Seberapa Besar Komitmen Pemerintah Daerah pada Investasi Budaya?

Oleh: Eka Putra Nggalu*

Opini Hilmar Farid yang terbit di Kompas, 15 April 2023 memuat gagasan yang tidak baru tetapi cukup segar dalam konteks Indonesia, mengenai pemahaman tentang bagaimana investasi budaya idealnya bekerja.

Salah satu poin pentingnya adalah pengembalian atas investasi (return of investment) kebudayaan yang menggunakan dana publik (negara) tidak bisa hanya diukur lewat dampak ekonomi dari pemanfaatan infrastruktur-infrastruktur utama (lewat penyewaan gedung, karcis, dll.), tetapi juga melalui dampak sosial (social return of investment) dan budaya (cultural return on investment) dari investasi yang dilakukan.

Konteks dari opini ini adalah respons atas tidak adanya kesepakatan antara Komite Film Dewan Kesenian Jakarta dengan pengelola Taman Ismail Marzuki dalam perhelatan kegiatan Bulan Film Nasional. Di luar yang disinggung Hilmar Farid, pada waktu yang hampir bersamaan, berlangsung penutupan artina sarinah oleh dewan direksi tanpa adanya diskusi yang jelas dengan pengelola ruang seni tersebut. Upaya penyadaran yang dilakukan oleh Dirjen Budaya ini sekiranya mendorong kesadaran serupa di kalangan sebagian organ negara dan investor swasta.

Sehari sebelum opini Hilmar Farid terbit, Komunitas KAHE diundang untuk menyampaikan aspirasi di Musrenbang RKPD Kabupaten Sikka Tahun 2024. Saya diminta berbicara mewakili anak muda, dalam kaitannya dengan pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan infrastruktur berwawasan lingkungan. Menanggapi permintaan ini, dua hal penting saya bicarakan, ‘anak muda’ dan ‘budaya anak muda’, yang secara agak bebas saya istilahkan sebagai ‘youth culture’ (yang saya pinjam dari obrolan bersama seorang sutradara teater). Tentu saja, dua hal ini saya uraikan berdasarkan pengalaman dan refleksi atas kerja-kerja saya dan teman-teman Komunitas KAHE.

Pada bagian selanjutnya, saya akan menjelaskan dengan lebih rinci hal-hal yang saya sampaikan dalam kesempatan yang terbatas di Musrenbang kemarin yang kurang lebih bersinggungan dengan komitmen pemerintah daerah dalam berinvestasi pada pengembangan kebudayaan.

Anak Muda dan Budaya Anak Muda

‘Anak muda sering dianggap apatis dan apolitis. Anak muda kerap dinilai tidak peka terhadap isu-isu sosial yang ada di masyarakat’. Pernyataan ini saya ulangi (secara tidak persis) dari seorang anak muda partisipan sebuah program NGO, yang mewawancarai saya mengenai keterlibatan anak muda dalam pembangunan, sesaat sebelum Musrenbang dimulai. Menjawabnya, saya bilang: pernyataan ini bisa jadi benar tapi perlu dikritisi.

Dalam pengalaman saya selama delapan tahun mengorganisasi komunitas, ternyata tidak sedikit anak muda, paling tidak di Maumere yang tumbuh dan bergerak secara organik, melakukan sesuatu untuk kelompoknya bahkan kota Maumere. Komunitas atau inisiatif seperti KAHE, Huruf Kecil, Divers Community, Humanitas, Fajar Sikka, Komunitas Reggae, Shoes for Flores, Le Orin, Rumah Muara, komunitas foto, komunitas hip-hop, stand up comedy dan banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu, bisa jadi contoh yang membatalkan pernyataan di atas.

Saya mencurigai, anggapan bahwa anak muda itu apatis dan apolitis muncul karena dalam banyak kasus, para pemangku kebijakan memaksakan ‘diksi’ atau ‘grammar’ mereka kepada anak muda. Anak muda usia sekolah misalnya, dipaksakan untuk bicara soal climate change, stunting, keluarga berencana, pembangunan berwawasan lingkungan atau hal-hal besar lainnya dengan cara yang tidak dekat dengan mereka. Mereka diminta menjadi duta ini, duta itu, menghafal banyak narasi, berpidato di acara-acara pemerintah tetapi empati dan kreativitas mereka tidak diperhatikan dan tidak berusaha ditumbuhkan secara organik.

Dalam kasus yang lain, anak-anak muda yang menggambar mural dianggap melakukan vandalisme. Anak-anak muda yang main gitar di ‘deker’ pinggir jalan dianggap membuat kegaduhan. Anak-anak muda yang main futsal atau voli di gang-gang kompleks dianggap mengganggu lalu lintas. Padahal, mereka berusaha mengaktualisasikan diri mereka, dengan hal-hal yang mereka bisa dan dekat dengan mereka.

Idealnya, sebelum anak-anak muda diminta untuk berbicara mengenai hal-hal besar di luar diri mereka, kebutuhan mereka untuk mengaktualisasi diri itulah yang pertama-tama yang harus diakomodasi. Kesenian, olahraga, kuliner, fashion adalah sebagian dari ‘diksi’ atau ‘grammar’ yang kerap dipakai anak muda untuk membicarakan diri, kegelisahan-kegelisahan personal, dan aspirasi mereka pada lingkungan tempat mereka hidup. Dalam aktivitas-aktivitas ini, anak-anak muda mencipta, menemukan keyakinan-keyakinan tertentu yang mereka pegang sebagai prinsip, mengusahakan nilai-nilai tertentu, dan sedapat mungkin mengusahakan hidup mereka dari hal-hal yang mereka kerjakan itu.

Empati atas persoalan sosial, dengan sendirinya akan bertumbuh dari interaksi yang dekat dan personal dengan aktivitas anak muda. Kepekaan atas peristiwa sosial ditumbuhkan secara kolektif dalam komunitas, kelompok bermain, grup musik, atau tim sepak bola tempat mereka berinteraksi sehari-hari. Solidaritas, dengan begitu akan terwujud dalam berbagai aksi yang sering kali tidak terduga: dokumentasi pengetahuan tentang gempa dan tsunami, konser amal, nonton bareng amal, kelas-kelas inspiratif ke pelosok-pelosok, taman baca, perpustakaan terbuka, gerakan sadar sampah dan tanam pohon serta banyak hal lainnya. Dalam konteks Maumere, begitulah yang terjadi di beberapa kelompok/komunitas yang saya kenal.

Karakter-karakter kebudayaan (youth culture) dalam hal-hal yang diusahakan anak muda seperti yang saya sebutkan di atas seringkali tidak terbaca dan dianggap sebagai hobi semata, sebab masyarakat yang lumayan homogen seperti dalam konteks Maumere, sudah punya standar nilai dan stereotipnya sendiri tentang bagaimana anak muda harus hidup. Anak muda harus hidup ‘baik’ dan ‘taat’ pada aturan-aturan. Anak muda harus menempuh sekolah formal, melamar kerja, umumnya jadi PNS supaya masa tua mereka terjamin, dan mengabdi pada birokrasi atau perusahaan. Jalan ini seolah-olah menjadi satu-satunya jalan. Tak ada alternatif.

Kondisi ini bisa jadi beralasan. Di tingkat lokal, infrastruktur ekonomi kita tidak mendukung anak muda untuk bermimpi menjadi pesepakbola profesional, sutradara film, aktor pertunjukan, komposer musik, pengembang aplikasi, kurator, peneliti etnografi, atau pengusaha event organizer. Anak muda dengan pekerjaan yang ‘aneh-aneh’ seperti di atas hanya bisa hidup di luar Maumere.

Saya dan teman-teman di Komunitas KAHE, yang memilih hidup dengan mengorganisasi komunitas sebagai seniman/penggiat budaya merasakan kerentanan ini. Jika tidak menghidupi kultur DIY (do it yourself), membangun ekosistem dan ‘pasar’ untuk hal-hal yang sedang kami kerjakan, membangun jalan tikus dengan meretas modal-modal yang ada di sekeliling kami, tentu kami tidak akan bisa bertahan sampai sekarang. Meski begitu, apakah kami harus terus melakukannya, menimbang waktu yang terus bergerak, kegelisahan dan ‘diksi anak muda’ yang juga kian berubah, serta energi, modal juga usia yang kian hari bukan menjadi ‘kemewahan’ dan tak pernah ‘mewah’ bagi kami? Bukankah itu tugas negara?

Komitmen Pemerintah Daerah pada Kebudayaan

Pemerintah daerah seharusnya membangun sinergi dengan pemerintah pusat perihal visi, gagasan, dan bentuk-bentuk investasi kebudayaan. Pembangunan kebudayaan adalah salah satu poin penting dari tujuh fokus Rencana Pembangunan Jangka Panjang pemerintah Indonesia 2025-2045. Keluaran yang diharapkan antara lain adanya ekosistem juga pelaku-pelaku budaya yang aktif bergiat dan cukup kuat menunjang pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) serta munculnya industri-industri kecil dan menengah berbasis pemanfaatan kebudayaan lokal. Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, Dana Abadi Kebudayaan yang diturunkan melalui aneka program Dana Indonesiana dan disokong oleh LPDP menjadi bukti komitmen pemerintah pusat.

Dalam kaitannya dengan partisipasi pemerintah daerah, ada beberapa hal penting yang perlu dikritisi dari aktivitas pembangunan kebudayaan di tingkat lokal, antara lain 1) ketidakmampuan pemerintah daerah mengidentifikasi perkembangan budaya kontemporer, 2) orientasi yang lebih terpaku pada profit daripada benefit, dan 3) lemahnya investasi.

Kami, generasi milenial merasakan bentangan yang luar biasa besar antara tradisi dan modernitas. Kebutuhan kami akan literasi digital sama besarnya dengan kebutuhan kami akan literasi tradisi. Kecanggihan teknologi dan ilmu pengetahuan harus kami raih dengan menerobos tembok-tembok sentralisasi pembangunan yang lama bercokol di Indonesia, sementara akses akan tradisi selalu dikaburkan oleh sejarah kolonialisme serta politik identitas yang tidak kunjung selesai. Satu-satunya yang jadi pijakan kami dalam membangun visi adalah kenyataan-kenyataan hari ini, yang kami jumpai, hadapi, dan hidupi.

Pada tataran yang lebih praktis, kebudayaan seringkali ditempatkan pada distingsi antara tradisi dan modernitas. Identifikasi atas kebudayaan kerap terperangkap pada hal-hal yang bercorak tradisional: kain tenun, tarian tradisional, kuliner tradisional, rumah adat, syair dan lagu-lagu tradisional. Sementara budaya populer atau kontemporer sebut saja musik reggae, teater, sastra, fashion, seringkali dianggap hal-hal modern yang datangnya dari luar. Padahal, dalam banyak hal, produk budaya populer diproduksi, dikonsumsi dan direproduksi dalam jumlah yang mencengangkan di tingkat lokal maupun global. Sementara kebudayaan lokal sering dipandang secara eksotis semata tanpa upaya revitalisasi berbasis masyarakat, peluang-peluang yang dibuka oleh bentuk-bentuk kebudayaan populer/kontemporer sama sekali tidak ditindaklanjuti.

Fenomena musik hip-hop bisa kita jadikan contoh. Musik hip-hop timur adalah salah satu yang dikonsumsi secara masif saat ini. Peredarannya di dunia digital disambut oleh sekian banyak pemirsa. Musik-musik ini mengambil anasir-anasir budaya atau konteks lokal yang kuat misalnya dalam syair, melodi, cerita, dan aransemen. Lokalitas itu menjadi kekuatan yang membuat tawaran para seniman hip-hop diterima oleh pasar. Karna Su Sayang yang sempat viral bisa jadi bukti tak terbantahkan. Pertanyaannya, adakah pemerintah lokal menaruh investasi pada pelaku-pelaku (ekosistem) musik hip-hop lokal yang sudah berkarya dan satu langkah lebih maju ke depan?

Jawaban dari pertanyaan ini bisa kita selidiki dari kenyataan lain bahwa orientasi investasi kebudayaan kita masih melulu soal keuntungan ekonomi dan yang ekonomis adalah yang punya dampak langsung pada pariwisata. Di Maumere misalnya, pariwisata dan kebudayaan dikelola oleh satu organ. Secara lebih substantif, logika sinergitas ini berarti kebudayaan harus bisa memaksimalkan pendapatan sektor pariwisata. Kebudayaan adalah pelayan pariwisata. Sementara, investasi kebudayaan tidak melulu harus punya efek langsung pada pendapatan ekonomi tetapi juga pada dampak sosial dan dampak kultural seperti yang ditegaskan Hilmar Farid.

Jika harus pakai logika ekonomi, mari kita buat pembacaan yang berbeda.

Keluhan soal ekonomi daerah yang tidak berkembang hanya bisa pelan-pelan reda kalau jumlah ASN semakin sedikit dan pekerja kreatif/pengusaha semakin bertambah. Investasi budaya dalam hal ini bisa diwujudkan melalui workshop, festival, biennale, program seni, dukungan pada sanggar serta komunitas seni dan sejenisnya, yang pertama-tama berorientasi pada peningkatan kapasitas pelaku seni budaya dan ekosistem seni budaya di tingkat lokal. Salah satu catatan penting adalah program seperti ini harus dilaksanakan secara inklusif dan demokratis dari sejak perencanaan hingga evaluasi. Sebab dalam banyak kasus, kalaupun ada investasi seperti ini, program-program ini hanya menyasar sanggar-sanggar yang dikelola oleh dinas atau festival-festival dimana dinas menjadi event organizer-nya. Warga, seniman, penggiat budaya kerap tidak dilibatkan dalam perencanaan.

Semakin banyak workshop, festival, biennale, program seni, dan dukungan pada pelaku seni budaya dilakukan secara inklusif dan demokratis dengan kurasi yang profesional juga proporsional tentu makin menguatkan infrastruktur pelaku-pelaku budaya, semakin banyak juga kerja-kerja kreatif yang tercipta oleh pekerja-pekerja kreatif  yang profesional dan pelan-pelan akan memunculkan aneka rupa industri kreatif.

Ini adalah asumsi jangka panjang. Kita belum menghitung misalnya, berapa pendapatan domestik bruto yang disebarkan oleh satu festival musik tentu saja melibatkan sekian banyak pekerja kreatif: grup band, vendor sound, desainer grafis, pekerja event, lighting designer, warung makan, sopir travel, percetakan, hingga tukang parkir.

Tentu, ideal soal ekosistem itu tidak bisa dicapai hanya dengan satu dua tahun investasi. Mungkin butuh satu generasi untuk mewujudkan cita-cita ini. Bahkan di daerah-daerah seperti Jogja, Bandung, atau Jakarta yang sering disebut kuat infrastruktur keseniannya, seniman dan pekerja kreatif adalah profesi yang masih sangat rentan.

Hal lain, gerak organik dari komunitas-komunitas seniman/pelaku budaya dalam melakukan riset, dokumentasi pengetahuan lokal dan menciptakan karya maupun platform seni adalah bentuk-bentuk penguatan masyarakat dan aktivasi warga. Hal-hal ini amat berkontribusi pada terciptanya kohesi sosial, solidaritas warga, dan daya kritis-demokratis masyarakat terhadap isu-isu yang dihadapi dan dihidupi. Nilai-nilai ini menjadi penting dan amat substansial dalam konteks masyarakat sub urban seperti di ibu kota-ibu kota kabupaten. Dan dalam banyak kasus, pemerintah lokal alpa pada hal-hal yang berorientasi benefit seperti ini.

Investasi budaya juga berkontribusi pada peningkatan identitas budaya suatu daerah melalui praktik dan produk budaya yang dihasilkan. Praktik dan produk budaya itu bisa menjadi alat negosiasi dan investasi jangka panjang bagi pemerintah dan terutama warga yang mengembangkan dan menghidupinya. Korea Selatan memulai investasinya pada budaya pop di era 1998. Pemerintah Korea Selatan aktif mempromosikan drama Korea, film, dan musik pop sebagai salah satu solusi krisis ekonomi. Dalam dua dasawarsa, yang ingin berinvestasi pada rupa-rupa budaya pop Korea Selatan melonjak drastis. Gerakan budaya dengan konsekuensi ekonomi yang luar biasa besar itu pelan-pelan menjadi gerakan sosial global yang turut mengubah citra dan menguatkan identitas Korea Selatan serta Asia di mata dunia.

Jika Korea Selatan misalnya, dengan bangga menjadikan merchandise BTS yang digilai anak muda sejagat sebagai cenderamata resmi negara, mengapa kita begitu menyepelekan potensi hip-hop lokal atau musik reggae yang bertumbuh sangat subur dengan ciri lokalitasnya yang unik?

Sampai di sini, mari kita beralih ke kenyataan ketiga. Investasi pemerintah daerah pada kebudayaan sangatlah lemah. Alasan yang seringkali dilontarkan adalah fokus pembangunan pemerintah daerah masih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok warga. Sementara, pemerintah daerah harusnya punya posisi tawar terhadap pemanfaatan dana-dana CSR (corporate social responsibility) dari korporasi-korporasi maupun BUMN dan BUMD di tingkat lokal yang sedikit banyak bisa didorong untuk berinvestasi pada pengembangan anak muda atau kebudayaan daerah.

Pada era 90-an misalnya, kita lihat bagaimana BUMN dan BUMD memberi dukungan pada klub-klub sepak bola di sekitar Maumere. Mesran, Pelangi FC, Britama FC, adalah contoh-contoh klub sepak bola yang dikelola bersama dengan BUMN/BUMD di tingkat lokal. Pada 2019 yang lalu, CSR dari salah satu bank daerah juga dipakai untuk menggelar tinju berskala internasional. Sayang, gelaran ini gagal total. Promotor tinju tersebut lari sebelum turnamen selesai digelar. Contoh-contoh ini membuktikan bahwa dengan negosiasi yang terarah dan punya visi yang kuat, bukan tidak mungkin pemerintah daerah menggalakkan keterlibatan BUMN dan BUMD dalam investasi kebudayaan di tingkat lokal.

Apakah memang pemerintah daerah sedemikian suntuk pada urusan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar warga? Atau memang pemerintah daerah tidak mampu mengidentifikasi gerak laju kebudayaan lokal sehingga tidak punya visi pengembangan kebudayaan dan karena itu tidak mau berinvestasi pada kebudayaan?

*Bergiat di Komunitas KAHE, Maumere

spot_img
TERKINI
BACA JUGA