Motivasi Utang

Oleh : Suroto*

Debat tentang utang negara selama ini sering kali dilepaskan dari motivasinya.

Debat berjilid-jilid tentang utang itu hanya mempersoalkan dampak fiskalnya, kemampuan bayar dan juga fungsi akselerasinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan melupakan hal yang krusial, motivasi di balik penyelenggaraan utang. Padahal, masalah utang itu timbul sebetulnya berasal dari fungsi dibalik motivasi para pemberi utang.

Logika sederhananya dapat kita menyamakan dengan utang individu dari sebuah bank. Tentu tidak ada bank yang memberikan utang kepada seseorang karena itu motifnya semata ingin membantu pengutang. Bank itu bukan panti sosial yang memberikan makan siang gratis.

Demikian juga utang negara. Negara-negara maju pemberi utang bagi negara miskin dan berkembang seperti Indonesia itu memuat motif tersembunyi. Tidak ada utang negara itu yang diberikan gratis.

Untuk alasan tersebut, kita mendapat jawabannya kenapa setelah tahun 1980-an, proposal penghapusan utang negara miskin dan berkembang oleh Prof Jan Timbergen, penerima Nobel Ekonomi ini ditolak negara-negara maju. Sebab utang itu dijadikan oleh mereka sebagai pintu masuk untuk menguasai apa yang kita miliki.

Proposal Timbergen soal rencana penghapusan utang luar negeri dari negara-negara miskin dan berkembang oleh negara maju dengan alokasi sekian persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara maju ditolak oleh negara maju karena negara-negara maju itu paham bahwa utang punya fungsi ganda yang menjadikan madu sekaligus narkoba bagi negara miskin dan berkembang. Padahal tujuan Timbergen mulia, agar negara-negara miskin dan berkembang itu dapat segera bebas dari utang dan tentukan arah pembangunan negaranya sendiri.

Dalam skemanya, utang negara-negara miskin dan berkembang itu bersumber pada dua kondisi.

Pertama, ketika negara miskin dan berkembang dalam situasi krisis ekonomi dan saat negara miskin dan berkembang itu ingin merancang pembangunannya. Ini semua dirancang sedemikian rupa dalam satu komitmen kerja sama palsu dari negara-negara pemberi utang dalam konsesi internasional.

Konsensus Washington yang memberikan syarat pemberian utang secara gamblang mensyaratkan tiga matra utama sebagai kewajiban untuk negara miskin dan berkembang, yaitu kewajiban lakukan deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi.
Kita dipaksa untuk menerima utang dengan komitmen untuk meliberalisasi pasar domestik kita.

Semua arus barang dan jasa bebas masuk tanpa pajak atau bea masuk. Kemudian kita juga dipaksa untuk melakukan deregulasi. Menghapus seluruh peraturan yang menghambat masuknya investasi asing. Ketiga kita juga dipaksa untuk lakukan privatisasi atau membolehkan seluruh layanan publik kita seperti penyelenggaraan pendidikan, kesehatan dan lainnya sebagai kapling baru dari bisnis atau lebih populer istilahnya sebagai komersialisasi dan komodifikasi barang publik. Sebuah skema palsu kerangka kerja sama yang akhirnya mencekik kita hingga saat ini.

Kita dapat lihat dari dua kasus utama yang terjadi di negara kita. Pada saat kita hadapi krisis ekonomi tahun 1997 misalnya, utang negara kita membengkak dan habis digunakan untuk menalangi bank yang bangkrut dengan biaya kurang lebih 640 triliun (atau sekitar 2000 triliun saat ini).

De facto, utang tersebut juga banyak yang dengan sengaja dibawa lari keluar negeri para bankir kelas warga negara bermental penumpang di republik dan sampai saat ini terus menyisakan masalah yang tidak kunjung selesai.

Michel Camdessus, Direktur Utama International Monetary Fund (IMF) pada saat krisis1997 itu dengan sikap sombong telah memaksa kita untuk menerima utang yang diberikan saat krisis ekonomi dengan berbagai syarat. Pada intinya adalah agar kita mau menerima skema Konsensus Washington.

Dalam kasus kedua, misalnya, madu yang berisi narkoba itu masuk ketika pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), di mana utang itu masuk digunakan membangun infrastruktur fisik yang sesungguhnya adalah berfungsi untuk ciptakan faktor pendukung (endorsemen) bagi kepentingan investasi asing ketimbang kepentingan bagi rakyat. Kita dapat lihat, utang membengkak begitu besarnya hingga lebih dari dua kali lipat pada periode Jokowi untuk dorong kepentingan investasi asing ini.

Utang di era Jokowi saat ini jumlahnya membengkak drastis hingga posisi utang pemerintah per 30 April 2023 mencapai Rp7.849,89 triliun rupiah. Ini artinya setiap orang dan termasuk bayi yang baru lahir akan menanggung beban utang kurang lebih sebesar 28 juta rupiah.

Cara ugal-ugalan pengelolaan utang kita ini sebabkan kondisi utang kita juga sudah masuk dalam situasi yang mengenaskan karena untuk membayar angsuran dan bunganya kita harus berutang lagi setiap tahunnya. Ini berarti bukan lagi dalam situasi gali lubang tutup lubang lagi, tapi meminjam istilah ekonom Awalil Rizky, sudah dalam situasi gali lubang buat jurang.

Lalu utang untuk membangun infrastruktur itu diberikan lagi rompi pengaman dengan dibuat berbagai regulasi yang mendorong kepentingan asing itu masuk kuasai ekonomi kita. Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja, UU Omnibus Law Penguatan dan Pengembangan Kektor Keuangan (PPSK), UU Omnibus Law Perpajakan dan lain-lain adalah untuk tujuan gadaikan kepentingan kesejahteraan dan kedaulatan rakyat ini demi fasilitasi kepentingan asing tersebut.

Investasi asing kemudian masuk di sektor komoditi ekstraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur semacam sawit. Kedua sektor ini dapat kita lihat, selain telah serobot tanah rakyat dan sebabkan petani kita kehilangan lahan pertaniannya juga telah terjadinya kerusakan alam di mana-mana. Bahkan dalam segi harga pun kita telah habis dipecundangi. Kita adalah produsen sawit terbesar di dunia namun kita tidak dapat kendalikan harga.

Akibat yang paling ujung, karena menurunnya kepemilikan lahan petani kita, maka kita jadi bergantung pada produk-produk importasi pangan. Sebut saja misalnya kedelai. Kita menjadi sangat tergantung dari suplai Amerika Serikat hingga 83 persen dam 13 persennya dari Canada. Ketika Amerika Serikat memilih lebih suka mengirimkannya untuk kebutuhan kedelainya sebagai pakan babi ke China, mereka dengan begitu enaknya mengurangi suplai ke negara kita dan akibatnya sempat dapat kita rasakan, yaitu kenaikan harga yang jika ini dilakukan terhadap semua produk pangan kita maka tentu ancaman inflasi tinggi akan begitu mudahnya terjadi.

Ketergantungan sumber pangan kita atau ekonomi domestik secara keseluruhan seperti pangan dan energi itu jika bergantung pada negara-negara maju maka sudah pasti seluruh kebijakan kita menjadi jatuh di dalam tawanan mereka. Ini artinya urusan politik, ekonomi, sosial dan budaya kita menjadi lembek dan tertawan oleh kepentingan mereka sepenuhnya.

Kembali ke soal utang, utang dipegang dari negara-negara maju itu motivasinya setidaknya adalah untuk mendisiplinkan negara kita agar tetap mengikuti kemauan mereka, memperkuat posisi tawar mereka, untuk menghindari pajak, untuk menguasai rantai nilai produk dan jasa di tingkat global, menjebak kita pada ketidakberdayaannya fiskal untuk biayai promosi sosial, dan seperti pemberian utang pribadi, adalah untuk menghindari risiko seperti investasi.

Kita hari ini sedang disuruh untuk menelan madu, tapi ingat, madu itu mengandung racun narkoba yang sangat berbahaya. Bahkan kita disuruh lagi untuk menelan jebakan ideologis negara kesejahteraan (welfare state) mereka yang sepenuhnya akan menjadikan kita sebagai negara gagal.

Hati-hati, kita jangan sampai lengah, sebab pemberi utang itu sudah berhasil mengaturnya dengan para pengkhianat yang adalah kaum intelek bayaran yang tuna terhadap kepentingan rakyat banyak. Kepentingan Konstitusi kita yang jelas ingin menggusur konsep demokrasi ekonomi.*

TERKINI
BACA JUGA