Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila*
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati posisi ke-3 dari 10 daerah termiskin di Indonesia. Presentasi penduduk miskin di NTT per September 2022 sebesar 20,23 persen (Bdk. Tempo.co, 20/01/2023).
Padahal, NTT merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi pertanian, peternakan, dan pariwisata yang mendapat perhatian dunia internasional. Namun, inilah paradoksnya. Kekayaan sumber daya alam tidak memberikan peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat di NTT. Lalu, di mana letak akar masalahnya?
Beberapa studi dan kajian, misalnya, Emilianus Y. S. Tolo (2016) dalam artikelnya yang berjudul, Akumulasi Melalui Perampasan dan Kemiskinan di Flores, menjelaskan, persoalan kemiskinan di Flores (NTT) lahir dari praktik akumulasi melalui perampasan (accumulation by dispossession) lewat sejarah penjajahan yang panjang, ketimpangan struktur agraria, dan depolitisasi massa.
Sementara itu, beberapa kajian dan studi lain menunjukkan, kemiskinan di NTT tidak lepas dari gaya kepemimpinan Gubernur, Bupati dan Kepala Desa, yang dalam banyak hal kurang mendorong perbaikan dan penataan sektor strategis seperti pertanian, peternakan, dan pariwisata. Alhasil, sektor tersebut kurang dikelola secara memadai, yang justru tidak berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat.
Tanpa mengurangi studi dan kajian serupa, tulisan ini mengambil rute yang sedikit berbeda dalam menjelaskan kemiskinan di NTT. Menurut saya, kemiskinan di NTT tidak bisa dilepas-pisahkan dari pengaruh cukong politik dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Legislatif (Pileg), dan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Cukong politik telah menjadi bagian dari praktik politik elektoral di NTT.
Kebangkrutan Demokrasi
Merujuk pada definisi KBBI, cukong ialah orang yang mempunyai uang banyak yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha atau kegiatan orang lain atau bisa disebut sebagai pemilik modal. Dengan kata lain, cukong politik ialah mereka yang memiliki modal, yang memungkinkan mereka bisa menyokong figur tertentu dalam pesta politik Pilkada maupun Pileg.
Lalu apa korelasi cukong politik dengan masalah kebangkrutan demokrasi dan kemiskinan di NTT? Secara sederhana, kita bisa menjelaskan masalah ini melalui lensa demokrasi.
Dalam kebijakan desentralisasi, daerah diberikan kewenangan dan otonomi mengatur, mengurus dan meningkatkan perekonomian daerahnya melalui pemanfaatan sektor strategis. Tujuannya, agar melalui desentralisasi, ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat dapat dikurangi.
Namun, dalam pelaksanaannya, desentralisasi berbelok pada munculnya praktik-praktik korupsi, nepotisme, dan kolusi serta pembajakan prinsip dan nilai demokrasi oleh elit-elit di daerah, yang dalam bahasa John T. Sidel (2005) menyebutnya sebagai bos lokal. Kelompok ini tampil sebagai raja lokal, yang dalam banyak bentuk kerap mengakumulasi keuntungan privat, sembari meminggirkan kepentingan dan hak publik.
Di NTT, pencaplokan ruang hidup warga oleh pemerintah kerap terjadi. Baru-baru ini, Pemprov NTT melakukan pembongkaran paksa rumah-rumah masyarakat adat di Besipae. Akibatnya, konflik struktural menguat, yang juga dibarengi dengan kekerasan terhadap warga. Realitas ini menunjukkan bagaimana pemerintah lokal gagal mengedepankan prinsip demokrasi dalam penyelesaian masalah.
Masalahnya terletak pada konflik kepentingan di antara berbagai elit di daerah, yang melibatkan cukong politik. Hemat saya, kelompok ini telah menjadi penyokong kuat bagi calon tertentu dalam pergelaran Pilkada, Pileg dan bahkan Pilkades. Artinya, pertukaran keuntungan politik ekonomi (quid pro quo) menjadi salah satu mekanisme yang melanggengkan akumulasi keuntungan pribadi di satu sisi. Sementara di sisi lain, terjadi peminggiran hak publik, karena anggaran negara telah dicaplok.
Pada titik ini, cukong politik turut membangkrutkan nilai demokrasi di aras lokal. Kebangkrutan demokrasi di NTT terjadi dalam berbagai bentuk, seperti kebijakan pembangunan yang timpang, distribusi anggaran negara, serta praktik kolusi dan nepotisme, yang seolah menjadi budaya pemerintahan di NTT.
Kemiskinan
Peminggiran hak publik, pencaplokan distribusi anggaran negara, dan menguatnya praktik kolusi dan nepotisme, secara tidak langsung telah menjerumuskan Provinsi NTT dalam kemiskinan. Sebab, pembangunan negara di NTT tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful public participation). Karena, para cukong politik telah mengontrol kebijakan pembangunan sebagai ‘sapi perah’ bagi kepentingan ekonomi privat.
Tidak berhenti di situ, anggaran negara dan praktik kolusi dan nepotisme di berbagai institusi pemerintah telah memarjinalkan kepentingan warga. Tidak pelak, kemiskinan adalah hasilnya. Karena, anggaran negara telah disedot bagi kepentingan para cukong politik dan praktik kolusi dan nepotisme telah mempengaruhi agenda kebijakan negara. Persoalan ini semakin tidak terkendali lantaran pola kekuasaan di ranah pemerintah bergeser sebagai arena mencari anggaran (rent seeking).
Pada titik ini, Penulis sepakat dengan Daron Acemoglu dan James Robinson (2014) yang mengatakan, negara akan gagal kalau ditunggangi oleh institusi ekonomi ekstraktif yang didukung institusi politik ekstraktif yang menghambat atau sama sekali menyumbat pertumbuhan ekonomi.
Persis, inilah yang terjadi di NTT saat ini, bagaimana cukong politik (pengusaha/pebisnis) telah menggunakan institusi politik (birokrasi/institusi negara) untuk melicinkan agenda pembajakan dan okupasi ruang politik pembangunan.
Solusi
Di tengah menguatnya cukong politik yang menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di NTT, maka diperlukan solusi atau jalan keluar.
Pertama, pentingnya kolaborasi politik dari berbagai elemen masyarakat sipil di NTT, yang melibatkan Gereja, Akademisi, Pers/media, Mahasiswa, dan LSM. Kolaborasi di antara berbagai elemen ini diperlukan untuk memerangi cukong politik.
Kedua, Gereja, Akademisi, LSM dan Media/pers bisa mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten hingga desa agar lebih memperhatikan sektor strategis, seperti pertanian, peternakan, dan pariwisata.
Pemerintah provinsi, kabupaten dan desa harus memiliki perhatian dan komitmen yang serius menggenjot sektor ini agar perekonomian masyarakat bisa berputar cepat.
Tentu yang dibutuhkan ialah pengawasan (control) oleh masyarakat sipil, agar agenda pembangunan tidak dimanfaatkan atau berbelok mengikuti arus kepentingan cukong politik.
*Alumnus Universitas Merdeka Malang-Program Studi Administrasi Publik