Oleh: Suroto*
Selama ini, begitu kita mendengar istilah ekonomi rakyat, asosiasinya tertuju pada ekonomi kelas mikro, kecil, dan gurem. Ekonomi rakyat identik dengan usaha pedagang kaki lima, usaha-usaha informal di pinggir jalan.
Ekonomi rakyat digambarkan sebagai usaha yang lemah dalam segala hal. Lemah permodalan, pemasaran, sumber daya manusia, teknologi, jaringan dan lain sebagainya.
Cara pandang demikian sangat dipengaruhi oleh pemahaman umum masyarakat yang dipengaruhi oleh penglihatannya atas kenyataan (das sein) dari struktur sosial ekonomi warisan kolonial, yaitu struktur sosial ekonomi masyarakat yang dualistik, di mana terdiri dari segelintir eliet pengusaha menengah dan besar yang menguasai sebagian besar kue ekonomi dan rakyat banyak dalam bentuk usaha mikro dan kecil yang hanya kuasai sedikit dari ekonomi yang ada.
Usaha rakyat yang mikro gurem itu lalu oleh pemerintah yang dikerumuni oleh ekonom neo-klasik keluarkan resep model kebijakan ekonomi kuno model paket input. Usaha mikro itu agar naik kelas diupayakan dengan akses kredit, subsidi, bantuan sosial, dan program pembinaan.
Resep tersebut dari sejak jaman Orde Baru terus dilanggengkan. Penyakit lama ini terus diobati dengan resep lama. Seluruh program ternyata menguap dan hanya memperkaya para makelar program ketimbang menaikkan kelas usaha mikro dan kecil.
Paket-paket kebijakan tersebut juga terbukti hanya hasilkan struktur ekonomi dengan disparitas yang semakin menganga lebar.
Kue ekonomi ternyata lebih banyak jatuh ke tangan usaha besar dan menengah yang merupakan bagian dari perluasan jaringan usaha besar.
Dari perhitungan statistik tahun 2021 yang penulis olah, ternyata dari komposisi kontribusi ekonomi usaha mikro dan kecil serta menengah hanya 18 persen saja yang dikontribusikan oleh usaha mikro dan kecil (UMK) yang jumlahnya meliputi 64 juta atau 99,9 persen dari total jumlah pengusaha kita. Sisanya 82 persen itu merupakan kontribusi dari usaha besar dan menengah (UBM).
Akibat dari penguasaan struktur ekonomi tersebut juga dapat dikonfirmasi dari hasil perhitungan rasio gini kekayaan kita yang sesungguhnya dalam kondisi yang sangat parah, yaitu 0,77 (Suissie Credit, 2021).
Paradigma ekonomi rakyat sebagai ekonomi kelas gurem ini semakin akut ketika diinstitusionalisasikan dalam bentuk sebuah kementerian yang bertugas untuk membina mereka, yaitu Kementerian Koperasi dan UKM sebagai kementerian pengerdilan ekonomi rakyat.
Di mana ditambah parah lagi, koperasi, sebagai bentuk usaha juga dikapling untuk dibina di Kementerian tersebut. Koperasi, model organisasi perusahaan canggih yang bisa mengagregasi ekonomi rakyat menjadi ekonomi besar justru dibunuh prakarsanya dengan turut dibina oleh Kementerian Koperasi dan UKM.
Untuk itu, jika paradigma usaha ekonomi rakyat tersebut tidak ditransformasi secara besar besaran, maka tidak akan mungkin dapat kita harapkan akan terjadi perubahan struktur. Bahkan kondisinya kemungkinan akan semakin memburuk.
Ekonomi rakyat itu harus dimengerti sebagai ekonomi kebanyakan rakyat Indonesia. Sehingga rakyat banyak Indonesia yang menginginkan hidup yang makmur itu mesti terlibat dalam arus ekonomi besar di republik ini. Bukan justru hanya diposisikan sebagai penonton dan penerima santunan.
Caranya bagaimana? Pertama adalah ganti cara pandang kita. Ekonomi rakyat itu bukan ekonomi kelas mikro gurem. Tapi rakyat banyak itu semestinya sebagai pemilik kuasa atau kedaulatan atas usaha-usaha ekonomi besar di republik ini. Seperti halnya usaha BUMN yang selama ini hanya jadi sapi perahan dan bancakan elite politik dan elite kaya.
Bagaimana cara menguasainya? Sebagai pintu masuk, ganti pasal di UU BUMN yang sebut “BUMN Wajib Badan Hukum Perseroan” menjadi “BUMN wajib Berbadan Hukum Koperasi”.
Sebab jika berbadan hukum koperasi, saya, Anda dan seluruh rakyat Indonesia akan dapat turut menjadi pemilik, pengontrol perusahaan BUMN secara langsung, punya hak untuk tentukan siapa komisaris dan direksinya, dan yang pasti turut menikmati hasilnya.
Bukan hanya seperti saat ini, kita semua pemilik sah BUMN itu, hanya dalam posisi sebagai penonton dan obyek pelayanan semata. Bagaimana?
*Penulis adalah Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis) Indonesia