Jakarta, Ekorantt.com– Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA Lanyalla Mahmud Mattalitti, mengungkapkan persoalan fundamental ketidakadilan fiskal dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Lanyalla menjelaskan, APBN terdistribusi untuk pemerintah pusat sebesar 64 persen, sedangkan pemerintah daerah 36 persen.
Sementara di sini lain, kata dia, proporsi beban jumlah pegawai yang ditanggung pemerintah daerah sebesar 78 persen. Sedangkan pemerintah pusat hanya 22 persen.
Menurut Lanyalla, dengan rasio proporsi yang berbanding terbalik itu menyebabkan kapasitas pemerintah daerah dalam memberikan layanan penyelenggaraan kewenangan menjadi sangat lemah dan terbatas.
Hasilnya, Standar Pelayanan Minimal (SPM) pemerintah daerah rata-rata hanya mencapai angka 58 persen untuk provinsi dan 59 persen untuk kabupaten/kota.
“Sebaliknya, kementerian dengan porsi APBN yang sangat besar ternyata memiliki keterbatasan kemampuan rentang kendali hingga ke daerah, terutama di daerah kepulauan dan daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3 T),” jelas Lanyalla saat sarasehan DPD RI bersama calon presiden 2024 di Ruang Pustakaloka – Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 2 Februari 2024.
Persoalan fundamental lain, menurut LaNyalla, adalah ketidakadilan yang dirasakan pemerintah daerah dan masyarakat daerah terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan sumber daya ekonomi lainnya di daerah, yang output-nya justru memindahkan kantong kemiskinan baru dan memperparah bencana ekologi.
“Kami melihat paradigma pembangunan yang diterapkan adalah pembangunan di Indonesia, bukan membangun Indonesia. Karena untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan PDB (produk domestik bruto), maka segala kemudahan diberikan kepada investor asing dan swasta untuk menguasai sumber daya di daerah,” tegas Lanyalla.
Persoalan fundamental selanjutnya, kata dia, adalah asas dan sistem bernegara Indonesia yang telah meninggalkan filosofi dasar dan identitas konstitusi yaitu Pancasila.
“Perubahan isi dari pasal-pasal dalam UUD 1945 yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 silam tersebut, membuat Konstitusi Indonesia justru menjabarkan semangat individualisme dan liberalisme serta ekonomi yang kapitalistik,” terangnya.
Untuk itu, pihaknya perlu menguji visi kenegaraan capres terkait dengan putusan sidang paripurna DPD RI tanggal 14 Juli 2023 lalu.
Saat itu DPD RI menawarkan kepada bangsa Indonesia untuk kembali menerapkan sistem rumusan para pendiri bangsa, dengan penyempurnaan dan penguatan. Sehingga tidak terjadi praktik penyimpangan seperti di era Orde Lama dan Orde Baru.
“Nanti kita minta pandangan dan kajian dari masing-masing capres terhadap beberapa isu fundamental tersebut. Sehingga kita dapat mengetahui visi mereka terkait hubungan pusat dan daerah, serta ketatanegaraan Indonesia,” tandas Lanyalla.