Suara Samudera: Suara Cinta Lamafa

Oleh: Gerardus Kuma Apeutung*

Setiap aturan atau larangan yang ditetapkan oleh suatu komunitas harus ditaati oleh anggota kelompok tersebut. Pelanggaran terhadap aturan atau larangan akan mendatangkan konsekuensi buruk bagi diri atau bahaya bagi semua anggota kelompok.

Filosofi ini sungguh dihayati masyarakat kampung nelayan Lamalera, sebuah desa di selatan Pulau Lembata. Desa yang menggantungkan hidupnya dari laut ini terkenal di seluruh dunia karena penangkapan ikan paus secara tradisional. Tradisi ini telah berjalan ratusan tahun dan diwariskan secara turun-temurun.

Dalam aktivitas ola nua atau penangkapan ikan Paus, ada banyak pantangan atau larangan yang harus ditaati dan aturan yang harus dijalankan. Tentu, tidak semua ikan Paus dapat ditangkap. Hanya koteklema atau ikan Paus tertentu saja yang boleh dibunuh dan setiap orang yang melaut hatinya harus lurus dan dirinya harus bersih. Tidak boleh ada dendam dan benci dengan sesama.

Dalam keyakinan masyarakat Lamalera, nelayan tidak boleh ternoda kesalahan, baik sikap maupun tutur kata. Hakekat hidup nelayan harus bebas dari semua beban masalah yang terjadi dan dibuatnya di darat. Pendek kata, turun ke laut harus bersih (hal.320). Karena apa yang dilakukan di darat akan mendapat jawabannya di laut. Dan apa yang ditemukan di laut akan mendapatkan tautannya di darat (hal.vi)”.

Bila aturan tersebut dilanggar, ola nua akan sia-sia. Tidak ada hasil tangkapan. Koteklema tidak akan menyerahkan diri. Juga bahaya akan mengancam. Peledang/perahu bisa pecah atau tenggelam diserang ikan Paus. Bahkan nyawa bisa direnggut maut.

Inilah tragedi yang dialami Arakian dan kawan-kawan dalam novel Suara Samudera Catatan dari Lamalera karya Maria Matildis Banda. Tragedi ini terjadi karena saat melaut para nelayan belum sepenuhnya bersih. Masih ada noda dalam hati mereka. Terutama sang lamafa, Arakian. Kisah asmaranya bersama Mariana masih meninggalkan luka. Juga dendam kesumat terhadap Arakian akibat pernikahannya dengan Yosefina belum hilang.

Kisah pilu ini diawali dengan keinginan Arakian “menghidupkan” peledang Martiva Pukan. Peledang ini telah diam seumur Pater Lama. Sejak perpisahannya dengan Mariana, Arakian menyadari bahwa kehormatannya sebagai Lamafa telah dilanggarnya. Ia tidak pantas menjadi Lamafa. Martiva Pukan pun ditinggalkannya.

Kembalinya Pater Lama, buah hati Arakian bersama Mariana, disertai harapan melaut bersama dan melihat Arakian menjadi Lamafa menegakkan kembali keberanian Arakian sebagai Lamafa. Martiva Pukan pun dibangkitkan. Peledang yang telah diam bertahun-tahun itu diperbaiki. Prosesi adat dilakukan mulai dari awal hingga Martiva Pukan kembali ke laut.

Saat Martiva Pukan akan pertama kali melaut dan setelah ola nua diperbaiki, tragedi itu terjadi. Sang Lamafa salah tikam. Ia melanggar larangan membunuh ikan Paus jenis seguni (nama lokal untuk jenis ikan paus killer wale) yang lagi bunting. Dalam tradisi penangkapan ikan Paus, tidak semua ikan Paus bisa ditangkap. Anak koteklema, koteklema menyusui, koteklema jenis seguni, tiga pantangan dari sekian banyak pantangan yang menikam jantung nelayan yang salah tangkap (hal.177).

Salah tikam sang lamafa menyebabkan ikan paus mengamuk. Para nelayan diseret mamalia laut ini hingga ke tengah samudera dan terombang-ambing di lautan luas selama empat hari. Untung sebuah kapal asing mengevakuasi mereka hingga kembali ke Lamalera dengan selamat.

Tragedi laut ini sampai juga ke Lyra, kembar Pater Lama yang telah lama menyimpan rindu bertemu bapanya, Arakian. Berita pilu ini memantapkan niatnya untuk pulang mencari bapanya. Ia bertekad kembali ke Lamalera.
Upaya Lyra bertemu bapanya bukanlah perjuangan yang mudah. Apalagi ia hadir dalam situasi yang masih diselimuti duka.

Tidak heran ia mendapat penolakan. Sejak di atas feri Ile Mandiri dari Kupang menuju Larantuka, ada ancaman dari Agustin, seorang gadis yang baru dikenalnya di atas kapal. Juga tatapan penuh curiga dari Kia dan Pito, keluarga Arakian yang sama-sama diseret ikan Paus.

Walau mendapat penolakan, Lyra tetap ke Lamalera. Tekadnya sudah bulat, harus bertemu Arakian. Dengan menumpang feri Inerie yang membawa peledang Martiva Pukan dan rombongan dari Larantuka menuju Lamalera, Lyra kembali ke kampung.

Suara Samudera: Suara Cinta Lamafa

Novel Suara Samudera Catatan dari Lamalera mengisahkan penangkapan ikan Paus oleh nelayan Lamalera yang dibaluti keberanian dan dibumbui kisah cinta. Keberanian adalah senjata para nelayan Lamalera dengan perannya masing-masing dalam penangkapan ikan Paus.

Lamafa adalah juru tikam ikan paus. Karena itu orang yang menjadi lamafa adalah orang-orang terpilih. Semangat ini biasanya diwariskan secara turun-temurun. Darah Lamafa selalu dialirkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun belakangan menjadi Lamafa juga harus punya skill. Karena memiliki peran penting, seorang Lamafa adalah orang yang bertanggung jawab.

Selain itu ada Matros yang bertugas sebagai pendayung peledang, Lama Uri yang merupakan pemimpin peledang, dan Breung Alep sebagai pembantu Lamafa. Nelayan Lamalera adalah para pemberani. Menghadapi gelora Laut Sawu dan keganasan ikan paus, hanya orang yang punya keberanian yang mampu menantangnya.

Suara Samudera Catatan dari Lamalera adalah juga suara dari kedalaman hati seorang Lamafa. Suara itu adalah suara cinta sang Lamafa yang ditemukan dalam dua hal berikut.

Pertama, cinta pada kekasihnya. Arakian, sang Lamafa, menjalin asmara dengan Mariana, anak seorang tentara. Jalinan asmara ini terjadi ketika mereka mengenyam pendidikan di SMAK Syuradikara, Ende.

Kisah cinta mereka melahirkan buah hati kembar: Ama Lama dan Ina Lyra. Sayang, cinta sang Lamafa terhalang restu orang tua Mariana. Namun bukan Lamafa namanya bila menyerah begitu saja. Arakian berani menembus tembok asrama tentara, hingga rela ditahan polisi.

Pedih, usaha Arakian sia-sia. Mereka akhirnya harus berpisah. Orang tua Mariana menikahkan anaknya dengan seorang pengusaha dan kemudian tinggal di Bali. Walau dipaksa-pisahkan oleh orang tua Mariana, cinta sang Lamafa pada Mariana tidak padam. Suara cintanya terus bergelora di kedalaman samudera hatinya. Suara cinta itu terus memanggil Lama dan Lyra untuk kembali ke Lamalera.

Kisah asmara tersebut menunjukkan bahwa cinta sang Lamafa pada Mariana bukanlah cinta eros. Rasa cinta karena dorongan nafsu belaka. Bukan karena keinginan seksual semata. Bukan pula untuk mengejar kenikmatan sesaat. Cinta sang Lamafa pada Mariana adalah cinta agape. Cinta yang tak terbatas. Cinta yang tidak mementingkan diri sendiri dan berani mengorbankan diri.

Kedua, cinta pada laut. Cinta ini ditunjukkan lewat kesetiaan merawat tradisi ola nua dan menjadi Lamafa. Lamafa dan laut adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Menjadi Lamafa berarti berani menceburkan diri ke laut.

Darah Lamafa yang diwariskan dari nenek moyang terus mengalir dalam diri Arakian karena itu adalah panggilan hidupnya menjadi nelayan. Cinta sang Lamafa pada laut membuat dia menolak semua tawaran untuk bekerja di Kantor Camat Lewoleba, Kantor Bupati Flotim, dan Kantor Pertanian Provinsi (hal.305).

Sang Lamafa punya kesempatan berkarier di luar karena memiliki prestasi akademik dan kemampuan intelektual yang bagus saat mengenyam pendidikan di SMA Syuradikara. Walau ada tawaran pekerjaan yang lebih menjanjikan dari sisi ekonomi, Arakian lebih memilih berumah peledang, menggenggam tempuling dan menikam ikan Paus.

Itulah Arakian, sang Lamafa. Cintanya pada kekasihnya sedalam samudera. Cintanya pada Lamafa seluas lautan. Dan suara cinta sang Lamafa terus menggema di kedalaman samudera hatinya untuk tetap cinta pada kekasihnya; untuk terus mencintai laut.

*Guru dan Pendidik di SMPN 3 Wulanggitang-Hewa

TERKINI
BACA JUGA
spot_img
spot_img