Lewoleba, Ekorantt.com – Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia mendukung percepatan akreditasi Balai Latihan Kerja (BLK) Komunitas Karitas Peduli Lembata, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.
BLK yang berlokasi di Bukit Pada, Desa Pada, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata itu dipimpin oleh Suster Margaretha Ada dari Kongregasi Servae Spiritus Sanctus (SSpS) atau Suster Misi Abdi Roh Kudus.
Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia, Gabriel Goa mengatakan, pada Jumat, 16 Februari 2024 kemarin, Suster Margaretha dan Instruktur BLK Program Pelatihan Operator Komputer Suster Domitila Kilok, SSpS beraudiensi dengan Penjabat Bupati Lembata, Matheos Tan.
Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas Memorandum of Understanding (MoU) dengan Pemerintah Kabupaten Lembata. Kemudian, melaporkan rencana akreditasi nasional BLK Komunitas Karitas Peduli Lembata menjadi BLK Luar Negeri (BLK LN) yang mandiri dan profesional, sebagaimana disyaratkan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Menurut Gabriel, Penjabat Bupati Lembata dan jajarannya sangat antusias mendukung rencana akreditasi BLK Komunitas Karitas Peduli Lembata. Sebab, Lembata masuk kategori kantong migrasi ilegal yang rentan menjadi korban perdagangan orang atau human trafficking.
“Kami mendukung percepatan akreditasi BLK Komunitas Susteran SSpS menjadi BLK LN sehingga bisa melatih calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) agar memenuhi persyaratan yakni, memiliki keterampilan mahir melalui skema 3 D, dilatih, disertifikasi dan ditempatkan sesuai job order negara tujuan penempatan,” ujar Gabriel dalam keterangan tertulis yang diterima awak media, Sabtu, 17 Februari 2024.
Ia pun meminta Pemerintah Kabupaten Lembata agar berkoordinasi dengan Kemnaker RI segera mengadakan Lembaga Terpadu Satu Atap (LTSA).
Hal ini penting agar setelah pelatihan di BLK LN, calon PMI bisa mengurus semua persyaratan legal formal sesuai prasyarat negara tujuan. Sehingga calon PMI tidak pergi merantau secara ilegal yang rentan dengan human trafficking.
Menurut Gabriel, calon PMI yang berangkat ke luar negeri perlu dipersiapkan sejak awal sehingga mereka juga diutus menjadi duta pariwisata sekaligus misionaris awam di negara penempatan. Mereka merantau harus dengan skema Angkatan Kerja Antarnegara (Akan).
Sebaliknya, apabila ada yang tidak lolos seleksi karena kesehatannya terganggu, maka bisa bekerja di dalam negeri saja dengan skema Angkatan Kerja Antardaerah (Akad).
Kemudian, lanjut Gabriel, calon PMI jebolan sekolah vokasi profesional bisa dipersiapkan kemahiran bahasa asing negara tujuan dan pengenalan budaya dan hukum yang berlaku di negara tujuan. Juga, mengamankan dokumen-dokumen resmi melalui digitalisasi dan LTSA.
“Mereka harus menyiapkan hotline khusus jika ada masalah berkolaborasi dengan gugus tugas pencegahan dan penanganan korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) baik di kabupaten, provinsi maupun pusat, juga perwakilan RI dan semua stakeholder di luar negeri seperti bekerja sama dengan para misionaris asal NTT di seluruh dunia,” ujarnya.
Tidak hanya itu, pihak Gabriel juga sangat mendukung kolaborasi pentahelix yakni, pemerintah, akademisi, rakyat, Civil Society Organization (CSO) dan pers di Lembata untuk bersama-sama melakukan pencegahan human trafficking dan migrasi aman.
Ia berharap Lembata dijadikan sebagai pilot program di NTT melalui Gerakan Masyarakat Antihuman Trafficking dan Migrasi Aman (Gema Hati Mia) mulai dari desa.
“Keseriusan Suster Margaretha Ada, SSpS pimpinan BLK Susteran SSpS Pada, Lembata, Nusa Tenggara Timur untuk mengajak kerja sama dengan Penjabat Bupati Lembata Matheos Tan dan Kadis Nakertrans Lembata Rafael Betekeneng beserta stakeholder terkait di Lembata patut diapresiasi dan didukung total,” tutup Gabriel.