Kupang, Ekorantt.com – Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi NTT Japarmen Manalu menyebutkan batas akhir atau jatuh tempo Bank NTT mencari kekurangan dana untuk memenuhi modal inti sebesar Rp3 triliun pada akhir 2024.
“Jadi batas akhir bank umum itu batas terakhirnya itu 31 Desember 2022. Sedangkan Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk seluruh Indonesia batas akhirnya 31 Desember 2024,” ujar Japarmen di Kupang, Kamis (26/1/2023).
Japarmen menjelaskan saat ini posisi modal inti Bank NTT pada Oktober 2022 sebesar Rp2,3 triliun yang terdiri dari modal disetor ditambah dengan akumulasi laba yang selama ini ada di cadangan umum dan lainnya.
“Jadi kekurangan itu sebesar Rp600 miliar lebih,” ucap dia.
Untuk mengisi kekurangan modal ini, ada skema atau solusi yang harus dilakukan pemegang saham dan Bank NTT.
Skema pertama ialah pemegang saham seperti pemerintah provinsi NTT dan pemerintah kabupaten/kota melakukan penyetoran penyertaan modal secara bertahap.
Langkah kedua yang harus dilakukan adalah melakukan penambahan modal melalui laba yang diperoleh. Laba yang diperoleh Bank NTT tidak dibagikan langsung kepada para pemegang saham namun dijadikan tambahan modal.
“Jadi deviden yang akan diberikan kepada pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota langsung dijadikan tambahan modal. Atau deviden yang diberikan disetor kembali,” harapnya
Jika dari dua solusi di atas tidak terpenuhi, OJK memperbolehkan melakukan kerja sama Kelompok Usaha Bank (KUB). KUB ini adalah kerja sama antara bank daerah dengan bank daerah lainnya untuk penambahan modal.
Ia mengakui ada empat bank daerah yang telah mengajukan KUB diantaranya Bank DKI, Bank Jawa Barat, Bank Jawa Timur dan Bank Bali.
“Ada empat bank daerah yang naksir dengan Bank NTT. Empat bank ini sudah lolos dari modal inti Rp3 triliun. Kita tinggal mengarahkan saja mana bank yang terbaik yang dipilih,” kata Japarmen.
Bank daerah yang akan melakukan KUB akan dinyatakan sebagai pemegang saham. Soal kesepakatan berapa besar atau jumlah penyertaan modal ini tergantung kesepakatan.
Jika solusi ini yang akan diterapkan, Japarmen berharap penyertaan modal dari bank daerah lain melalui KUB tidak lebih besar dari para pemegang saham karena jika penyertaan modalnya lebih besar maka dipastikan mereka akan jadi pemegang saham pengendali.
Selain itu, berdampak pada pembagian laba. Pembagian laba ini dihitung dari presentase kepemilikan saham.
“Penyertaan modal dari bank lain itu tidak boleh lebih besar dari penyertaan modal pemerintah daerah sehingga mereka tidak menjadi pemegang saham pengendali,” kata dia.
Ia berharap pemerintah provinsi sebagai pemegang saham pengendali dan atau pemerintah kabupaten/kota mampu membeli kembali saham bank daerah lain yang telah menyertakan modalnya.
“Kita meminta kepada Bank NTT supaya mencantumkan dalam kesepakatan dengan bank yang menjalin KUB dengan Bank NTT untuk kesempatan ‘buy back” kepemilikan saham oleh pemprov/kabupaten/kota pada masa yang akan datang,” harapnya.
KUB ini, lanjut Japarmen, tidak hanya sebatas pemenuhan setoran modal namun harus memiliki nilai-nilai kerja sama yang menguntungkan kedua belah pihak seperti kerja sama teknologi dan kerja sama penjualan produk-produk UMKM dan lainnya.
Ia juga meminta Bank NTT melakukan efisiensi penggunaan anggaran sehingga berdampak pada peningkatan laba.