Oleh: Suroto*
Beberapa hari lalu, saya iseng ikut hadiri kegiatan launching buku di Oria Hotel (9/12), Jakarta dengan judul “Perempuan Politik Bergerak”, sebuah kompilasi peranan politik perempuan di Indonesia. Buku yang dikemas apik oleh Kristin Salmah ini mendeskripsikan peranan beberapa figur perempuan Indonesia yang aktif dalam kancah politik dari masa sebelum kemerdekaan hingga saat ini.
Hal yang menarik dari buku ini adalah, dalam konteks pemilihan figur politisi ini diartikan lebih luas, definisi politik dalam arti tak hanya menyangkut aktivitas politik praktis tapi menyangkut peranan mereka dalam politik riil keseharian seperti misalnya bagaimana merebut hak masyarakat adat, reforma agraria dan juga aktivitas membangun kekuatan ekonomi politik.
Kegiatan penerbitan buku diprakarsai oleh Kanti W. Janis, salah satu ketua presidium Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), penulis novel, dan juga advokat yang selama ini turut aktif melakukan pembelaan terhadap hak-hak masyarakat adat dan penyelamatan lingkungan dan dilaksanakan atas kerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Buku yang diterbitkan ini cukup baik dalam memberikan gambaran signifikansi peranan perempuan Indonesia dalam aktivitas ruang politik di berbagai lini kehidupan. Mereka bahkan melakukannya secara aktif dalam melakukan advokasi politik bukan hanya karena alasan untuk merebut kekuasaan politik praktis semata tapi karena alasan mendasar bahwa perempuan itu berada di garis terdepan dalam membela hak-hak mereka dan juga ruang hidup mereka yang diserobot oleh kepentingan kapitalis yang pada dasarnya mengancam peri kehidupan mereka dan keluarganya secara keseluruhan.
Satu hal yang menarik adalah dalam buku ini juga menceritakan aktivitas advokasi sosial, ekonomi dan politik secara komprehensif dari Misbah Isnaifah asal Lumajang, Jawa Timur. Mantan buruh pengaduk semen ilegal di Malaysia ini tak hanya melakukan aktivitas aktivisme semata, tapi dia telah menunjukkan keberhasilannya dalam mendidik kesadaran politik terutama bagi perempuan di kabupatennya dan bahkan meluas di kabupaten lain di sekitar Lumajang dengan membangun organisasi yang mandiri, berkelanjutan dalam bentuk koperasi.
Perempuan yang tak berhasil menamatkan sekolah SMA-nya karena harus menikah dini di usia 16 tahun ini, demi menyelamatkan ekonomi keluarganya akhirnya menjadi buruh ilegal ke Malaysia di usia 19 tahun ketika beberapa hari setelah melahirkan. Dia kembali ke desanya karena krisis ekonomi yang melanda banyak negara termasuk Malaysia dan membuat aktivitas pembangunan konstruksi gedung-gedung mandek.
Setelah kehilangan pekerjaannya dan beberapa bulan menganggur di rumahnya, dia mendapat kesempatan hadiri undangan pertemuan dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Dari pertemuan inilah dia mulai tersadarkan kenapa tidak membangun kekuatan sosial ekonomi di desanya ketimbang pergi ke luar negeri. Lalu dia bangun Gerakan Masyarakat Pedesaan Lumajang (Gemapalu) bersama teman temanya untuk lakukan advokasi.
Dia awalnya sangat getol dengan aktivitas advokasi perempuan, isu agraria, isu buruh migran, lakukan demonstrasi kritik kebijakan dan lainnya. Namun dari aktivitas yang dilakukan sejak 2004 hingga 2012 ini, dia merasa kelelahan. “Saya capek dan lelah, ganti pemimpin kebijakan yang buruk tetap sama” (Samah, 2023). Sementara, sebagaimana pernah saya klarifikasi, dia katakan bahwa aktivitas advokasi yang bergantung pada pembiayaan donor selalu mentok ketika pendanaan organisasi dihentikan donor. Lalu dia lakukan rancang strategi dan ketemulah dia dengan kelembagaan koperasi.
Tahun 2017, dia berhasil membangun gerakan koperasi kredit (Credit Union) dan melalui kelembagaan keuangan yang dimiliki dan dikelola secara demokratis oleh anggota-nasabahnya ini lalu berkembanglah aktivitas kegiatannya semakin kuat dan mandiri dan jaringannya semakin luas. Saat ini telah ada 2.000-an orang menjadi anggotanya dan berbagai aktivitas advokasi sosial, ekonomi politik telah dijalankan dan dia telah mengambil kesimpulan bahwa aktivisme saja tidak cukup, kelembagaan sosial ekonomi yang dibangun untuk menjawab kebutuhan keseharian masyarakat harus dijawab dan kelembagaan yang pas menurutnya itu adalah koperasi.
Melalui koperasi dia dan teman-temannya telah berhasil kembangkan kegiatan perang melawan pengijon melalui Credit Union (Koperasi Kredit), perangi judi online, juga kembangkan banyak potensi ekonomi seperti membangun koperasi sektor riil untuk layani kebutuhan sehari-hari agar lebih murah, kembangkan produk lokal, bangun sekolah PAUD, selenggarakan kegiatan pendidikan dan pelatihan berbagai ketrampilan dan pengorganisasian rutin, terutama kepada para perempuan dan lain-lain.
Ada beberapa hal yang menarik dari apa yang dilalukan oleh Misbah ini, dia memberikan pelajaran pada kita bahwa aktivisme saja tidak cukup, pembangunan kelembagaan sosial ekonomi, politik yang komprehensif dan berfungsi sebagai organisasi gerakan perubahan sosial melalui koperasi menjadi sangat penting. Seperti aksioma politik, bahwa tak ada yang namanya kedaulatan sejati tanpa adanya kemandirian ekonomi.
Kita sesungguhnya sudah memiliki modal kelembagaan seperti Credit Union yang digunakan oleh Misbah tersebut di seluruh Indonesia. Ada di hampir seluruh provinsi, meliputi 4,6 juta anggota. Hal yang diperlukan sesungguhnya hanya perlu hargai capaian organisasi yang dibangun dan dikembangkan oleh rakyat jelata dan orang-orang sederhana ini. Lalu dengan berbagai kemampuan dan keahlian di banyak sektor yang dimiliki para scholar-activist dengan cara bekerja sama dengan rakyat biasa maka tentu akan menjadi kekuatan besar. Terima kasih Misbah, kami belajar banyak darimu.
*Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation)