Oleh: Avent Saur*
Kematian! Tak terhitung banyaknya anggota keluarga kita yang sudah pergi selamanya dari dunia ini. Satu-satunya harapan kita yang paling mendalam adalah mereka berbahagia bersama Allah di surga abadi. Bahkan dengan sangat berani dan meyakinkan, kita berceletuk “surga menantimu (kawan, Bapa, Ibu, kakek, nenek, adik, kakak, Om, tanta, guru, dan sebagainya)”.
Semuanya itu adalah harapan yang wajar. Itu teologi harapan, demikian kata teolog Jerman, Jurgen Moltman, juga para teolog lainnya, semisal Karl Rahner. Kata lainnya, “teologi masa depan” dari totalitas ziarah hidup manusia di dunia fana ini. Itu adalah tanda bahwa kita orang berima.
Harapan kita tentu tidak muluk-muluk begitu saja. Sebab, khususnya dalam Gereja Katolik, harapan itu memiliki argumentasi fundamental teologisnya yakni bahwa Tuhan Yesus telah memberikan janji masa depan setiap orang beriman yakni kebangkitan. Gereja sangat yakin dan percaya akan hal itu (sekalipun dalam agama tertentu, kebangkitan itu diingkari).
Nah karena begitu besar harapan religius kita akan masa depan ziarah hidup orang beriman, maka ingatan kita akan dosa, kesalahan, dan kekurangan orang yang meninggal (khususnya orang berusia sadar moral) seakan-akan menguap begitu saja.
Kita fokus pada keselamatan dan kebahagiaan abadi buat dia yang telah pergi selamanya. Sebab kita juga yakin bahwa Allah kita adalah Allah maharahim, mahatebus, mahamurah, mahaampun, mahakasih.
Kalau ini boleh dilabel dengan sebuah pernyataan kunci, maka ini disebut aspek psikologis dari iman. Bahwa dalam terang iman, kita mengekspresikan perasaan dan harapan kita akan masa depan dia yang telah pergi. Bukan aspek kemurnian iman itu sendiri, apalagi aspek pengetahuan mendalam tentang teologi kematian.
Bagi saya, semuanya itu adalah arus umum dalam beriman dan dalam merespons pengalaman kematian dari sisi teologi.
***
Sudah ke sekian kali, sebagai Pastor Katolik, saya memimpin ibadat dan ekaristi pemakaman dan peringatan orang yang meninggal dalam keadaan gangguan jiwa berat. Beberapa di antaranya, ada yang meninggal dalam keadaan terpasung. Lainnya, meninggal di jalanan kota (di Pulau Flores sudah terjadi berkali-kali).
“Saya sangat yakin dia masuk surga. Saya sangat yakin para malaikat Allah menyambut dengan gembira kehadirannya di dunia abadi. Saya sangat yakin Abraham memangkunya dengan hangat persis kisah Lazarus dalam Kitab Suci.”
Perkataan dalam setiap kali khotbah ini, saya tidak utarakan begitu lancar. Pasti berbata-bata, tidak lancar, tidak mengalir. Bukan karena masih ragu-ragu atau bimbang dengan keyakinan saya akan hal itu, melainkan mengucapkan keyakinan seperti itu butuh energi yang memadai, perasaan yang sungguh-sungguh, pikiran yang ketat, dan ekspresi yang matang. Pada detik-detik tertentu kadang mata berbinang, berkaca-kaca.
Keyakinan ini bukan sesuatu yang muluk-muluk. Namun bukan muluk-muluk lantaran Tuhan Yesus telah menjanjikan kebahagiaan buat semua orang beriman; bukan muluk-muluk lantaran Tuhan Yesus telah bangkit dan akan membangkitkan orang-orang yang percaya kepada-Nya; juga bukan muluk-muluk lantaran kita telah beriman kepada Allah yang mahakasih, dan sebagainya. Bukan muluk-muluk seperti itu! Sama sekali bukan!
Lalu bagaimana? Keyakinan ini disebut bukan sesuatu yang muluk-muluk terutama lantaran beberapa fakta sosial-teologis yang tak terbantahkan. Pertama, orang dengan gangguan jiwa yang telah pergi itu, dalam penderitaannya selama berziarah di dunia ini, telah mengambil bagian secara telak penderitaan Tuhan yang tersalib. Sebagaimana jalan menuju kebangkitan Tuhan adalah kesengsaran dan salib, demikianlah juga orang dengan gangguan jiwa telah menempuh secara paripurna jalan penderitaan dan kesengsaraan itu.
Kedua, bahwa orang dengan gangguan jiwa yang telah pergi itu, dalam penderitaannya selama berziarah di dunia ini, teralienasi dalam pelbagai aspek kehidupan. Layanan kesehatan jiwa kurang memadai, bahkan ada ODGJ yang sebelum meninggalkan dunia ini belum pernah mendapatkan hak layanan kesehatan jiwa. Ada banyak sekali kasus seperti ini yang saya dengar dan jumpai sejak bergerak peduli pada pembangunan kesehatan jiwa di Nusa Tenggara Timur.[1]
Sebagaimana konsep dan fakta dalam dunia kesehatan jiwa, gangguan jiwa tidak secara langsung menyebabkan penderitanya meninggal dunia; gangguan jiwa tidak seperti sakit-sakit fisik. Karena itu, kematian yang terjadi pada orang dengan gangguan jiwa lebih disebabkan oleh sakit fisik yang tidak terdiagnosis dengan baik, bahkan sama sekali tidak didiagnosis lantaran hak layanan kesehatan mereka diabaikan.
Mereka mengeluh sakit fisik ini dan sakit fisik itu, misalnya, keluarga langsung mengurus obat di apotek atau kios obat. Namun tidak ada pemeriksaan yang memadai terhadap keadaan mereka.
Ketiga, dalam aspek sosial mereka juga sangat teralienasi. Mereka dijauhkan, diolok-olok, diganggu-ganggu, dieksploitasi melalui media sosial dan media massa, dipinggirkan, dan diabaikan lantaran dipandang sebagai pribadi yang tidak berguna, sebaliknya dianggap sebagai orang yang menyusahkan keluarga dan mengacaukan ketenangan hidup bermasyarakat.
Keempat, dalam aspek ekonomi, mereka tidak diberikan makanan yang layak. Orang terpasung, misalnya, kesejahteraan ekonominya ditelantarkan, sebagaimana kasus pasung Anselmus di Kurumboro, Kabupaten Ende dan kasus Donatus di Kabupaten Manggarai Timur, serta pelbagai kasus lainnya di Pulau Flores.
Oleh karena sakitnya, sekian banyak orang dibiarkan menggelandang dengan pakaian lusuh di jalanan kampung dan kota. Mereka mengais makanan di jalanan dan drainase, merebahkan tubuh di jalanan dan emperan toko orang-orang kaya serta tenda-tenda para pedagang di pasar.
Kelima, dalam aspek agama, mereka dipandang sebelah mata, bahkan tidak dipandang sama sekali oleh para tokoh agama. Hak-hak layanan keagamaan mereka diabaikan begitu saja. Nasihat Injil tentang keberpihakan pada orang miskin dan telantar serta sakit tidak dihiraukan oleh para pelayan keagamaan.
Tokoh agama, misalnya, menuntut umatnya untuk rajin beribadah di rumah ibadah, tetapi tokoh agama tidak rajin mendatangi umat yang sedang sakit dan sedang bergelut dengan persoalan-persoalan berat, apalagi orang dengan gangguan jiwa. Kata-kata suci yang lantang diucapkan di rumah ibadah kemudian menguap begitu saja lantaran tokoh agama itu sendiri tidak mengamalkannya secara riil.
Jika diutarakan lebih lanjut, ada sekian banyak keadaan alienasi yang dialami oleh penderita gangguan jiwa. Mereka mengalami sakit, kemudian mereka juga mengalami sakit-sakit sosial dan keagamaan, disebabkan oleh perilaku 0rang-orang sehat, bahkan orang sehat yang bersumpah kepada Allah sebagai pelayan publik.
***
Nah, ketika mereka meninggalkan dunia ini, apa harapan kita untuk kehidupan akhirat mereka? Saya kira harapan akan kehidupan akhirat mereka tidak sekadar mengikuti arus umum sebagaimana dijelaskan terlebih dahulu di atas.
Harapan akan kehidupan akhirat mereka bukan hanya karena kita percaya pada Allah yang menjamin masa depan hidup kita, melainkan harapan itu diletakkan di atas fakta-fakta alienasi hidup mereka selama berziarah di dunia ini.
Selama hidup di dunia fana ini, mereka telah mengalami sakit dan derita yang kompleks serta alienasi yang tidak habis-habisnya hingga mengembuskan napas terakhir. Mereka tidak mengalami apa yang disebut dengan surga dunia, tidak mengalami kasih dan kedamaian, tidak mengalami kebahagiaan dan kesehatan yang memadai.
Maka adalah pantas, buah dari penderitaan itu adalah surga di dunia akhirat. Sebab jalan menuju surga adalah penderitaan yang tidak habis-habisnya sebagaimana Tuhan Yesus sendiri mengalaminya pada akhir-akhir masa hidupnya.
Dan jika jalan menuju surga adalah kesucian hidup, maka mereka juga sangat pantas untuk mengalami surga itu. Bahwa selama menjalani penderitaannya, oleh karena gangguan jiwa termanifestasi dalam gangguan fungsi perilaku, fungsi perasaan, dan fungsi pikiran, bahkan seluruh fungsi dalam totalitas diri mereka sebagai manusia, maka cara dan gaya hidup mereka tidak lagi dikontrol oleh kesadaran moral yang memadai, melainkan dikendalikan oleh jenis-jenis gangguan yang mereka derita.
Maka apa yang disebut dosa, agak jauh dari mereka. Lihat saja konsep hukum terhadap cara dan gaya hidup mereka; orang yang melakukan tindakan pidana dalam keadaan gangguan jiwa tidak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum sipil, bahkan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban moral keagamaan.
***
Awal tahun 2022, saya pernah mengikuti webinar tentang kematian. Narasumbernya adalah seorang Pastor Katolik, ahli teologi dan Kitab Suci.
“Orang yang meninggal dalam keadaan dosa berat pasti masuk neraka; sedangkan orang yang meninggal dalam keadaan dosa ringan, ia pasti masuk surga, tetapi terlebih dahulu ia tinggal di api penyucian untuk beberapa waktu lamanya,” begitu katanya.
Kemudian Sang Pastor bertanya, “Bagaimana dengan orang dengan gangguan jiwa yang melakukan tindakan pidana? Melakukan pembunuhan, tetapi tidak diproses hukum, tidak masuk penjara, tidak menerima sakramen tobat di ruang pengakuan, apakah orang itu tidak berdosa berat, dan dengan demikian bisa masuk surga pada waktu meninggal?”
Sang Pastor sendiri menjawab, “Ia masuk surga! Sebab tindakan pidana yang ia lakukan tidak dikontrol oleh kesadaran moral, sebaliknya dikontrol oleh jenis gangguan jiwa yang dideritanya.”
Sang Pastor menambahkan, “Anda mau masuk surga? Kalau Anda mau masuk surga, jadilah orang ‘gila’.” Dan Sang Pastor dan mayoritas peserta webinar tertawa berbahak-bahak.
Menurut saya, perkataan tambahan Sang Pastor itu sangat menjijikkan. Perkataan itu diliputi pandangan dan perasaan stigma terhadap sakit gangguan jiwa dan penderita gangguan jiwa. Dan Sang Pastor menciptakan situasi sosial virtual yang menyebabkan peserta webinar tetap berpegang pada stigmanya terhadap penderita gangguan jiwa dan penderitaan gangguan jiwa itu sendiri.
Tampaknya, dalam konteks tambahan Sang Pastor tersebut, sakit gangguan jiwa bukan untuk dipedulikan dan dipulihkan, melainkan untuk ditertawakan; surga bukan untuk digeluti dan diperjuangkan, melainkan untuk dihayal-hayal saja. Dan menyebut “gila” pada sakit gangguan jiwa juga menandakan bahwa Sang Pastor masih memegang stigma sosial terhadap sakit gangguan jiwa.
Kita harus menyadari bahwa secara hakiki, sakit apa pun jenisnya tidak pernah diinginkan oleh siapa pun di dunia ini. Sekalipun tidak diinginkan, siapa pun di dunia ini pasti pernah mengalami sakit. Sebab manusia adalah ciptaan fana; semua manusia lemah, bisa mengalami sakit, bahkan sakit yang paling berat dan sulit disembuhkan. Bahkan bukan hanya mengalami sakit, semua manusia di dunia ini akan mengalami kematian.
Berhadapan dengan sakit, apa pun jenisnya, yang manusia bisa lakukan adalah perjuangan untuk pulih; pengobatan, kasih sayang, dan sebagainya. Nah gangguan jiwa pada umumnya belum dipedulikan secara memadai. Maka muncullah penderitaan di atas penderitaan; muncullah apa yang tadi disebutkan sebagai alienasi.
Maka dalam pikiran dan keyakinan saya, orang dengan gangguan jiwa akan mengalami surga di dunia akhirat, bukan terutama karena jenis sakit yang dideritanya, melainkan terutama karena kehilangan kepedulian terhadap penderitaannya itu; karena alienasi tadi. Dan sekali lagi, jalan menuju surga adalah penderitaan.
***
Saya mendalami refleksi ini setelah mendengarkan kabar dukacita kematian korban pasung di Manggarai Timur, Pulau Flores. Ia dipasung pada dua kaki di sebuah pondok reyot di samping rumahnya sejak 2012, dan meninggal pada pertengahan September 2022.
“Selamat berbahagia di surga, Om. Penderitaanmu sudah berakhir, kebahagiaan surgawi sekarang Engkau nikmati secara total. Sebab sebagaimana sudah sekian lama Om menanti surga, demikian juga surga menantimu.” Begitu tutur saya dalam doa kepada Tuhan Sang Pemilik kehidupan, Sang Awal (Alfa) dan Sang Akhir (Omega) perjalanan hidup manusia di dunia fana ini.*
[1]Bergerak peduli sejak 2014, dirikan sukarelawan peduli sehat jiwa “Kelompok Kasih Insanis (KKI)” tahun 2016.
Pendiri Sukarelawan Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Sehat Jiwa NTT