Darurat Perdagangan Orang

Oleh: Ando Roja Sola*

Perdagangan Orang atau Human Trafficking merupakan kejahatan trans nasional yang didefinisikan oleh beberapa pihak berikut.

Pertama, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan, atau penerimaan orang melalui paksaan, penipuan, dengan tujuan mengeksploitasi untuk mendapatkan keuntungan.

Selanjutnya UNODC menjelaskan, pria, wanita dan anak-anak dari segala usia dan dari segala latar belakang dapat menjadi korban kejahatan ini, yang terjadi di setiap wilayah di dunia.

Kedua, Protokol PBB pasal 3 pada Konversi Palermo tahun 2000 mendefinisikan perdagangan manusia sebagai tindakan perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.

Ketiga, Negara Kesatuan Republik Indonesia menjelaskan praktik kejahatan manusia ini pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Berdasarkan tiga definisi tersebut, secara sederhana Penulis menyimpulkan dalam tiga bentuk. Pertama, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dilakukan melalui proses yakni, perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan serta penerimaan seseorang manusia.

Kedua, menggunakan cara pemaksaan, ancaman, penculikan, penyekapan, penipuan, pemalsuan, penyalahgunaan posisi dan wewenang dan memberi bayaran sehingga mendapatkan persetujuan dari pihak yang berwenang.

Ketiga, bertujuan mengeksploitasi seseorang, atau menyebabkan seseorang tereksploitasi demi mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya.

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada dasarnya menjadikan manusia sebagai objek ekonomi yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan. Pada tatanan ini eksistensi manusia tidak lagi dipandang sebagai pribadi memiliki jati dirinya. Keberadaannya bisa eksis jika hanya digunakan untuk mendapatkan uang dan kepuasan lahiriah.

Sementara itu perilaku mafia pada sindikat perdagangan orang bertindak seolah-olah dilegalkan. Praktik ini menjadi tantangan kemanusiaan yang tidak hanya dilihat dari sudut pandang ketaatan pada hukum, tetapi ketimpangan moral kemanusiaan. Oleh karena itu, pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tidak saja menjadi tanggung jawab para penegak hukum, tetapi menjadi tugas semua masyarakat Indonesia.

Saat ini praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menjadi persoalan publik yang sedang marak diperjuangkan. Secara umum Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menjadi momok yang menyedihkan di wilayah Negara Republik Indonesia ini. Pasalnya data dan perjuangan advokasi senantiasa memberikan desakan publik menimbang tindakan ini seolah-oleh dianggap “murah” oleh para pemangku kebijakan.

Akhir-akhir ini pemerintahan Indonesia selalu mendapatkan tekanan untuk secepat mungkin memutuskan mata rantai perdagangan orang. Desakan publik ini akhirnya memberikan dampak yang cukup besar yakni, isu perdagangan orang dibahas pada KTT ke-42 ASEAN yang diselenggarakan pada 9-11 Mei 2023 di Labuan Bajo. Gebrakan ini menjadi salah satu prestasi Presiden Republik Indonesia Jokowi Dodo. Meskipun demikian, kejahatan ini belum bisa dipastikan selesai dengan setuntas-tuntasnya, karena modus dan motifnya senantiasa berkembang.

Nukila Evanty dalam artikelnya Human Trafficking In Indoensia A Common Issue A Recurring Tragedy memaparkan data berdasarkan laporan database Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI) yang disusun oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) yang menjadi pimpinan Satuan Tugas Nasional Perdagangan Manusia (Satgas TPPO), terdapat 2.356 korban perdagangan manusia yang dilaporkan pada 2017 hingga Periode Oktober 2022.

Mayoritas dari mereka adalah anak-anak (50, 97 persen) dan perempuan (46,14 persen). Laki-laki 2,89 persen. Bahkan, sejak 2019 terjadi peningkatan jumlah korban perdagangan orang yang dilaporkan dari 226 pada 2019 menjadi 422 pada 2020 dan 683 pada 2021. Dalam periode Januari-Oktober 2022, sudah ada 410 korban yang dilaporkan (Independent Observer, 2023).

Sementara itu, Kompas.com pada 8 Mei 2023 menulis, 155 WNI menjadi korban TPPO di Filipina. Kasus ini ditemukan setelah Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri atas kerja samanya dengan kepolisian Filipina menjelaskan terdapat 155 Warga Negara Indonesia menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Pasalnya saat Atpol (Atase Polri) Manila mendampingi PNP (Kepolisian Filipina) pada proses rescue terhadap 1.000 lebih orang negara asing di Filipina, termasuk di dalamnya Warga Negara Indonesia sejumlah 155 orang (Kompas.com 2023).

Setelah beberapa hari kemudian tepatnya pada Kamis, 11 Mei 2023, Kompas.com kembali memberitakan, jumlah Warga Negara Indonesia korban TPPO di Filipina bertambah menjadi 239 orang. Kepolisian Republik Indoenesia (Polri) mengatakan, jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) korban TPPO di Filipina bertambah secara signifikan. Awalnya sebelum verifikasi ada 155 orang yang menjadi 154 orang. Setelah diverifikasi secara lengkap tercatat 239 orang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kompas.com, 2023).

Catatan data sebagaimana tertulis di atas menggambarkan situasi darurat Tindak Perdagangan Orang (TPPO) yang kini sedang bersarang di Indonesia. Cakupan data tersebut secara umum mewakili jumlah korban yang berasal dari setiap provinsi yang ada di Indonesia; salah satunya provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Berdasarkan Laporan Kunjungan Kerja Spesifik Komisi Tiga DPR RI ke Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2020-2021, Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan Provinsi yang masuk dalam zona merah human trafficking atau perdagangan orang. Sejumlah media nasional memberitakan bahwa 119 pekerja migran asal NTT pulang dalam kondisi sudah tidak bernyawa lagi.

Berdasarkan data dari Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang, jumlah TKI asal NTT yang meninggal di Malaysia cenderung meningkat setiap tahunnya. Kepala BP3TKI Kupang mengatakan pada tahun 2013 sebanyak 31 TKI meninggal, tahun 2014 menurun menjadi 21 orang, tahun 2015 sebanyak 28 orang, tahun 2016 naik menjadi 49 orang dan tahun 2017 meningkat menjadi 62 orang.

Kemudian, pada tahun 2018 jumlah TKI yang meninggal meningkat pesat mencapai 105 orang dan pada 2019 hingga November tercatat 105 orang meninggal. Meskipun catatan data ini diambil berdasarkan penelitian dalam 11 tahun terakhir, keprihatinan terhadap tindak perdagangan orang mesti selalu diingat dan ditanggapi sebagai kejadian yang sifatnya berkelanjutan. Oleh karena itu kasus perdagangan orang ibarat fenomena bola salju, sekali bergulir akan memecah dan terus melaju.

Menyadari realitas kejahatan perdagangan orang yang terjadi akhir-akhir ini membenarkan stigma NTT sebagai ”Negeri Peti Mati”.

Hampir setiap saat, NTT menerima jasad yang dikirimkan dari tempat perantauan. Situasi ini hendaknya dilihat sebagai skandal moral yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Hal ini berimplikasi pada kebijakan publik yang harus berpihak pada kebutuhan masyarakat. Selain itu untuk seluruh masyarakat NTT, hendaknya melihat praktik ini sebagai persoalan yang ditanggapi secara serius. Kita perlu menyadari bahwa perdagangan orang merupakan kasus urgen yang melampaui ras-suku, demografi dan gender.

Oleh karena itu, kita semua diajak untuk sama-sama melawan praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang terjadi di lingkungan sosial kita masing-masing.*

*Bekerja di TRUK-F Maumere

spot_img
TERKINI
BACA JUGA