Oleh: Gregorius Duli Langobelen
Belum selesai dengan hiruk pikuk penyelenggaraan pemilu yang disinyalir penuh dengan kecurangan, masyarakat NTT kembali dihebohkan dengan drama pengunduran diri Ratu Wulla, calon wakil rakyat Parta NasDem, dari pencalegan.
Ada banyak spekulasi terkait pengunduran diri politisi perempuan asal Pulau Sumba ini. Dan itu telah menjadi konsumsi publik beberapa waktu belakangan. Ada apa? Kenapa dia mengundurkan diri?
Melalui tulisan sederhana ini, penulis berusaha melihat bagaimana fenomena pengunduran diri Ratu Wulla akan membentuk dan mencerminkan wajah politik kita hari ini yang sedang terjadi, sekaligus memproyeksikan wajah politik di masa depan.
*
Menukil data KPU, Ratu Ngadu Bonu Wulla, demikian nama lengkap dari Ratu Wulla, berhasil meraup 76.331 suara dalam pemilu legislatif 14 Februari 2024 kali lalu.
Perolehan suaranya menjadi yang tertinggi dari Partai NasDem di daerah pemilihan NTT 2. Disusul Viktor Bungtilu Laiskodat yang mengantongi 65.359 suara, kemudian di urutan ketiga ada Y. Jacki Uly dengan perolehan 10.885 suara, dan seterusnya.
Bila mengacu pada data KPU, Ratu Wulla dipastikan melenggang ke Senayan sebagai wakil rakyat terpilih periode 2024-2029 dari Partai NasDem.
Kenyataan ini berubah sekejap saat saksi Partai NasDem ‘buka suara’ dalam rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara tingkat nasional Pemilu 2024. Dalam video yang beredar, saksi itu menyampaikan bahwa Ratu Wulla mengundurkan diri dari pencalegan.
Hal itu membuat publik NTT bertanya-tanya: kenapa Ratu Wulla mengundurkan diri? Padahal secara elektoral, ia meraup suara tertinggi dibandingkan dengan suara dari calon-calon lain Partai NasDem di daerah pemilihan NTT 2.
Penulis menemukan alasan sementara terkait pengunduran diri itu. Ratu Wula mundur karena ada “penugasan lain” dari partai NasDem. Dalam situasi demikian, Ratu Wulla memilih lebih taat kepada partai.
“Penugasan lain” bisa dibaca sebagai penugasan sesuai garis komando partai, maka secara logis, Surya Paloh, sang ketua partai NasDem, yang jumlahnya hanya seorang telah ditempatkan sekian level lebih tinggi secara hirarkial, dibandingkan dengan puluhan ribu suara rakyat.
Dengan begitu, jargon Vox Populi bukan lagi Vox Dei, karena ada Vox Surya, yaitu suara ‘matahari’ yang tunggal, tapi juga membakar dan menghanguskan.
Menghanguskan harapan rakyat yang dipercayakan pada pundak Ratu Wulla, dalam hal ini orang-orang Sumba yang merupakan basis utama pendukungnya. Tak ada salahnya kita mencurigai maksud lain di balik situasi ini.
Dalam dunia filsafat, termasuk dalam filsafat politik, curiga adalah awal dari pengetahuan. Oleh karena itu, patut dipertanyakan bahwa substansi penugasan macam mana yang dimaksud?
Seandainya secara elektoral, bukan Viktor Laiskodat, melainkan Jacki Uly yang menempati posisi kedua, apakah penugasan yang sama masih tetap diberikan kepada Ratu Wulla? Bagaimana nasib masyarakat yang telah mempercayakan harapannya pada Ratu Wulla? Jangan-jangan ada alasan lain yang sekali-kali dapat berubah, tergantung keputusan elite partai?
Pertanyaan-pertanyaan ini dapat melahirkan dua kesan.
Pertama, suara dan wajah masyarakat yang diwakili dalam persona politik Ratu Wulla adalah suara dan wajah korban kekerasan elite partai, yaitu kekerasan yang sifatnya laten, tapi tidak disadari, juga tidak dirasakan, yang dalam bahasanya Pierre Bourdieu, seorang filsuf Prancis, disebut sebagai kekerasan simbolik.
Kedua, masyarakat mungkin tengah diperhadapkan dengan skema persona politik Ratu Wulla. Apakah ia sebenarnya tak berdaya atau turut memperdaya suara rakyat demi pertimbangan kalkulatif dan pragmatis? Apakah ia disandera atau bersandiwara untuk meraih peluang baru di balik penugasan partai?
Menguntungkan Viktor Laiskodat?
Pengunduran Ratu Wulla terus memantik diskusi yang penuh tanda tanya. Bahkan dari banyak diskusi di media sosial, ada yang mencurigainya sebagai hasil konspirasi. Klaim tersebut selalu mungkin terjadi, sebab perspektif publik memang tak bisa dikontrol.
Kecurigaan lain yang perlu diungkapkan adalah apa sih strategi politik Surya Paloh, sehingga bukan Viktor Laiskodat yang mendapat penugasan lain dari partai? Bukankah dengan begitu rakyat yang memilih Ratu Wulla tidak bertepuk sebelah tangan? Atau, apakah ini bagian dari akal-akalan untuk menguntungkan Viktor Laiskodat?
Kecurigaan dari publik terhadap status dan posisi tawar Viktor Laiskodat kian menguat. Situasi yang dinilai menguntungkan Viktor ini seakan-akan mengafirmasi dirinya sebagai “anak emas” yang diselundupkan dari hasil pergaulan bebas antara kekuatan pemilik modal dan kekuasaan pemilik partai. Kelompok pertama memiliki fondasi ekonomi yang kuat, sedangkan kelompok kedua membekali dukungan politik yang besar.
Logika Transaksional Partai Politik
Pengunduran diri Ratu Wulla memberi kesan kepada publik bahwa politik transaksional sudah mendarah-daging dalam kancah politik kita sekarang, secara khusus dalam tubuh partai politik.
Partai politik yang seharusnya menentukan fondasi, arah, sekaligus bobot gerakan yang memungkinkan langkah-langkah etis para kadernya, malah menjadi ruang gelap untuk berdagang kepentingan sesaat.
Persoalan ini sesungguhnya sudah didiagnosis dan penyakitnya adalah partai politik tidak (lagi) memiliki identitas ideologis yang jelas.
Apa yang ditunjukkan oleh kubu Partai NasDem hari-hari ini, semakin mengafirmasi tesis dari Daniel Dhakidae dalam salah satu sesi kuliahnya bahwa semua partai di Indonesia tidak memiliki landasan ideologis yang jelas.
Dari ketiadaan ideologi itulah kemudian bisa ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya logika yang bekerja dalam partai-partai politik – termasuk dalam Partai NasDem yang memberikan penugasan lain untuk Ratu Wulla – adalah logika pragmatis yang di antaranya berbasis pada asas kepentingan, transaksional, pemanfaatan, pengkhianatan, dan lainnya.
Maka, dengan tetap menghormati suara rakyat, tak perlu lagi ada keheranan apalagi keterkejutan, apabila NasDem, juga partai-partai politik lain, akhirnya kehilangan konsistensi etis. Di sana integritas bisa dinegosiasi, sebab selalu ada permainan dan akal-akalan di tiap level yang berbeda, dari nasional, regional, hingga lokal, bergantung dari konteks logika pragmatis masing-masing.
*
Dari uraian di atas, akhirnya kita sadar bahwa politik memang selalu berwajah ganda. Kadang memberi kejutan untuk masa depan yang lebih baik, kadang mencegat kita dengan bahaya dari masa lampau.
Dan bahwa barisan kursi di Senayan tidak hanya empuk untuk diduduki oleh wakil rakyat, tetapi juga sedemikian rapuh untuk menopang kejujuran apalagi harapan ideal masyarakat demokratis.
*Pemerhati Sosial & Politik, Dosen Filsafat dan Etika di Unika Atma Jaya Jakarta