Bajawa, Ekorantt.com– Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI menyerahkan dana restitusi kepada Maria Susanti Wangkeng, korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) asal Mbay, Kabupaten Nagekeo pada Rabu, 31 Januari 2024.
Penyerahan yang dilakukan oleh Wakil LPSK RI Antonius PS Wibowo itu berlangsung di Ruang Kejaksaan Negeri Ngada, Kabupaten Ngada.
Koordinator Pelaksana Kelompok Kerja Menentang Perdagangan Manusia (Pokja MPM) Greg R. Daeng menjelaskan, Maria adalah seorang anak yang menjadi korban perdagangan orang. Ia direkrut dan dipekerjakan secara paksa di Jakarta sejak tahun 2015 – 2017 silam.
Maria direkrut oleh calo, Stanis Mamis dan Eustakius Rela dengan modus menjadi pekerja rumah tangga pada 2015. Saat itu Maria berusia 15 tahun, masuk kategori di bawah umur menurut hukum.
“Selama bekerja, Maria tidak mendapatkan upahnya secara utuh, ketiadaan kontrak kerja, dan sering mendapatkan perlakuan diskriminasi serta eksploitasi dari majikannya,” jelas Greg dalam keterangan yang diterima awak media, Rabu malam.
Kasus ini pertama kali dilaporkan ke kepolisian pada Agustus 2018. Namun penahanan terhadap kedua pelaku baru terjadi pada 2023, lima tahun sesudah laporan pertama.
Kini kedua perekrut itu sudah divonis bersalah dan dipenjara selama 4 tahun 8 bulan oleh Pengadilan Negeri Bajawa.
Greg menjelaskan, melalui bantuan LPSK RI, para pelaku akhirnya memberikan restitusi kepada Maria melalui vonis majelis hakim pada akhir Desember 2023 lalu.
Setelah putusan tersebut, Kejaksaan Negeri Ngada bersama LPSK RI selanjutnya menyerahkan dana restitusi kepada korban.
Pernyataan Sikap
Selaku pendamping korban, pihak Greg kemudian menyatakan sikap, pertama, memberikan apresiasi kepada LPSK RI yang sejak awal memberikan atensi terhadap kasus ini. Terutama dalam hal perlindungan bagi korban dan memfasilitasi untuk mendapatkan restitusi.
Kedua, Greg mengucapkan terima kasih kepada Kejaksaan Negeri Ngada yang telah secara maksimal melakukan penuntutan terhadap pelaku, sehingga mendapatkan vonis penjara 4 tahun 8 bulan.
Ketiga, secara kelembagaan, dalam kerja-kerja pembelaan kepada korban perdagangan manusia di Indonesia, khususnya NTT, pihak Greg akan terus mengawal kasus-kasus serupa ke depannya.
“Karena biar bagaimana pun, NTT sampai saat ini masih menjadi lumbung pekerja migran yang rentan dengan praktik-praktik perdagangan manusia,” pungkas Greg.
Keempat, belajar dari kasus yang cukup serius ini dan apalagi memakan waktu yang cukup lama tentu saja memberikan refleksi tersendiri untuk semua pihak. Di mana, selain pembuktian yang memiliki tantangan tersendiri, juga soal komitmen aparat penegak hukum dalam memberikan atensi serius kepada kasus TPPO yang ditangani.
Kelima, Greg mendesak kepada seluruh jajaran aparat penegak hukum di NTT, termasuk di wilayah kerja Kabupaten Ngada untuk secara serius melakukan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan manusia yang saat ini sudah menjadi satu fenomena serius.
Keenam, dia juga mendesak aparat penegak hukum untuk memberikan kesempatan justice collaborator kepada para pelaku perdagangan manusia, agar peluang untuk membongkar jaringan atau sindikat trafficking in person di NTT dapat diberangus sampai ke akar-akarnya.
Greg berharap dengan kasus ini menjadi rujukan bersama bahwa korban tidak hanya memperoleh keadilan dengan pelaku dimasukkan ke penjara, tetapi hak-hak lainnya juga ikut terjamin melalui fasilitasi negara.
“Mari kita sama-sama berantas mafia perdagangan manusia di bumi Flobamorata. Salam stop bajual orang NTT,” ajak Greg.