Oleh: Bernardus Tube Beding*
Tentu masih segar dalam ingatan kita program Kick Andy pada Minggu 15 Mei 2022 pukul 19.05 WIB lalu di Metro TV.
Kick Andy mengangkat kisah tentang kondisi anak-anak yang terpaksa untuk menjadi tulang punggung keluarga karena kondisi ekonomi keluarga mereka yang mengharuskan mereka berjuang mencari nafkah.
Kick Andy menghadirkan ke publik, Gilang (14 tahun) dari Jakarta yang bekerja sebagai tukang parkir di ruko dekat rumahnya; Deni (15 tahun) dari Jombang Jawa Timur yang bekerja sebagai kuli angkut, tukang parkir, dan serabutan; serta Rizal Aja (13 tahun) dari Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur, NTT yang bekerja memetik hasil kebun (kemiri, kopi, kakao) dan menjualnya ke pedagang terdekat.
Gilang, Deni, dan Rizal tentu tidak mementingkan diri sendiri. Mereka memprioritaskan kepentingan orang lain, yaitu keluarga masing-masing.
Mereka adalah tulang punggung keluarga yang bekerja sebagai tukang parkir, serabutan, dan petani.
Dengan keadaan keluarga mereka yang kekurangan ekonomi, anak-anak ini secara inisiatif bekerja untuk membatu menghidupi keluarganya, tanpa paksaan dari pihak manapun. Mereka sebenarnya sedang menderita yang ditutup dengan semangat perjuangan.
Gilang, Deni, dan Rizal harus menjadi ”bapak, tulang punggung keluarga” bagi ibu dan adik-adik mereka. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, masing-masing mereka bekerja sebagai tukang parkir, serabutan, dan petani. Uang hasil kerja mereka habis untuk makan; semangat bekerja tetap bergelora dalam nadi mereka.
Begitu Gilang, Deni, dan Rizal dikisahkan Kick Andy di Metro TV, berbagai kalangan dengan cara masing-masing memberi perhatian, empati, dan dukungan.
Bantuan-bantuan karitatif muncul sebagai bukti manusia memiliki empati terhadap nasib sesama yang memiliki kehidupan ekstra, berjuang untuk merdeka dari kehidupan.
Namun, peristiwa Gilang, Deni, dan Rizal bukan sekadar peristiwa yang cukup ditanggapi secara karitatif, melainkan fenomena serius yang sedang menggugat hidup “kemerdekaan” kita sampai ke sendi dan dasarnya.
Menggugat Tuhan
Tentu kita sepakat mengatakan, “tidak” untuk membiarkan anak-anak seperti Gilang, Deni, dan Rizal itu sebagai bapak keluarga, berjuang dengan kondisi yang “belum saatnya”. Namun, sebenarnya pernyataan ”tidak” kita telah masuk dalam persoalan gawat.
Saya boleh senada dengan Sindunata dalam opininya, “Politik yang Ateistis dan Nihilistis” (Kompas, 14 Mei 2013). Sindunata menulis bahwa Dostojevsky dalam novelnya The Brothers Karamazov menggugat melalui tokoh Ivan Karamazov memberi jalan bagi munculnya ateisme dan membongkar kaidah klasik theodicy yang bertugas membela dan memberi argumentasi tentang keberadaan Tuhan.
Dalam novel itu dikisahkan bahwa Ivan bercerita kepada saudaranya, Alyosha tentang penderitaan anak-anak tak bersalah. Tentang seorang anak lelaki yang bekerja sebagai budak seorang tuan tanah.
Tanpa sengaja anak itu melukai anjing kecintaan tuannya. Tuan tanah bersama para begundalnya memburu dia, seperti memburu binatang. Lalu anak itu ditembak, badannya dikoyak habis oleh anjing pemburunya. Semuanya terjadi di hadapan ibunya.
Berbagai pertanyaan muncul dari Ivan. Ia bertanya, bagaimana mungkin jika Tuhan ada, Tuhan tega membiarkan anak-anak yang tak bersalah menderita?
Tak mungkin penderitaan itu kita kembalikan kepada kesalahan anak-anak itu. Tak mungkin pula kita menjawab, Tuhan punya maksud tertentu dengan membiarkan anak-anak itu menderita, misalnya toh kelak ia bakal bahagia di surga justru karena penderitaannya.
Jika kita sepakat bahwa Tuhan punya rencana tertentu atas penderitaan di dunia, tetaplah tak terjawab, mengapa anak-anak itu harus disertakan dalam penderitaan demi maksud tertentu itu? Kita, orang dewasa, sanggup membeli ”kemerdekaan sejati” dengan penderitaan, tetapi apa hubungan semuanya itu dengan anak-anak itu? Mengapa mereka harus menderita, berjuang, dan membayar “kemerdekaan” itu dengan penderitaannya?
Kita bercita-cita membangun suatu masa depan, ketika semuanya akan damai, sejahtera, dan bahagia. Namun, kata Ivan, mestikah masa depan itu dibangun di atas air mata anak-anak yang tak bersalah?
Ivan tak setuju dengan itu. Ia juga tidak bisa menerima jika keberadaan Tuhan dibenarkan dengan pembenaran atas penderitaan yang tidak adil itu.
Secara moral, ia menolak Tuhan demikian. Ia pun menjadi ateis. Atas nama keadilan, ia memberontak melawan Tuhan, yang hanya dapat dibenarkan dengan keadilan yang sebenarnya tidak adil.
Tantangan Theodicy
Lebih lanjut Sindunata menulis, Richard Bauckham, seorang teolog dari University of Manchester (1987) mengatakan gugatan Ivan Karamazov itu sesungguhnya menantang hakikat theodicy. Konsep theodicy bahwa penderitaan merupakan risiko ketika Tuhan menciptakan dunia dan segala isinya dengan bebas.
Penderitaan juga merupakan bagian yang tak terhindarkan dari dunia yang secara natural terus berevolusi. Penderitaan punya peran mendidik dan membentuk jiwa manusia agar sesuai dengan maksud ia diciptakan di dunia.
Serangan Dostojevsky via Ivan Karamazov, “Mengapa hakikat semacam itu terus dipertahankan dengan cara menyertakan anak-anak tak bersalah untuk ikut menderita” menunjukkan hakikat theodicy itu ambruk. Bahkan, teologi secara umum tak bisa lagi bertahan dengan konsepnya yang klasik bahwa penderitaan adalah nilai yang harus dibayar demi tercapainya tujuan eskatologis Tuhan, yakni bahwa akhirnya di masa depan manusia akan mencapai kebahagiaan sempurna justru karena telah melewati penderitaan itu.
Teologi tidak bisa berargumen ”murahan” lagi dalam membela keberadaan Tuhan ketika berhadapan dengan penderitaan anak-anak yang “belum saatnya” berjuang untuk kemerdekaan hidup keluarganya; seperti Gilang, Deni, dan Rizal.
”Pemberontakan menggugat Tuhan” seperti Ivan bisa menuntun orang berpandangan nihilistis: “menolak Tuhan”. Namun, Albert Camus dalam karyanya, The Rebel melihat akibat lebih lanjut dari kritik Ivan tersebut. Camus melihat bahwa sikap “menolak Tuhan” sebagai pembenaran terhadap realitas penderitaan dan ketakadilan di dunia, Ivan telah menemukan sebuah nilai positif: rasa akan martabat dan solidaritas kemanusiaan.
Di atas martabat dan solidaritas, keadilan dapat dibangun di dunia yang penuh ketidakadilan ini. Artinya, manusia-manusia pemberontak di zaman modern ini telah meletakkan humanitas di atas Tuhan.
Lebih ekstrem lagi, mereka ingin agar humanitas menggantikan Tuhan. Maka, sekarang hanya humanitas yang boleh mengontrol tujuan akhir manusia.
Jadi, saatnyalah bahwa theodicy harus diganti dengan anthropodicy. Dan, tersimpan dalam proses ini keyakinan bahwa dunia lama diganti dengan dunia baru, ketakadilan diganti dengan keadilan, dan nilai-nilai Tuhan yang terbukti tidak adil itu diganti dengan nilai-nilai manusia yang adil.
Pemahaman itu justru memberi peluang bagi para elite. Mereka bisa membenarkan bahwa mereka boleh memakai segala cara meraih tujuan itu. Penderitaan, bahkan pembunuhan pun dapat dibenarkan demi sebuah keadilan.
Rezim kekuasaan revolusioner bermunculan, menggantikan tirani kekuasaan Tuhan: membenarkan penderitaan manusia demi keadilan di dunia. Itulah akar dari otoritarianisme dan totaliterisme.
Senjata verbal maupun nonverbal adalah jalan pemberontakan manusia melawan tirani Tuhan yang dianggap sewenang-wenang terhadap penderitaan manusia. Ini berarti pemberontakan Ivan bukan lagi theodicy, melainkan anthropodicy.
Keberpihakan Tuhan
Dalam opininya, Sindunata menulis bahwa Tuhan berpihak dan mengawalinya dengan pertanyaan, apakah mungkin kita membela theodicy yang berada di bawah ancaman anthropodicy itu?
Hal-hal itu kiranya menantang orang beriman mempertanggungjawabkan imannya terhadap Tuhan. Jelasnya, mungkinkah kita membela keberadaan Tuhan berhadapan dengan dunia yang penuh ketakadilan dan penderitaan ini?
Konsep theodicy yang melepaskan Tuhan dari penderitaan jelas tak akan bisa menjawab penderitaan hidup masyarakat pinggiran Indonesia seperti dialami Gilang, Deni, dan Rizal untuk memperoleh kemerdekaan hidup keluarganya.
Agama mempertahankan penderitaan seperti itu demi kemerdekaan (kebahagiaan) abadi yang disediakan Tuhan kelak, jelas mendegradasikan humanitas dan akan menjadi sasaran kritik anthropodicy, yang melengserkan Tuhan demikian itu, demi humanitas yang mereka cita-citakan. Siapakah Tuhan yang demikian itu?
Jürgen Molltmann menjawab pertanyaan itu dengan “teologi salib”. Dalam teologinya itu, Tuhan direnungkan bukan sekadar pencipta dan penguasa semesta, yang maha berkuasa atas dunia, termasuk penderitaan hidup manusia.
Tuhan justru terlibat dalam dunia, ikut menderita, dan memeluk penderitaan hidup manusia itu. Itulah yang terjadi dalam diri Yesus saat Ia menanggung dan mengalami penderitaan hingga mati di kayu salib.
Dalam teologi salib, Tuhan bukan pembenar bagi penderitaan seperti dituduhkan Ivan, melainkan pemrotes. Ia mengajak manusia untuk memberontak terhadap ketidakadilan dan kekuasaan yang menyebabkan penderitaan manusia yang tak bersalah dan diperlakukan tidak adil. Tuhan yang di salib adalah inspirator dan agitator bagi perlawanan yang konkret terhadap ketidakadilan dan penderitaan yang diakibatkannya. Inilah teologi salib sesungguhnya sebagai awal dari teologi pembebasan. Mau tak mau teologi harus berbuah politik yang memihak kepada manusia-manusia “Gilang, Deni, dan Rizal” karena ketidakadilan.
Pandangan teologis demikian mau tak mau juga mengubah praktik-praktik ritual dan kesalehan. Doa, misalnya, tak dapat lagi dipahami sebagai kewajiban ritual, kesalehan, atau kekhusyukan pribadi yang tak ada kaitannya dengan masalah sosial, lebih-lebih penderitaan dan ketidakadilan.
Doa harus menjadi tindakan yang terlibat dan membuahkan tanggung jawab. Tepat apa yang dikatakan teolog Johann Baptist Metz, ”Siapa berdoa, dia akan berdiri di pihak korban, bukan di pihak pemenang.”
Pesan Para “Bapak”
Semua uraian di atas bermula dari kepedihan kita melihat nasib Gilang, Deni, dan Rizal, yang kiranya juga nasib banyak anak-anak lain di Tanah Air ini.
Dalam perjuangan dan penderitaan Gilang, Deni, dan Rizal tersimpan gugatan Ivan Karamazov yang menuntut kita merefleksikan lagi konsep kita tentang Tuhan berhadapan dengan penderitaan.
Refleksi itu juga menunjukkan betapa kehidupan beragama bisa mandul dalam menggugat penderitaan karena kita tak punya teologi atau theodicy yang kritis terhadap penderitaan dan ketidakadilan.
Politik dan praksis politik pun akan sangat ditentukan pandangan teologis kita tentang Tuhan.
Dan, itu kiranya berlaku lebih-lebih di negara kita, Indonesia ini, yang mengaku dirinya sebagai negara religius, yang percaya kepada Tuhan, bahkan mendasarkan salah satu pilarnya pada kepercayaan akan Tuhan yang Maha Esa itu.
Maka, sadarkah kita bahwa kepedihan anak-anak seperti Gilang, Deni, dan Rizal sesungguhnya sedang menggugat kita mempertanyakan kepercayaan kita itu?
Spontan kita perlu mengakui bahwa penghayatan hidup beragama kebanyakan kita masih sebatas ritualisme belaka. Tempat ibadat penuh dengan orang-orang yang berdoa dengan khusyuk.
Namun, ibadat itu tak memberi efek pada perjuangan dan pembebasan sosial lebih-lebih bagi mereka yang lemah dan menderita. Mungkin ini disebabkan karena kita tak punya atau belum mengembangkan teologi yang peka terhadap penderitaan dan ketidakadilan.
Memang rasanya kita belum memiliki teologi yang bisa melihat Tuhan yang ada dan menjerit dalam penderitaan dan protes terhadap ketidakadilan.
Teologi kita hanya mengekor pada praktik-praktik mapan hidup keberagamaan. Akibatnya, teologi dan hidup keberagamaan kita hanya mengurung Tuhan dalam sangkar ritual dan memandulkan-Nya terhadap perjuangan sosial.
Ini betul-betul fatal sebab, betapa pun kita mengaku ber-Tuhan, dalam praktik kita telah menjauhkan Tuhan dari masalah yang dihadapi bangsa, terlebih masalah ketidakadilan yang mengakibatkan penderitaan orang-orang yang tak bersalah.
Senada dengan Kick Andy, kita tentu tidak bisa menutup mata karena di sekitar kita masih banyak anak-anak di bawah umur yang terpakasa bekerja untuk “memerdekakan” keluarganya.
Mereka mencari nafkah guna membantu perekonomian keluarga. Padahal anak-anak ini seharusnya menikmati masa kanak-kanak mereka, bermain, bersekolah, tetapi faktanya sampai detik ini kita masih menemukan banyak anak di seluruh indonesia yang harus bekerja mencari nafkah guna membantu kemerdekaan ekonomi keluarga.
Tentu, kita tidak bisa menutup mata, masa bodoh. Kita harus bergerak menolong mereka. Itulah esensi kemerdekaan hidup.
*Penulis adalah Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng