Mbay, Ekorantt.com – Indonesia sudah memasuki usia 77 tahun kemerdekaan sebagai negara yang sah di muka bumi. Merdeka dari penjajahan negara lain yang dilakukan secara beradab-abad.
Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ditandai dengan pembacaan naskah proklamasi pertama kali oleh Ir Soekarno sebagai Presiden pertama Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Sehingga kemerdekaan bukan sekadar perayaan tetapi menjadi suatu momentum yang tepat untuk mendalami kembali makna di balik kemerdekaan.
Belakangan, tampilan perayaan memperingati kemerdekaan RI pada era Presiden Ir Joko Widodo diwarnai dengan kekhasan bangsa. Busana adat masing-masing daerah dipertunjukkan baik di Istana maupun pada upacara di setiap daerah di pelosok Tanah Air.
Tokoh muda dari Komunitas Adat Suku Lape, Kabupaten Nagekeo, NTT Petrus Nunu Ruto mengkritisi pemerintah yang enggan memperhatikan hak-hak adat dalam setiap kebijakan. Komunitas adat rentan menjadi korban pembangunan yang mengendepankan kepentingan kapitalis.
Semacam kamuflase budaya pada setiap kali perayaan kemerdekaan. Perbuatan mengangkat budaya benar tapi perlakuan kepentingan masyarakat adat yang keliru, kata Petrus.
“Mengenakan pakaian adat pada HUT RI, tapi realisasi atau keberpihakan terhadap masyarakat adat lemah. Hak-hak adat diabaikan,” kata Petrus di Mbay, Jumat siang.
Makna kemerdekaan, bagi Petrus, tidak hanya sekadar memamerkan busana adat, dan tarian daerah pada setiap kali upacara memperingati HUT RI. Melainkan, negara harus mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan komunitas adat yang menjadi kekuasaan.
Ia berkata, kehadiran negara Indonesia karena adanya bangsa-bangsa kecil (suku) yang ada di setiap wilayah atau pulau. Pemerintah Indonesia, mestinya menjadikan itu sebagai kekuatan dan kekayaan bangsa terhadap ancaman kemajuan teknologi.
“Saya mau sampaikan bahwa kekuatan komunitas adat (suku) itu pada ulayat atau teritorial wilayah kekuasaan. Seberapa luas wilayah itu akan menjadikan sejauh mana pengaruh suku terhadap anggota-anggota di dalamnya,” katanya.
“Jadi, makna kemerdekaan itu bukan simbol-simbol yang dipertunjukkan tetapi bagaimana perlakuan negara terhadap komunitas adat atau suku-suku,” ujar Petrus menambahkan.
Alumni PMKRI Ende memaknai kemerdekaan ini berangkat dari fakta yang mana negara acap kali mengabaikan kepentingan komunitas adat, dibandingan para konglomerat atau kapitalis.
Pemerintah menggunakan alat negara (aparat) menindas dan mendiskriminasi masyarakat adat di setiap pelosok negara pada setiap kali pembangunan. Sebaliknya, pemerintah seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat adat yang menjadi kekuatan negara dari daerah.
“Negara lupa atas perjuangan suku atau komunitas adat. Suku hadir menyokong negara ketika suku-suku bersepakat menjadi bangsa Indonesia. Bahwa sebelum negara ini ada, peran bangsa-bangsa kecil atau suku-suku yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Nah, itu mestinya lebih dimaknai oleh negara karena mereka itulah adalah jati diri bangsa Indonesia ketika berdiri,” kata Petrus.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah perlu merefleksi momen kemerdekaan terhadap keutuhan negara yang berdasarkan adat, budaya serta kearifan lokal yang terkandung di dalamnya.
“Bangsa Indonesia hadir karena adanya bangsa-bangsa kecil. Itu yang harus menjadi makna untuk direfleksikan,” ujar dia menandaskan.