Oleh: Eto Kwuta*
Pesta demokrasi 2024 menjadi ruang politik yang membentuk pola perilaku hidup warga negara Indonesia seluruhnya. Pada hakikatnya, politik adalah bagian dari manusia untuk mempertahankan atau melangsungkan kehidupannya, maka sejatinya dapat dikatakan, di mana ada manusia, di situ ada fenomena politik (Bdk. Trubus Rahardiansa, 2018:5).
Fenomena ini pun akhirnya membentuk karakter masyarakat Indonesia menjadi makhluk politik yang merindukan kehidupan yang baik; dalam bahasa Plato dan Aristoteles en dam onia atau the good life.
Karakter ini membawa manusia masuk dalam sifat-sifat dasar manusiawi. Ada tendensi pro-kontra, konflik yang menyebabkan perang untuk bertahan hidup. Siapa yang kuat akan bertahan dan lemah akan gugur, bahkan hilang dari peradaban. Dalam negara, peradaban sangat berperan besar untuk kemajuan negara atau bangsa; karena peradaban lahir dari kecerdasan pola perilaku manusia itu.
Akan tetapi, runtuhnya peradaban juga terjadi ketika manusia menjadi serakah; barangkali menjadi homo homini lupus (serigala bagi manusia lainnya). Pepatah Latin ini hadir dalam diri manusia. Dari akar rumput sampai yang paling tinggi, perilaku manusia bisa menjadi bencana yang mematikan. Perilaku-perilaku ini bisa meringkas dan meringkus manusia dengan begitu mudah. Jadi, ada apa dengan bencana?
Politik di Tengah Bencana
Dalam perjumpaan pada 2023 lalu dengan seorang tokoh publik Nagekeo, Bupati Don Bosco Do, Penulis mendapat sebuah pandangan tentang politik praktis. Menurutnya, politik itu soal kesan. Pertarungannya merebut kursi bupati sering berhadapan dengan kesan yang dibangun di tengah masyarakat.
Hemat Penulis, jika masyarakat punya kesan baik tentang Anda, maka kesan itu tidak membawa bencana. Pastinya, kesan positif itu mendorong Anda meraih kursi, tetapi jika kesan buruk lebih besar dan sudah mendahului Anda, maka bisa terjadi apa yang disebut sebagai ‘bencana’. Saat bencana datang, maka Anda pasti gagal meraih mimpi dan cita-cita. Anda dipangkas di tengah jalan lalu kalah telak. Hasilnya, uang, tenaga, waktu ikut terkuras habis dan mimpi tak pernah sampai. Mungkin.
Sedikit intermeso ini membawa Penulis memaknai bencana dalam konteks erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki. Warga beberapa desa di bawah kaki Gunung Lewotobi Laki-laki dan Perempuan yang terjebak erupsi berkepanjangan adalah orang-orang yang sedang mengalami kegagalan dalam berbagai level atau tingkatan. Dengan kata lain, bencana mendatangkan susah, kegagalan panen, penyakit, hingga matinya ekonomi keluarga. Di sini, lahirlah apa yang disebut dengan dampak dari bencana tersebut.
Diberitakan Kompas.com dampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), terus meluas ke sejumlah wilayah. Dari catatan Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Flores Timur, Hironimus Lamawuran, di Wulanggitang, pada Kamis (18/1/2024), ada delapan desa di dua kecamatan yang terdampak. Sementara pengungsi yang tinggal di rumah warga sebanyak 3.614 jiwa. Mereka tersebar di 31 desa dalam wilayah Kabupaten Flores Timur dan 3 desa di Kabupaten Sikka (Bdk. Kompas, 19 Januari 2024).
Fakta ini telah menghantui warga terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki karena mereka terlempar dari rutinitas mereka yang sesungguhnya dan mendapat nama baru sebagai ‘pengungsi’. Ini normal; mengingat bahwa bencana alam datang tanpa rencana. Sebagai contoh, erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki terjadi karena alam menghendaki demikian.
Contoh ini memberi pelajaran bahwa, ketika bencana terasa berat, Tuhan boleh jadi subyek pelampiasan. Tuhan tidak perlu dimarah-marahi. Atau cara lain, Tuhan tidak boleh dituduh menjadi penyebab bencana. Tuhan memang tak menginginkan bencana itu terjadi, namun ketika bencana sudah terjadi, manusia perlu melihat kembali dan berefleksi dengan sadar bahwa bencana terjadi ‘bisa juga’ karena ulah manusia.
Ulah manusia tampak dalam banyak hal seperti penebangan hutan secara liar di wilayah Desa Nawokote, eksploitasi penambangan batu-pasir di Waikula (wilayah Nobo dan Nurabelen), perebutan lahan atau tanah, hingga konflik kepentingan yang tumbuh di tengah masyarakat seputar Gunung Lewotobi Laki-laki dan Perempuan.
Beberapa persoalan tersebut merupakan akar dari krisis kemanusiaan yang sudah mulai menggerogoti lingkaran masyarakat adat di seputar Gunung Lewotobi Laki-laki dan Perempuan. Namun, persoalan itu tak sebanding dengan Daftar Pantauan Darurat tahun 2024 oleh Komite Penyelamatan Internasional atau International Rescue Committee (IRC) yang berbasis di New York menyebutkan 20 negara yang sebagian besar berada di Afrika memiliki risiko terbesar terhadap memburuknya situasi kemanusiaan pada tahun 2024 (Koran Jakarta, 22 Januari 2024).
Menurut The Straits Times, laporan IRC muncul setelah jumlah orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan tahun 2024 meningkat menjadi 300 juta, sementara mereka yang terpaksa meninggalkan rumah mereka melonjak menjadi 110 juta.
Ketua IRC, David Miliband, dalam sebuah pernyataan, menyerukan lebih banyak penekanan pada adaptasi iklim, pemberdayaan perempuan, perbankan yang mengutamakan masyarakat, dukungan bagi para pengungsi dan tindakan untuk membendung impunitas. Ini merupakan seruan profetik yang memanggil semua orang melihat lebih dekat tentang bencana dan bagaimana kemanusiaan itu ada sebagai gambaran wajah yang terluka; termasuk bagaimana melihat wajah para pengungsi erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki.
Emanuel Levinas mengatakan “saya terusik oleh kehadiran orang lain karena ia memiliki wajah yang tidak bisa diabaikan”. Oleh karena wajah itu, Levinas juga menegaskan, mesti ada etika yang lahir dari pertemuan konkret dengan manusia yang memiliki wajah itu (Thomas Hidya Tjaya, 2012:8). Dengan demikian, ketika krisis kemanusiaan menjadi masalah global, maka dibutuhkan “cermin” untuk melihat wajah yang tidak bisa diabaikan.
Oleh karena wajah para pengungsi hadir di tengah tahun politik dan menuju pesta demokrasi 2024, penulis menyodorkan beberapa tawaran solusi sebagai antisipasi moral dan etika untuk melihat wajah-wajah kemanusiaan para pengungsi yang terluka.
Pertama, berpolitik di tengah bencana bukan pilihan yang tepat. Pernyataan ini mesti diganti dengan berpihak pada kemanusiaan di tengah bencana. Ada fenomena yang dilakukan tim sukses para caleg dengan membagikan masker atau beberapa dos sarimi kepada para pengungsi, mengabadikan foto bantuan, hingga mengklaim bahwa “saya sudah melihat wajah yang lain”. Fenomena ini adalah belenggu kolusi sebelum meraih kursi dan duduk pada tampuk pemerintahan. Jadi, stop tipu-tipu!
Kedua, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan universal. Wajah para pengungsi merupakan gambaran orang-orang yang terluka dan membutuhkan bantuan segera. Untuk itu, bantulah dengan tulus dan hindari politik identitas.
Ketiga, Pemilu 2024 bakal jadi pesta demokrasi yang melahirkan pemimpin hebat; sehingga masyarakat perlu memilih pemimpin yang benar-benar bermoral dan beretika baik. Mengutip Franz Magnis Suseno, “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi mencegah yang terburuk berkuasa”.
Keempat, antara politik, bencana, dan kemanusiaan, ada peradaban sejarah yang mencatat pola perilaku manusia sebagai makhluk politik hingga meneguhkan manusia sebagai makhluk sosial. Jika hidup sosial Anda baik di tengah peradaban, maka nilai-nilai kemanusiaan selalu menjadi prioritas ketika pada suatu saat “Anda menjadi pemimpin dan mencegah perilaku buruk terjadi”.
Dengan begitu, politik, bencana, dan kemanusiaan mesti dipandang sebagai ruang atau kesempatan merefleksikan kehidupan manusia dewasa ini; dan yang paling tinggi nilainya adalah mengangkat kemanusiaan di tengah politik dan bencana; bukan sebaliknya.*
*Penulis adalah Warga Bawalatang, Desa Nawokote, Kecamatan Wulanggitang, Flotim