Mie Instan vs Pangan Lokal

Oleh: Eto Kwuta*

Berita-berita aktual pada awal Agustus menyentil harga mie instan yang naik tiga kali lipat. Kenaikan harga ini mematahkan daya beli konsumen Indonesia. Secara psikologis, berita tersebut mengganggu daya bisnis pemilik usaha, distributor, para pembeli, dan barangkali masyarakat Indonesia.

Dilansir Okefinance pada Rabu (10/8/2022), “Harga Mi Instan Bakal Naik 3 Kali Lipat, Indomie Bisa Rp9.000 hingga Samyang Hampir Rp60.000”. Kompas.com menurunkan juga berita “Bakal Naik 3 Kali Lipat, Simak Harga Mi Instan Terbaru di Indomaret, Alfamart dan Superindo Hari Ini” pada Rabu (10/8/2022).

Tak terkecuali, CNNB menulis artikel berjudul “Harga Mi Instan Sudah ‘Terbang’, Kini di Atas Rp 100 Ribu/Dus” pada Kamis (11/8/2022). Diceritakan CNNB, Hana, salah satu pemilik warung di Kamal, Kalideres mengaku untuk membeli satu dus mi instan goreng merek Indomie sekarang sudah di atas Rp100 ribu per dus atau isi 40. Padahal sebelumnya dia biasa membeli di bawah Rp100 ribu per dus.

Merespon isu kenaikan harga tersebut, “Bos Indofood Bantah Kabar soal Harga Mi Instan Bakal Naik 3 Kali Lipat” sebagaimana judul yang diturunkan Kompas.com, Rabu (10/8/2022). Franciscus Welirang, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk ini mengatakan, kenaikan harga gandum tidak membuat harga mie instan naik tiga kali lipat karena pembuatannya tidak serta merta 100 persen dari bahan dasar gandum.

Psikologi Masyarakat

Mie Instan harga naik sama dengan mengganggu psikologi sebagian besar konsumen. Akan tetapi, awalnya, pemilik perusahan merasakan dampak berita ini. Konsumen berada pada bagian akhir yang merasakan dampaknya; jika harganya memang naik tiga kali lipat.

Faktanya, Bos Indofood menepis berita tersebut. Oleh karenanya, para distributor, pelaku UMKM yang menggunakan bahan dasar mie, penjual bakso, dan lain-lain tersenyum lebar. Jika harga naik, maka berdampak kepada usaha mereka. Di lain sisi, akan mengganggu daya beli konsumen.

Di tengah kuatnya isu ini, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan harga mi instan yang bakal naik tiga kali lipat tersebut disebabkan naiknya harga gandum akibat dampak perang Rusia-Ukraina. Terdapat kurang lebih 180 juta ton gandum di Ukraina tidak bisa keluar dari negara tersebut.

Lagi-lagi, Indonesia menjadi salah satu negara yang bergantung pada impor gandum. Maka, masalahnya bukan terletak pada Rusia-Ukraina atau soal gandumnya, tetapi ada pada Indonesia. Atas dasar perang global, Indonesia terdampak, tetapi apakah ini benar-benar krisis? Tidak.

Mentan Syahrul meminta, apapun yang terjadi, masyarakat Indonesia makan apa adanya dengan mengkonsumsi singkong, sorgum, dan sagu. Permintaan Mentan seperti membuka ruang gerak ekonomi untuk kembali lagi ke dasar. Lagi-lagi, mengajak kembali makan singkong atau ubi, sorgum, dan sagu.

Gelombang Ekonomi Kreatif

Dalam buku Ekonomi Kreatif yang ditulis Anggri Puspita Sari dkk., Yayasan Kita Menulis (2020), menyebutkan, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan kegiatan ekonomi paling besar dalam jumlah dan kemampuannya menyerap tenaga kerja (Anggri dkk., 2020:1).

Anggri dkk menegaskan, UMKM diwarnai dengan gelombang ekonomi kreatif. Itu berarti, kreativitas harus melampau hal yang biasa-biasa saja. Lebih jauh, industi kreatif harus digerakkan oleh entrepreuner (wirausaha) muda yang memiliki kemampuan kreatif dan inovatif.

Hemat penulis, aspek kreativitas harus menjadi dasar dalam mengembangkan ekonomi kreatif. Jika UMKM berdiri kokoh pada gelombang kreativitas dan keterampilan yang inovatif, maka ekonomi ini menjadi semakin waras karena benar-benar hidup dari kreativitas itu.

Untuk diketahui, industri kreatif sebetulnya satu konsep yang muncul lebih dahulu sebelum ekonomi kreatif itu menjadi gerakan saat ini. Pada konsep ini, saat isu kenaikan mie instan 3 kali lipat, hal yang harus diwaspadai adalah bagaimana membangun industri kreatif itu dari rumah untuk mengembangkan ekonomi kreatif masyarakat?

Dalam masalah ini, pemerintah mengakui bahwa ada latar belakang masalah sehingga berdampak pada ekonomi Indonesia, tetapi segmentasi pasar harus tetap hidup atau berjalan. Oleh karena itu, Mentan meminta: makan apa adanya, karena kita mempunyai ubi, sorgum, dan sagu. Di sini, pangan lokal menjadi arah dasar perekonomian di Indonesia.

Pangan Lokal

Orang Indonesia itu kaya. Dari Sabang sampai Merauke terbentang kekayaan yang melebihi negara Asia lainnya. Ada banyak kekayaan pangan lokal Indonesia yang menggantikan nasi meliputi kembang kol, kentang, talas, jagung, sukun, ubi jalar, telur, singkong, sorgum, sagu, dan lain-lain.

Kekayaan pangan ini tidak menjadi masalah bagi masyarakat, karena di kalangan masyarakat akar rumput, semuanya ada di alam.

Jika menelisik data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan kekayaan negara yang dipisahkan sampai dengan akhir Maret 2022 melonjak dibandingkan periode sama tahun lalu (Kontan.co.id, April 2022).

Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 menyebutkan, sampai dengan 31 Maret 2022, realisasi pendapatan kekayaan negara yang dipisahkan mencapai Rp142,71 miliar atau melejit 10.665,10% bila dibandingkan dengan periode sama pada tahun 2021.

Kemenkeu lebih jauh mengatakan, ini adalah kontribusi dari pendapatan Sumber Daya Alam (SDA) yang tumbuh signifikan pada sampai dengan bulan Maret 2022 mendorong pertumbuhan PNBP jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021.

Meningkatnya SDA Indonesia, sebenarnya tidak menekan ekonomi masyarakat karena intinya adalah, semua kekayaan negara dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, kesejahteraan menjadi milik rakyat, apabila masyarakat membangun industri kreatif dan mulai menggerakkan roda ekonomi kreatif itu sedini mungkin.

Solusinya, kembali ke Sumber Daya Alam yang kaya. Lebih praktis, kembali kepada pangan lokal yang ada di sekitar.

Untuk itu, di tengah isu kenaikan mie instan, masyarakat jangan ikut terjebak dalam mentalitas instan, tetapi kritis merespon dengan inovasi terbaru untuk ekonomi kerakyatan yang berbasis pangan lokal.

Buatkanlah kemasan Kerupuk Pisang Bola, Kerupuk Singkong Magepanda, Jagung Goreng Rasa Madu dari Bajawa, misalnya. Inilah contoh-contoh UMKM yang setidaknya melawan mentalitas instan ‘mie’ yang digemari hampir semua orang Indonesia.

*Penulis adalah Editor di Surat Kabar Ekora NTT

spot_img
TERKINI
BACA JUGA