nong aman, noi koda (siapa yang duduk dekat dengan ayahnya, dia tahu “bertutur kata”).

Tenaw naot orang tua memberikan dampak pada perkembangan karakter anak agar bertumbuh dan berkembang menjadi Ata Diken (manusia berhati baik), homo homini hominus (manusia yang manjadi manusia bagi sesamanya), yang terpatri dalam manusia utuh Indonesia: Manusia Pancasilais.

Namun, untuk mewujudkan manusia utuh ini tergantung pada bagaimana cara masing-masing orang tua dalam memberi tenaw naot kepada anak, karena tidak mudah untuk seorang anak menerima tenaw naot itu.

Tantangan Hari Ini

Tempus mutantur et nos mutamur in illid (zaman berubah dan kita pun ikut berubah di dalamnya). Pepatah Latin kuno ini sangat lugas menyatakan bahwa manusia berubah sesuai dengan tuntutan zamannya. Sebutnya saja manusia seharusnya beradaptasi terhadap modernisasi dan globalisasi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni mempengaruhi sebuah peradaban, tentu saja mempengaruhi karakter manusia itu sendiri.

Misalkan, handpone android yang dilengkapi fitur-fitur canggih, penggunaannya sudah menyebar secara global di era modern ini, berdampak pada munculnya dominasi prilaku individualis pada diri seseorang sehingga ruang komunikasi dengan sesama menjadi berkurang. Bahkan, efek dari “kecanduan” akan penggunaan alat ini terjadi dalam lingkup keluarga.

Sadar atau tidak sadar, suka atau tidak suka, terima atau tidak terima, pada kenyataannya, intensitas kebersamaan antara anggota keluarga berkurang akibat penggunaan handphone android. Orang Lamaholot tidak luput dari persoalan ini. Hal ini dapat ditinjau dari tradisi tekan nenawen ténu naoten yang berpotensi hilang ditelan zaman.

Faktanya, dalam sebuah keluarga, masing-masing anggota memiliki handphone android. Yang sering terjadi adalah pasca makan bersama, masing-masing anggota keluarga lebih menyibukkan diri dengan handphone android daripada melakukan interaksi dalam anggota keluarga.

Tidak adanya interaksi antara anggota keluarga dalam hal ini orang tua dan anak, menyebabkan proses tenaw naot tidak terjadi pula. Dampaknya dapat ditinjau dari perkembangan karakter anak baik tutur katanya maupun tindakannya terhadap sesama dalam kehidupannya sehari-hari.

Sebagaimana yang diungkapkan dalam falsafah Lamaholot: pana di todok, gawé di walét yang berarti berjalan terhantuk (sendiri), melangkah disengajai (orang), anak yang tidak peten doré (ingat ikut) atau tidak mengalami nasehat atau petuah dari orang tua, dalam perjalanan hidupnya, anak dapat terhantuk oleh tutur kata dan perbuatan tidak baiknya sendiri ataupun disengaja oleh pengaruh tidak baik dari orang lain. Akibatnya, kenakalan remaja menjadi permasalahan yang tidak dapat dihindari oleh anak dalam prosesnya bertumbuh dan berkembangnya.

Maka dari itu, kualitas sebuah lembaga pendidikan dan kompetensi guru yang mumpuni bukan jaminan mutlak untuk memastikan anak berkembang dengan baik pada aspek kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik (keterampilan), dan aspek afektif (sikap).

Jika pendidikan keluarga Lamaholot: tekan nenawen ténu naoten, tidak dilestarikan oleh kita (baca: orang tua), maka kita sebetulnya sedang berkontribusi dalam mengasilkan anak, generasi muda Lamaholot, bertumbuh dan berkembang menjadi Ata Daten (manusia tidak berhati baik), homo homini lupus (manusia yang menjadi serigala bagi sesamanya), tidak mampu menghayati dirinya sebagai manusia utuh Indonesia: Manusia Pancasilais.

Penutup

Guru, lembaga pendidikan, pemerintah setempat tidak dapat melaksanakan pendidikan kepada anak tanpa peran orang tua yang lebih dahulu memberikan pendidikan kepada anak.

Hanya beberapa jam saja anak bersama guru dan lingkungan sekolah, selebihnya anak bersama lingkungan di luar sekolah sehingga peran pemerintah setempat dan orang tua sangat penting di sini. Pemerintah setempat dengan aturan-aturannya dan orang tua dengan didikan meraka kepada anak.

Sebagai orang Lamaholot, menjadi sebuah kebanggaan luar biasa karena memiliki tradisi tekan nenawen ténu naoten yang diwariskan oleh leluhur kita. Dapat kita maknai bahwa leluhur kita sudah memberikan wawasan tentang peran orang tua memberikan pendidikan kepada anak melalui tenaw naot. Ibarat kompas, nasehat atau petuah orang tua adalah penuntun jalan hidup anak. Itulah pendidikan keluarga Lamaholot yang mesti kita (baca: orang tua) teruskan kepada anak cucu kita.

*Penulis adalah Guru IPA Terpadu di SMP Ile Lewotolok, Desa Amakaka, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata

spot_img
TERKINI
BACA JUGA