Oleh: Enso Feto dan Olan Nanga*
Hendar Putranto, pengamat kebudayaan dalam ulasan esainya yang bertajuk “Analisis Budaya dari Pascamodernisme dan Pascamodernitas”, menyuguhkan ilustrasi naratif yang kesan penulis sangat menarik, kritis, dan relevan dengan zaman yang diistilahkan modern ini. Penulis mencoba mempersingkat gagasan ilustrasinya, dengan tidak menghilangkan esensinya.
Paijo adalah pria kelahiran Tegal yang hidup dalam corak kebudayaan Jawa. Ia bekerja di Jakarta. Menu makannya; pagi hari ia makan roti panggang, siang makan Big Mac dari restoran fast-food McDonalds dan malamnya steak. Ia gemar memakai sepatu Bucheri, mengenakan kemeja Yues St. Laurent hingga menenteng mobile iphone. Selera tontonannya yaitu Bajaj Bajuri, Fear Factor, AFI, dan Dunia Sex and The City. Lingkup pergaulannya sangat luas. Ia berkontak dengan kenalan-kenalannya yang tersebar hampir ke seluruh penjuru dunia via e-mail, SMS, dan telepon sambungan jarak jauh. Seperti itulah sinopsis kisah Si Paijo.
Mencuat suatu pertanyaan mendasar, masihkah Paijo mempunyai akar budaya “Jawa” di mana ia lahir, tertanam dan berakar? Sebetulnya pertanyaan ini bersifat universal, berlaku untuk seluruh kalangan masyarakat dengan latar belakang kultur masing-masing.
Narasi yang dipaparkan di atas menjadi representasi kondisi kebudayaan sekarang yang seolah di ujung tanduk. Sekaligus juga menjadi fokus telaah penulis perihal wabah westernisasi yang mengeropos prinsip jati diri (self identity) muda-mudi. Pembubuhan istilah wabah ini mungkin kedengaran “hiperbola”, tetapi hemat penulis sudah sepantasnya demikian. Nyaris semua muda-mudi telah terinfeksi wabah westernisasi, serupa dengan yang dirasakan Paijo.
Mengetahui penggunaan istilah Westernisasi, sangat minim dan barangkali terasa asing, maka terlebih dahulu akan diklarifikasi. Secara populer, westernisasi disebut budaya kebarat-baratan. Westernisasi merupakan proses menjiplak dan mengadopsi budaya dunia Barat. Kurang tepat bila mengartikan budaya Barat terpusat “melulu” pada benua Eropa tetapi juga benua Amerika.
Dialektika Manusia dan Budaya
Diskusi perihal manusia dan budaya tidak ada habisnya diperdebatkan hingga kini. Belum ada satu teori pun yang tepat mengupas secara tuntas. Tafsiran dari berbagai disiplin ilmu melahirkan kerangka berpikir yang berbeda-beda dalam memaknai istilah manusia dan budaya. Bagi penulis, “agak repot” bila harus menguraikan secara definitif kedua istilah tersebut.
Mengingat kompleksnya dua istilah tadi, maka yang menjadi wacana diskursus bukan terletak pada terminologi katanya, tetapi lebih mengacu pada kaitannya: dialektika manusia terhadap budaya, dan sebaliknya. Penulis ingin mempertemukan relasi keduanya dengan merangkai ke dalam butir-butir penting secara sistematis.
Pertama, manusia adalah makhluk berbudaya. Dari masa lampau hingga kini, sedari kecil hingga dewasa, kapan pun dan di mana pun manusia berproses dalam pola budaya tertentu. Mengutip gagasan Mudji Sutrisno (2005) dalam buku “Teori-Teori Kebudayaan”, kebudayaan merupakan manifestasi daya kreatif kegiatan perorangan ataupun sebagai kelompok manusia. Berarti, manusia menciptakan budaya dan tinggal di dalam budaya.
Kedua, manusia adalah makhluk dinamis. Awalnya manusia meramu suatu kebudayaan dan selanjutnya memodifikasinya. Manusia dalam terang kebudayaannya kerap berubah-ubah. Mengapa demikian? Pada hakikatnya manusia mengupayakan taraf hidupnya semakin baik.
Ketiga, alam kebudayaan antarwilayah memiliki diferensiasi. Sebetulnya tidak menjadi problematika, kalau saja masing-masing kelompok kebudayaan tidak “sibuk” satu sama lain. Namun asumsi demikian, sangat mustahil. Kendati telah berada dalam suatu kelompok manusia membutuhkan kelompok lain. Perpaduan antarkelompok inilah, cikal bakal akulturasi dan asimilasi budaya.
Keempat, budaya diwariskan turun-temurun. Dari siapa ke siapa? Secara natural budaya diturunkan dari orang tua kepada anak muda selaku ahli waris. Kelanjutannya, anak muda mesti memelihara budaya tersebut, dan pada waktunya meneruskan ke generasi di bawahnya. Anak muda “wajib hukumnya” memastikan budaya tetap eksis.
Lingkungan Budaya dan Tumbuh-Kembang Muda-Mudi
Masa muda, entah pria atau wanita, merupakan momentum pencarian jati diri (self identity) sehingga ada rangkaian perubahan yang niscaya dialami, meliputi aspek fisik, emosionalitas, kognitif, dan implikasi psikososial (Lerner dan Hultsch, 1983). Pada fase ini lazimnya muda-mudi tertimpa guncangan dahsyat lantaran statusnya “labil”. Cukup banyak orang berpandangan labil identik dengan kekanak-kanakan. Padahal salah kaprah. Labil merupakan kerentanan individu terhadap pengaruh lingkungan yang dipicu ketidakmatangan dalam berpikir.
Patut dipahami bahwasannya konsep mengenai berpikir (thinking) dan bertindak (doing) merupakan bentuk dasar dari hubungan manusia dan lingkungan sekitarnya (Vygotsky, 1968). Bertolak dari perspektif demikian, penulis menangkap hal pokok bahwa lingkungan merupakan faktor krusial. Lingkungan selain merupakan habitat hidup dan sumber penyedia kebutuhan manusia, juga berperan sangat besar dalam pembentukan sifat, sikap, perasaan dan unsur psikologis lain (Agustiani, 2006).
Melihat zaman yang beralih ke peradaban modern (post-tradisional) dengan ditandai dunia yang semakin terhubung (globalisasi), muncul suatu dilema, manakah kebudayaan yang seyogianya budaya global (modern) atau budaya lokal? Opsi ini memiliki konsekuensi. Bila muda-mudi “pro” terhadap budaya global muncul justifikasi terutama dari kalangan tua, bahwa anak muda tidak memiliki respek terhadap budaya lokal. Sebaliknya, bila berpegang teguh pada budaya lokal, orang bersangkutan akan dicap eksklusif, ketinggalan zaman dan fanatik terhadap budayanya. Hal ini jelas mengindikasikan kontradiksi antara yang global dan yang lokal.
Untuk muda-mudi yang lingkungan hidupnya diwarnai modernitas, tidak bisa dilepas-pisahkan dari budaya-budaya asing. Kata lainnya, eksistensi kebudayaan asing telah terinternalisasi ke dalam dimensi lingkungan sekitar. Pada titik ini, budaya asing merombak orisinalitas (keaslian) lingkungan yang ditumpanginya. Terlebih perubahan yang kian cepat memaksa muda-mudi untuk cepat beradaptasi pula dengan lingkungan.
Wabah Westernisasi di Kalangan Muda-mudi Indonesia
Bung Karno pernah mengungkapkan: “Berikanlah aku 1000 orang tua akan kucabut Semeru dari akarnya, berikanlah aku 10 pemuda maka akan kuguncangkan dunia”. Hemat penulis, kalimat ini mengintepretasikan unsur optimistis dan pesimistis. Di satu sisi terungkap suatu energi positif yang merujuk pada harapan besar bahwa muda-mudi berpotensi menjadi “ujung tombak” sebuah bangsa. Di lain sisi, juga terselubung energi negatif yang memancarkan rasa takut akan kualitas muda-mudi. Ringkasnya, generasi muda bisa membangun (konstruktif) ataupun merusak (destruktif).
Dalam Kumparan.com (12/8/2022), disebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-4 populasi penduduk terbanyak, sebesar 275 juta jiwa. Berita terakhir tahun 2022, Badan Pusat Statistik memublikasikan hampir seperempat dari total penduduk adalah kalangan muda-mudi. Angka riil, kira-kira 60-an juta jiwa. Besarnya persentase pemuda menyajikan dua hipotesis, Indonesia semakin maju atau Indonesia semakin terpuruk.
Kemajuan tidak semata segi material, melainkan segi kultural turut diperhitungkan. Dengan ini, idealnya peranan golongan muda-mudi ialah memajukan bangsa dengan kiat merawat budaya.
Sayangnya meneropong kondisi terkini, muda-mudi telah terseret dalam aliran globalisasi yang mendistribusikan budaya asing, budaya Barat. Kecanduan muda-mudi mengonsumsi secara mentah budaya “dari luar sana” memperanakkan praktik hidup baru yakni westernisasi.
Guna mendukung argumen di atas, penulis menampilkan fenomena-fenomena empiris wabah westernisasi. Pertama, penerapan mixed language. Jarang muda-mudi mengimplementasikan kaidah berbahasa Indonesia secara benar. Pendidikan bahasa di sekolah masih pada tataran teori belum membias pada tindak praktis. Mixed languange, secara spesifik Indonesia-Inggris sangat marak. Anak muda merasa bahasa Inggris lebih gaul, bergaya dan bergengsi.
Kedua, selera makanan-minuman, pakaian, musik, musik, film ala Barat. Wabah westernisasi dapat ditilik dari “biodata” seseorang. Anak muda lebih menyukai kuliner Barat; humberger dan pizza. Penampilan yang menempel pada anak muda sebagian besar buatan Barat seperti jeans dan baju you can. Genre musik kesukaan didominasi musik jazz dan bluezz. Pilihan film juga bersumber dari Barat. Ciri-ciri di atas menjadi bukti representatif muda-mudi sudah terdampak wabah westernisasi.
Ketiga, masuknya aliran-aliran baru. Penulis menitikberatkan pada aliran individualisme. Individualisme merujuk pada paham yang menomorsatukan kepentingan individual. Di sini manusia menyangkal hakikat kodratinya sebagai zoon politicon (makhluk sosial). Penulis berpendapat, teknologi digital menonaktifkan sikap sosial muda-mudi.
Ambil contoh, gadget yang kini dipandang kebutuhan superpenting. Fitur menarik di dalamnya justru menimbulkan adiksi sehingga anak muda lupa bergaul, tidak memiliki prinsip solidaritas dan parahnya mengganggu tumbuh-kembangnya.
Adapula sebagian orang berpandangan bahwa “gadget” menjadi media memperluas relasi sosial. Namun, berkaca pada realitas, tanpa disadari saking tingginya relasi sosial-virtual, berakibat fatal terhadap relasi sosial-visual. Anak muda mengalokasikan waktu bermain di dunia maya dan mengabaikan interaksi fisik. Inilah salah satu “wajah westernisasi”.
Upaya Preventif dan Solutif
Harus diakui muda-mudi Indonesia telah “terkontaminasi” wabah westernisasi. Perilaku hidup umumnya menjurus bukan kepada nilai-nilai budaya setempat, tetapi ke arah peradaban dunia luar, dunia Barat.
Mewabahnya westernisasi tidak bisa didiamkan. Salah konsep juga, menuding budaya luar yang bersalah. Dalam konteks ini, tidak ada salah atau benar, melainkan upaya yang dikedepankan.
Pokok pertanyaan untuk merespons wabah ini “bagaimana strategi mencegah dan menangani? Pencegahan dan penanganan berpatokan pada konteks lingkungan, sebab rentang usia muda sebagaimana penulis jelaskan terjadi fluktuasi pada aspek fisik, emosional, dan psikososial.
Hemat penulis, konsep berpikir yang menganjurkan anak muda “harus’ selektif, rasional dan segala ke-harus-an lainnya, jelas sangat konyol. Kecil kemungkinan anak muda membendung semua tekanan lingkungan, apalagi anak muda adalah sasaran empuk lingkungan.
Strategi jitu ialah dengan menciptakan lingkungan yang sehat dari lingkungan keluarga, pertemanan, masyarakat, dan sekolah. Dalam upaya tersebut, tindakan sederhana yang diupayakan orang tua misalnya menyisihkan waktu untuk bersama, semisal makan bersama dan piknik bersama.
Adapun peranan guru berkorelasi kuat dalam perkembangan muda-mudi. Guru memposisikan diri tidak sebatas fasilitator akademik, tetapi juga menaruh perhatian khusus kepada aspek moral. Guru bertanggung jawab memperkenalkan nilai-nilai luhur budaya melalui pembelajaran.
Dapat dipastikan bila berbagai pihak bersinergi (bukan semata-mata muda-mudi), rasa kecintaan muda-mudi akan budaya lokal akan semakin berakar kuat. Lingkungan yang sehat akan mampu mengantisipasi dan memulihkan anak muda yang terlanjur digiring budaya Barat.
Akhirnya, wabah westernisasi harus dipastikan tidak memiliki tempat untuk tumbuh secara subur.
*Enso Feto adalah Pendidik di SMA Seminari Mataloko dan Olan Nanga, Siswa Kelas XI SMA Seminari Mataloko