Oleh: Eto Kwuta*
Beberapa hari belakangan, media lokal dan nasional memberitakan terkait wacana kenaikan harga tiket Taman Nasional Komodo dibarengi tiket pesawat yang mencekik, khususnya di Nusa Tenggara Timur.
Republika.co.id menurunkan berita “Wacana Kenaikan Tiket Masuk TNK Jadi Rp 3,7 Juta Ditolak” pada 30 Juni 2022. Berlanjut, berita Kompas.com pada 7 Juli 2022 berjudul, “Sejumlah Wisatawan Batalkan “Trip” ke Labuan Bajo Imbas Wacana Kenaikan Harga Tiket TN Komodo”. Sementara, Tempo.co juga memuat berita yang hampir sama terkait “Kelompok Wisata Labuan Bajo Tolak Kenaikan Tarif Masuk Pulau Komodo Rp 3,75 Juta” pada 8 Juli 2022.
Beberapa model pemberitaan media ini, tentu saja memberikan informasi bahwa dunia pariwisata NTT saat ini sedang mengalami satu puncak ‘orgasme pariwisata’ yang berdampak pada semua sektor.
Rentetan wacana ini, memaksakan masyarakat akar rumput untuk menonton kebijakan yang dilakukan pemerintah, yang sejatinya menekan ruang gerak roda ekonomi semua pelaku pariwisata, UMKM, dan lainnya.
Oleh karena itu, masyarakat tidak diam. Jelas, penolakan muncul dan membuktikan, paradigma berpikir masyarakat dewasa ini semakin kritis. Sikap menolak itu perlu! Maka, lakukanlah itu untuk melawan rezim yang membuat kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat.
Dari sini, ketika Kompas.com menyuarakan lagi “Soal Penolakan Kenaikan Tiket Masuk TN Komodo Rp3,7 Juta, Pemprov NTT Akan Berdialog dengan Pelaku Wisata” pada 8 Juli 2022, maka Pemprov rupanya tidak menutup mata dengan mekanisme sentimen ekonomi kerakyatan.
Telisik Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi kerakyatan merupakan sistem yang dalam kegiatannya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi (Inaya Sari Melati dkk., 2022:115). Lebih jauh, sesuai Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, ada 3 prinsip utama dalam ekonomi kerakyatan tersebut.
Pertama, azas kekeluargaan sebagai dasar perekonomian yang digerakkan secara bersama-sama. Kedua, penguasaan terhadap hajat hidup orang banyak dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dikuasai oleh negara. Ketiga, segala kekayaan di dalamnya termasuk juga bumi dan air dikuasai oleh negara dan banyak digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Menurut Sari (2012), prinsip ini tidak terlepas dari ciri-ciri sistem ekonomi kerakyatan yang perlu melihat beberapa hal penting.
Pertama, mengutamakan persaingan sehat dalam pasar. Kedua, pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial, dan kualitas hidup perlu diperhatikan. Ketiga, pembangunan yang memperhatikan lingkungan. Keempat, tidak membeda-bedakan. Kelima, hak-hak konsumen dilindungi.
Merujuk pada prinsip dan ciri-ciri ini, negara sejatinya memiliki tanggung jawab fundamental. Negara mempunyai tugas pokok yang sudah tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Pertanyaannya, apa yang harus dibuat negara ketika melihat wacana ini menjadi seperti bumerang yang meledakkan roda perekonomian pelaku pariwisata dan semua yang berkecimpung dalam pariwisata itu sendiri?
Sebagaimana diberitakan Kompas.com di atas, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT, Zet Sony Libing berjanji akan bertemu semua pelaku pariwisata untuk berdialog.
Dialog ini dalam bahasa politis, selalu mempunyai fragmentaris makna dan melampaui akal pemikiran awam masyarakat akar rumput, sehingga mari kita patut membangun kecurigaan terhadapnya.
Akan tetapi, dengan menelisik kurangnya sentimen ekonomi kerakyatan, maka Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT harus secepatnya mengambil langkah. Tentu saja, Pemprov NTT harus bersikap kritis dan solutif atas masalah ini.
Kembali ke Lokal
Untuk itu, penulis menyodorkan bagaimana sistem ekonomi kerakyatan menjatuhkan keberpihakannya kepada rakyat dan kembali kepada apa yang disebut sebagai ‘yang lokal’.
Pertama, pengembangan ekonomi lokal (PEL). Basis PEL ini sejatinya adalah milik masyarakat akar rumput. Untuk itu, supaya meningkatkan daya saing lokal, maka potensi wisata yang ada harus melibatkan sumber daya yang tersedia melalui partisipasi masyarakat, pemerintah lokal, dan pihak swasta untuk ekonomi yang berkelanjutan.
Kedua, subyek pertama adalah masyarakat lokal yang harus didorong oleh pemerintah daerah. Ada Dana Alokasi Khusus Nonfisik Dana Pelayanan Kepariwisataan yang diberikan kepada daerah untuk mendukung peningkatan destinasi pariwisata yang berdaya saing secara kedaerahan (lokal).
Maka dari itu, pemerintah daerah perlu bekerja sama dengan swasta. Jika kolaborasi ketiganya berjalan, maka berdampak pada harmonisasi pariwisata yang terbuka dan saling mendukung satu sama lain. Hubungan horizontal dan vertikal akan memberikan dampak pada ekonomi kerakyatan secara merata.
Ketiga, menyikapi wacana kenaikan tiket TN Komodo dibarengi harga tiket pesawat yang mahal ini, maka fungsi pemerintah adalah secepatnya mencegah potensi matinya semua sektor dalam dunia pariwisata, khususnya di NTT.
Sikap ini penting dan segera dikemas, agar tidak berimbas pada PEL. Jika dibiarkan, maka segmentasi PEL (yang kembali ke dasar) dinilai tidak berpihak pada masyarakat akar rumput dengan semua lokalitas yang ada pada mereka.
Faktor ini bisa membuat matinya arus transportasi darat, laut, dan udara. Wisatawan domestik dan mancanegara akan mundur satu per satu. Jika ketiga transportasi tadi tidak bergerak normal, maka dampaknya akan dialami oleh para pelaku pariwisata lokal, di mana yang berkecimpung di dalamnya terdiri dari pramuwisata, pelaku UMKM, pedagang, pengusaha Ruko, penjual, dan sebagainya.
Tanpa kita disadari, dampak itu sudah berimbas hari ini, maka hanya satu permintaan penulis; dinas terkait dan Pemprov NTT harus mencegah karena pasca-pandemi Covid-19 ini, banyak pelaku pariwisata beralih dan merambah profesi lainnya.
Realitas ini lebih menyedihkan lagi, jika masyarakat akar rumput menuntut keadilan dan kesejahteraan sebagai rakyat Indonesia, tetapi negara tampak seperti the sleaping giant atau raksasa yang sedang tertidur.
Lalu, apa pentingnya negara jika setiap tahunnya harus mencekik warga negara dengan memainkan wacana yang super premium? Jadi, cukup sudah! Sekarang sentimen ekonomi kerakyatan sedang pulih dari bawah, maka tugas negara: “Ingat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945!”
*Editor di Surat Kabar Ekora NTT