OMS Perkuat Keterlibatan Masyarakat Sipil dalam Bisnis Inklusif Negara ASEAN

Denpasar, Ekorantt.com – Sebanyak 59 Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) menyerahkan komunike rekomendasi bisnis inklusif kepada Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki agar dibahas di KTT ASEAN.

Rekomendasi tersebut bertujuan untuk memperkuat keterlibatan masyarakat sipil dalam Bisnis Inklusif (BI) di negara-negara ASEAN.

Komunike tersebut diserahkan usai kegiatan Side Event Inclusive Business Summit 2023 di Nusa Dua, Bali pada 21-22 Agustus 2023.  Hal ini diinisiasi jaringan yang terdiri dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Perkumpulan Prakarsa, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Asosiasi Pendamping Usaha Kecil Perempuan (ASPPUK), dan Oxfam di Indonesia.

Direktur Eksekutif INFID, Misthohizzaman, menuturkan penyerahan komunike ini merupakan aksi strategis dari masyarakat sipil untuk menyuarakan dorongan komitmen implementasi bisnis inklusif terhadap pemerintah ASEAN.

“Pada 23-25 Agustus 2023, ASEAN akan mengadakan Inclusive Business Summit dan September nanti KTT ASEAN akan berlangsung di Jakarta. Kami sangat berharap dan akan terus mengawal agar komunike atau suara masyarakat sipil yang kami serahkan melalui Menteri Teten benar-benar menjadi keluaran komitmen Keketuaan Indonesia di ASEAN tahun ini,” ujar dia.

Program Manajer The Prakarsa, Herni Ramdlaningrum, mengatakan, perlu adanya kolaborasi yang lebih dalam antara pemerintah, bisnis, dan organisasi masyarakat sipil untuk menciptakan lingkungan kondusif bagi bisnis yang inklusif.

Dalam hal ini pemerintah dapat memberikan insentif, kerangka peraturan, dan dukungan kebijakan untuk mendorong bisnis mengadopsi model bisnis inklusif.

“Bukan hanya itu, pelibatan organisasi masyarakat sipil perlu dilakukan dalam membangun alat pengukuran dampak serta kerangka pelaporan yang transparan dan terstandarisasi,” kata Herni.

Direktur Regional Oxfam di Asia, John Samuel, menambahkan bahwa perlu menyertakan pengalaman OMS dan praktik terbaik dalam mempromosikan kolaborasi dan pembelajaran lintas negara dalam Inclusive Business Knowledge Hub yang akan diinisiasi oleh pemerintah Indonesia dalam ASEAN IB Summit ke-6 tahun 2023.

Selain itu, untuk memastikan prinsip bisnis inklusif terealisasikan di ASEAN, perlu memastikan adanya pelibatan dan partisipasi dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, sektor swasta, OMS, organisasi pendukung hak-hak perempuan, petani, nelayan, serta careworker dan caregiver.

Direktur Eksekutif ASPPUK, Emmy Astuti menuturkan, OMS percaya bahwa model bisnis inklusif dan bertanggungjawab menawarkan masa depan yang sejahtera melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif di berbagai sektor di Asia Tenggara.

Model-model ini, kata dia, memberdayakan petani skala kecil di sektor pertanian melalui peningkatan akses pasar, praktik berkelanjutan untuk adaptasi terhadap perubahan iklim, dan transfer teknologi.

Demikian pula, di sektor perikanan, bisnis inklusif dapat mendorong praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi, dan pelestarian sumber daya. Mengatasi penangkapan ikan berlebihan, hak sumber daya, dan masalah kesehatan ekosistem sangat penting untuk keberhasilan implementasi.

Emmy menyatakan, dalam sektor usaha kecil dan menengah (UKM), bisnis inklusif dapat meningkatkan kesempatan kerja, inovasi, dan pengembangan masyarakat.

“Dalam mencapai bisnis inklusif yang ideal, tentu saja akan ada tantangan seperti akses keuangan, bantuan teknis, dan perubahan iklim. Hal ini memerlukan perhatian khusus agar kita dapat memastikan skala dan dampak dari inisiatif tersebut,” kata Emmy.

Mengatasi hambatan terkait akses keuangan, dukungan teknis, masuk pasar, dan penyelarasan peraturan, akan sangat penting untuk memanfaatkan potensi UKM inklusif sepenuhnya.

“Di semua sektor, kesetaraan gender, pengukuran dampak, dan kolaborasi antara pemangku kepentingan dan pemerintah sangat penting untuk pendekatan bisnis inklusif yang komprehensif dan efektif di Asia Tenggara,” ujar dia.

Sejalan dengan hal tersebut, Program Koordinator KRKP, Lily N Batara mengatakan bahwa bisnis iknlusif perlu mengacu pada pendekatan bisnis yang mengupayakan pelibatan masyarakat berpenghasilan rendah atau kelompok terpinggirkan sebagai mitra dalam rantai nilai.

Di sektor pertanian, mereka paling terpengaruh oleh perubahan iklim karena sangat bergantung pada alam untuk menghasilkan produk mereka.

Menurut Lily, semua pelaku dalam rantai nilai bisnis inklusif di sektor pertanian harus memiliki komitmen untuk menerapkan bisnis rendah karbon dan terbuka untuk bekerja sama dengan petani kecil.

“Selain itu, pemerintah harus hadir untuk memberikan perlindungan, khususnya kepada petani agar tujuan inklusivitas, kesetaraan, dan transparansi dapat terwujud,” ujar Lily.

Pendekatan Kolaboratif

Hal ini juga senada dengan pesan yang disampaikan oleh Menteri Koperasi dan UKM RI Teten Masduki sebagai tuan rumah dari ASEAN Inclusive Business Summit 2023.

Menurut Teten, untuk bergerak maju, dibutuhkan pendekatan kolaboratif yang melibatkan pemerintah, pelaku sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, dan organisasi pembela hak-hak perempuan.

“Dengan menggabungkan kekuatan bersama, kita dapat menciptakan kebijakan dan inisiasi-inisiasi yang dapat mengatasi tantangan yang kita hadapi saat ini, seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan, dan kemiskinan,” kata Teten.

Menurutnya, kemitraan publik-swasta sangat penting untuk mendorong inovasi, memanfaatkan sumber daya, dan meningkatkan praktik bisnis yang inklusif dan bertanggung jawab.

Poin-poin Rekomendasi

Beberapa rekomendasi yang diajukan oleh para perwakilan OMS yakni:

Pertama, menetapkan mekanisme pendanaan khusus atau instrumen keuangan yang menyediakan modal yang terjangkau untuk inisiatif bisnis yang inklusif. Hal ini dapat dilakukan melalui pelibatan kemitraan dengan lembaga keuangan, investor, dan bank pembangunan.

Selain itu, pemerintah negara-negara Asia Tenggara harus menyediakan akses pembiayaan bagi petani kecil, nelayan kecil, dan nelayan perempuan.

Kedua, memperkuat kapasitas yang komprehensif melalui peningkatan keterampilan dan adopsi teknologi. Program pelatihan dan pengembangan keterampilan yang menargetkan komunitas marginal dan membantu mereka untuk memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam rantai nilai secara aktif.

Kemitraan dengan lembaga pendidikan dan pusat pelatihan kejuruan juga akan menjadi kunci. Begitu juga dengan mempromosikan penggunaan teknologi dan platform digital untuk meningkatkan efisiensi dan jangkauan model bisnis inklusif.

Instrumen digital dapat membantu menghubungkan produsen yang terpinggirkan ke pasar, merampingkan rantai pasokan, dan meningkatkan operasi bisnis.

Ketiga, memperkuat lingkungan kebijakan bagi bisnis untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan kegiatan ekonomi.

Hal ini termasuk menciptakan lingkungan kebijakan yang mendukung karyawan untuk dapat bekerja secara profesional dan secara bersamaan melakukan pekerjaan perawatan, sehingga pekerja perempuan secara khusus tidak mengalami hambatan kesetaraan di ruang kerja.

Keempat, mendorong program-program uji coba (pilot initiatives) di berbagai negara agar model bisnis inklusif dan bertanggungjawab dapat dikontekstualisasikan sesuai dengan negara-negara ASEAN.

Uji coba model bisnis inklusif dan bertanggungjawab harus mencakup komitmen terhadap dukungan pekerjaan perawatan dan pekerjaan yang layak.

Uji coba ini juga dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran antarnegara. Keberhasilan pilot initiatives diharapkan dapat membantu dalam mengidentifikasi serta memperkuat jaringan sektor swasta yang berkomitmen pada bisnis inklusif dan bertanggungjawab.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA