Semangat Penggerak Lokal Antisipasi Krisis Iklim

Larantuka, Ekorantt.com – Shindy Soge (30) sangat bersemangat menjelaskan  dampak perubahan iklim yang terjadi di desanya saat kegiatan pelatihan jurnalisme warga yang difasilitasi oleh Koalisi Pangan BAIK – konsorsium NGO yang punya perhatian khusus terhadap isu perubahan iklim dan isu pangan seperti KRKP, Yayasan Ayu Tani, Yayasan Ayo Indonesia, Yayasan KEHATI, dan Yayasan Yaspensel – di Kantor Yayasan Ayu Tani di Desa Hokeng Jaya, Kabupaten Flores Timur pada Jumat (30/9/2022).

“Banyak petani jambu mete yang memilih merantau karena produktivitas jambu mete sangat menurun,” tuturnya, merujuk pada dampak perubahan iklim yang terjadi di Desa Hewa, tempat ia bermukim. “Di tengah kondisi ini, kabar baiknya adalah ada seorang petani yang melakukan praktik baik yakni melakukan peremajaan jambu mete dan sekarang hasil jambu mete di kebunnya sudah mulai meningkat.”

Shindy adalah salah satu local champion atau penggerak lokal untuk isu perubahan iklim dari Desa Hewa. Bersama sejumlah teman lainnya di Flores Timur, ia telah melakukan beberapa kegiatan untuk mengatasi perubahan iklim seperti melakukan penghijauan di beberapa wilayah tandus.

Selain melakukan kerja nyata untuk mengatasi perubahan iklim, Shindy dan kawan-kawannya juga kini sedang belajar jurnalisme warga untuk mengkampanyekan isu perubahan iklim. Mereka belajar membuat narasi dan video dokumenter.

Dalam kampanye itu, mereka tidak hanya menonjolkan dampak buruk perubahan iklim, tetapi juga mengangkat cerita-cerita tentang individu atau komunitas masyarakat yang punya ‘praktik baik’ untuk mengatasi perubahan iklim. Tujuannya ialah menarik minat banyak orang untuk peduli dan bekerja nyata menyelamatkan bumi dan kehidupan manusia.

Kiki, Program Officer Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mengatakan Koalisi Pangan BAIK memfasilitasi orang-orang muda tersebut agar mereka bisa menjadi agen di desa untuk kampanye dan advokasi kebijakan yang berkaitan dengan isu perubahan iklim, baik di tingkat desa, kabupaten, maupun nasional.

“Hasil riset Koalisi Pangan BAIK, NTT menjadi salah satu provinsi yang rentan terhadap perubahan iklim di Indonesia,” katanya.

Oleh karena itu, lanjutnya, konsorsium NGO tersebut mendorong masyarakat melalui penggerak lokal untuk mengembangkan model ‘praktik baik’ untuk pengelolaan pertanian dan pangan di tengah perubahan iklim.

“Harapannya, kampanye tentang ‘praktik baik’ untuk mengatasi perubahan iklim yang dilakukan oleh teman-teman local champion ini bisa menular dan dipraktikkan oleh banyak masyarakat di NTT,” ujarnya, sembari menambahkan bahwa hingga saat ini, total ada 13 desa dampingan NGO anggota Koalisi Pangan BAIK  di Flores-Lembata yang memiliki local champion.

Direktur Yayasan Ayu Tani Thomas Uran mengatakan masyarakat di dua desa dampingannya yakni Desa Hokeng Jaya dan Desa Hewa sudah mengalami dampak perubahan iklim sejak 5-10 tahun terakhir. Dampak tersebut terutama terkait menurunnya produktivitas hasil pertanian.

“Di Desa Hewa, sejak 5 sampai 10 tahun terakhir, produktivitas mete terus menurun. Begitu juga di Desa Hokeng Jaya, sejak 5-10 tahun terakhir produktivitas kakao terus menurun,” katanya, sambil menambahkan bahwa penurunan produktivitas pertanian ini juga terjadi di desa-desa lain di Kabupaten Flores Timur.

Selain itu, dampak perubahan iklim juga menyebabkan pengurangan debit air, hal yang kemudian memicu konflik perebutan air di tengah masyarakat.

Lalu, para petani saat ini sulit memprediksi musim tanam. “Dulu musim tanam itu bulan November. Sekarang orang sudah tidak bisa prediksi karena hujannya tidak menentu,” tutur Thomas.

Menurut Thomas, pada tahun ini, Yayasan Ayu Tani bersama local champion dari dua desa dampingannya akan melakukan kegiatan penghijauan dengan menanam bambu di beberapa sumber mata air di wilayah tersebut.

Thomas berharap agar data-data pemerintah terkait produktivitas hasil pertanian dan data-data lainnya terkait potensi ekonomi di Kabupaten Flores Timur harus diperbarui dan betul-betul valid, sehingga bisa menjadi bahan evaluasi untuk membangun kesadaran di tengah krisis iklim yang terus mengancam. 

“Kalau kita lihat, dampak perubahan iklim ini lebih kepada ekonomi. Dulu, orang-orang di sini jarang merantau. Krisis iklim ini membuat minat orang mencari pekerjaan itu tinggi sehingga mereka merantau. Perubahan iklim ini menciptakan ketergantungan baru terhadap lapangan kerja,” ujarnya.

Ia juga berharap agar pemerintah desa juga bisa menelurkan kebijakan-kebijakan yang bisa mengantisipasi dampak perubahan iklim.

Di tengah dampak krisis iklim  yang terus mengancam, Shindy berkomitmen untuk terus bekerja nyata serta menarik peduli banyak orang menyelamatkan bumi dan manusia. 

“Selama masih bisa dilakukan, saya akan terus berjuang untuk menyelamatkan lingkungan dan manusia dari dampak perubahan iklim,” ujarnya.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA