Kupang, Ekorantt.com– Kasus perdagangan orang atau human trafficking masih marak terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Menelisik data Pemprov NTT pada semester I tahun 2023, setidaknya 185 orang menjadi korban human trafficking. Rinciannya; perempuan 39 orang dan laki-laki 146 orang.
Kemudian Polda NTT mencatat sejak Januari hingga Agustus 2023, korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di NTT mencapai 256 orang. Pada proses penanganannya, kepolisian telah menetapkan 52 tersangka.
Sementara Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Kupang mencatat selama 2023 terdapat 143 orang pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural asal Provinsi NTT meninggal dunia di luar negeri.
Ketua Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia Gabriel Goa menegaskan, Pemerintah Provinsi NTT dan pemerintah pusat tidak boleh ‘cuci tangan’ atau tidak mau terlibat atas maraknya kasus human trafficking.
“Semakin maraknya anak-anak NTT terjebak dalam jaringan mafia human trafficking berkedok malaikat penolong untuk mendapatkan pekerjaan yang cepat melalui skema Angkatan Kerja Antardaerah (Akad) dan skema Angkatan Kerja Antarnegara (Akan),” ujar Gabriel dalam keterangan yang diterima awak media, Minggu, 10 Maret 2024.
Ia menduga pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, serta pemerintah kabupaten/kota di NTT lalai dan melakukan pembiaran terhadap para mafia kasus human trafficking.
Bahkan sikap pemerintah tersebut, lanjut dia, masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Apalagi mereka belum menyiapkan sarana dan prasarana sebagai prasyarat menjadi pekerja.
Hal itu seperti pertama, adanya Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) atau Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK LN) yang profesional untuk mempersiapkan kompetensi dan kapasitas keterampilan khusus pekerja.
Kedua, belum adanya Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang mengurus prasyarat legal formal calon pekerja yakni administrasi hukum seperti KTP, Paspor, rekam medis kesehatan, asuransi kesehatan dan asuransi jiwa, job order, rekam jejak perusahaan, pengetahuan tentang budaya dan hukum negara penempatan, perlindungan di negara tujuan melalui Perwakilan RI dan jejaring lembaga agama dan PBB.
“Lebih parah lagi yakni belum adanya sense of emergency human trafficking oleh dinas dan pihak terkait baik di Provinsi NTT maupun 22 kabupaten/kota se-NTT,” ujar Gabriel.
Salah satu langkah cepat yang wajib dilakukan oleh Penjabat Gubernur NTT menurut dia, adalah segera mengangkat staf khusus bidang pencegahan human trafficking dan migrasi aman.
Staf khusus tersebut nantinya akan bertugas; pertama, melakukan kolaborasi pentahelix atasi human trafficking melalui program Gerakan Masyarakat Anti-Human Trafficking dan Migrasi Aman (Gema Hati Mia) mulai dari desa-desa di NTT.
Kedua, mengawal khusus terbentuknya gugus tugas pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang dan migrasi aman untuk pemerintah provinsi dan 22 kabupaten/kota di NTT.
Ketiga, mengawal dan melobi khusus peningkatan BLK profesional dan terbentuknya layanan terpadu satu atap pekerja migran Indonesia di kabupaten kantong migrasi ilegal rentan human trafficking.
Keempat, mengawal khusus penegakan hukum TPPO oleh aparat penegak hukum (APH), berkolaborasi dengan lembaga negara terkait untuk tidak hanya menghukum pelaku (perekrut lapangan), tetapi juga membongkar dan membuat efek jera bagi aktor intelektual TPPO beserta jaringan mafianya.
Kelima, melobi kementerian, lembaga negara dan lembaga swasta untuk menyiapkan rumah aman bukan penampungan umum bagi korban TPPO yang memenuhi standar nasional dan internasional.