Kupang, Ekorantt.com – Penjabat Gubernur NTT Ayodhia G. L. Kalake melaporkan data bahwa sepanjang tiga tahun terakhir setidaknya ada 1.226 Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT ke luar negeri.
Ia mengaku jumlah ini belum termasuk PMI yang mengais rezeki ke luar negeri secara ilegal atau non-prosedural.
Pada kurun waktu yang sama, PMI non-prosedural asal NTT yang dipulangkan meninggal dunia sebanyak 335 orang.
“Sedangkan, jumlah tenaga kerja non-prosedural yang berhasil kita cegah, tangkap dan pulangkan ke daerah asal adalah sebanyak 350 orang,” beber Ayodhia saat menghadiri pengukuhan dan pembekalan Komunitas Relawan Pekerja Migran Indonesia “Kawan PMI” di Aston Hotel Kupang & Convention Center, pada Selasa, 19 September 2023.
Menurut dia, NTT adalah salah satu daerah pengirim PMI yang cukup besar. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti tingkat kemiskinan yang masih tinggi, tingkat pendidikan yang masih rendah, kesempatan kerja yang masih terbatas, serta iming-iming gaji yang tinggi dalam kurs mata uang asing.
Angka Jenazah Tahun 2023 Melejit
NTT hingga kini memang terus saja berduka atas meninggalnya PMI. Setiap tahun banyak PMI yang terpaksa pulang dalam peti mati ke NTT.
Berdasarkan data Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Nusa Tenggara Timur (NTT), selama bulan Januari sampai 11 September 2023 setidaknya sudah 104 PMI yang meninggal di luar negeri.
BP3MI NTT mencatat dari total tersebut sedikitnya ada 99 PMI yang pulang dalam peti jenazah ke NTT. Kemudian, tiga orang dimakamkan di luar negeri, dan dua jenazah masih dalam proses pemulangan.
Tragisnya, semua PMI dari NTT yang meninggal di luar negeri tersebut berstatus penempatan nonprosedural.
Selanjutnya berdasarkan data yang sama, PMI yang terbanyak meninggal di luar negeri berasal dari Kabupaten Malaka yakni berjumlah 20 orang.
Disusul Kabupaten Ende 15 orang, Kabupaten Flores Timur 12 orang, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan 10 orang.
Selanjutnya, Kabupaten Sumba Barat Daya delapan orang, Kabupaten Nagekeo tujuh orang, Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara masing-masing lima orang. Kabupaten Sikka dan Kabupaten Kupang masing-masing sebanyak empat orang.
Kemudian disusul Kabupaten Sumba Barat dan Lembata masing-masing tiga orang. Kabupaten Sumba Timur dan Rote Ndao masing-masing dua orang. Kabupaten Sumba Tengah, Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur masing-masing satu orang.
Sedangkan kabupaten yang tidak ada PMI meninggal di luar negeri selama bulan Januari sampai 11 September 2023 adalah, Sabu Raijua, Ngada, Alor dan Kota Kupang.
Beragam Upaya
Ayodhia menyebut, sejumlah langkah penanganan masalah PMI telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTT dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Adapun beberapa upaya penanganan telah dilaksanakan Pemprov NTT melalui moratorium, penyiapan kompetensi tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri atau ke luar daerah dan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA).
“Ke depan, kita akan terus mengevaluasi dan mendorong Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) agar bekerja lebih keras sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan,” pungkas Ayodhia.
Selain upaya pencegahan, pembinaan, dan penanganan permasalahan PMI dalam tahapan pemberangkatan di wilayah NTT, ia juga menegaskan akan berupaya membangun kerja sama dengan pemerintah daerah di lima wilayah perbatasan negara yang sering dilintasi PMI asal NTT.
“Kami berharap BP2MI dapat memfasilitasi upaya kerja sama ini,” harap Ayodhia.
Ia berharap pula melalui koordinasi dan kerja sama dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota se-NTT akan dapat mengatasi masalah dan memberikan perlindungan kepada calon PMI, baik yang masih berproses di Indonesia maupun PMI yang sudah bekerja di luar negeri.
Pemerintah Harus Ambil Upaya Emergensi
Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia Gabriel Goa mengaku prihatin dengan banyaknya PMI asal NTT yang meninggal saat mencari keberuntungan nasib di luar negeri.
Ia pun menegaskan, Pemerintah Provinsi NTT di bawah pimpinan Penjabat Gubernur NTT Ayodhia Gehak Lakunamang Kalake saat ini perlu melakukan upaya emergensi dalam menyikapi maraknya kematian PMI tersebut.
“NTT merupakan provinsi darurat human trafficking,” katanya dalam rilis yang diterima awak media, belum lama ini.
Penjabat Gubernur NTT, menurut dia, harus melakukan sejumlah langkah seperti; Pertama, memperkuat gugus tugas pencegahan dan penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Kedua, melakukan kampanye Gerakan Masyarakat Antihuman Trafficking dan Migrasi Aman (Gema Hati Mia).
Ketiga, mengoptimalisasikan Balai Latihan Kerja (BLK) dan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) untuk Calon Pekerja Migran Indonesia asal NTT.
Keempat, mengawal pendirian Rumah Asa Flobamora untuk pendampingan psikologis korban TPPO, pelayanan rohani, pelayanan kesehatan, pendampingan program integrasi dan reintegrasi serta pendampingan hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.
Kelima, harus ada bank data Pekerja Migran Indonesia dan pendampingan Pekerja Migran Indonesia asal NTT mulai dari prapenempatan, penempatan dan purnapenempatan.
Keenam, mendukung dan mengawal advokasi kebijakan publik pencegahan dan penanganan human trafficking melalui Perda, Pergub/Perbup/Perwalkot dan Perdes di provinsi dan 22 kabupaten/kota di NTT.
Kolaborasi Semua Pihak
Anggota Komisi IX DPR RI Dapil NTT Ratu Ngadu Bonu Wulla mengatakan, human trafficking menjadi persoalan kemanusiaan yang harus diberantas bersama.
Sebab itu, kata dia, sebuah langkah baik telah dibangun oleh BP2MI dengan melibatkan masyarakat melalui pengukuhan Kawan PMI.
Kemudian, telah melaksanakan sejumlah upaya pencegahan TPPO di antaranya penguatan jalur diplomatik, memprioritaskan penempatan calon PMI yang memiliki keahlian, peningkatan efektivitas Satgas TPPO lintas sektor, serta pelatihan calon PMI oleh Kemnaker pada setiap BLK.
“Untuk diketahui, sejak tahun 2019 telah tersedia 40 BLKK di NTT,” ujar Ratu yang juga hadir pengukuhan dan pembekalan Komunitas Relawan Pekerja Migran Indonesia “Kawan PMI”, sebagaimana dilansir dalam siaran pers Biro Administrasi Pimpinan Setda Provinsi NTT.
BP2MI juga menurut dia, telah mendorong perlindungan jaminan sosial melalui BPJS Tenaga Kerja.
Kemudian, ke depan akan terus mendorong kolaborasi Kemnaker bersama BP2MI dalam mewujudkan transformasi BLK menjadi lembaga perluasan lapangan kerja berstandar internasional.
Sementara itu, Koordinator Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRUK) Sr. Fransiska Imakulata, SSpS mengatakan, pada dasarnya negara telah menyiapkan sejumlah regulasi sebagai panduan kerja pemberantasan kasus human trafficking.
Hanya saja, kata dia, seperangkat aturan tersebut belum mampu untuk menyelesaikan persoalan perdagangan orang.
“Dalam pencegahan dan penanganan kita tidak bisa bekerja sendiri,” terang Sr. Fransiska saat workshop di Aula BBK Ende, pada 28 September 2022 lalu.
Ia menegaskan, untuk mencegah dan menangani kasus perdagangan orang tentu saja membutuhkan sistem kerja di bawah payung wadah pelayanan terpadu.
“Pelayanan ini diberikan oleh setiap OPD yang memiliki peran dan fungsinya masing-masing,” katanya.
Terpisah, Kepala Badan Keahlian DPR RI, Inosentius Samsul, menganjurkan agar harus ada upaya legislasi untuk memberikan dampak bagi penegakan hukum sekaligus perlindungan korban TPPO.
“Hati saya selalu sedih karena dari daerah tempat asal saya terdapat banyak korban-korban TPPO dan salah satu faktornya karena kemiskinan,” kata Inosentius saat Focus Group Discussion (FGD) di Ruang Banggar DPR RI pada Senin, 31 Juli 2023.
Ia pun menyambut baik kolaborasi beberapa stakeholder terkait dan masyarakat sipil dalam memberantas mafia human trafficking atau perdagangan orang.
“Peran masyarakat sipil penting karena merekalah yang terjun langsung dalam advokasi serta pendampingan bagi korban TPPO,” katanya.
Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Perdagangan Orang, Nukila Evanty, mengatakan untuk memberantas mafia human trafficking maka membutuhkan regulasi yang kuat.
“Regulasi UU suatu keharusan karena UU TPPO kurang memberikan perlindungan bagi korban karena banyak yang perlu diadopsi dengan modus-modus baru kejahatan kemanusiaan ini,” tegas Nukila.
Menurut dia, pasal hukum tentang kompensasi harus ada bagi korban TPPO. Kemudian, dukungan sistem bagi korban TPPO harus dilakukan oleh pemerintah bergandengan tangan dengan masyarakat sipil.
“Gugus tugas TPPO sudah ada, yaitu terdiri dari 24 kementerian dan non kementerian, bagaimana caranya 24 kementerian ini berkolaborasi dengan masyarakat sipil. Misalnya dalam mengidentifikasi korban, melakukan pendampingan atau bantuan hukum, dan juga selama ini juga masyarakat sipil yang ada garda terdepan dalam kampanye, dan advokasi TPPO,” jelas Nukila.
Ia mengatakan, UU TPPO perlu menekankan perlindungan anak-anak dari korban TPPO, serta mengharmonisasikan pasal-pasal hukumnya dengan UU terkait seperti UU Perlindungan Anak, UU Imigrasi, UU Perlindungan Saksi dan Korban.