Puasa dan Kampanye Pangan Lokal

Oleh: Antonius Rian

Secara umum sudah kita pahami bahwa puasa adalah suatu bentuk membatasi diri dari kesenangan atau kenikmatan ragawi. Puasa bukan saja sebagai bagian dari perintah agama – Islam dan Kristen misalnya – melainkan sudah menjadi tradisi budaya lokal yang diwariskan oleh nenek moyang kita.

Sebagai contoh pendukung, misalnya ada ritual ka weru dan ga kvar di Kedang dan Atadei, Lembata, NTT. Tentu masih banyak lagi di daerah lainnya.

Dalam tradisi budaya lokal ini, ada orang-orang tertentu diberi tugas untuk menahan diri mengonsumsi jagung muda hingga saatnya nanti diresmikan melalui ritual adat.

Selanjutnya, puasa dalam kaitan dengan hidup keagamaan. Saat ini, umat muslim sedang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dan orang Kristen juga sedang dalam masa pra paskah-masa puasa.

Puasa tidak sekadar dipahami sebagai perjuangan untuk membatasi diri mengonsumsi energi ragawi tetapi juga secara spiritual tentu untuk meningkatkan relasi kita dengan Wujud Tertinggi yang diimani, mengekang diri dari kecenderungan negatif dan meningkatkan amal.

Itu kira-kira, makna umum yang dipahami dari kata puasa versi agama, baik Islam maupun Kristen.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sesungguhnya puasa adalah bagian dari hidup manusia; ia bukan baru ada ketika ada agama samawi di Nusantara. Artinya, puasa adalah budaya kita, puasa adalah sistem yang sudah ada dan ditaati oleh orang yang ditugaskan. Puasa adalah sebuah penegasan agar manusia bisa membatasi diri dari kenikmatan-kenikmatan dan arogansi.

Konsumsi Pangan Lokal

Puasa versi budaya lokal – ka weru dan ga kvar – sudah jelas menegaskan pertautan antara manusia dengan pangan lokal yakni jagung. Orang-orang yang berpuasa – puting weru dalam bahasa Kedang, Lembata – merupakan yang terpilih untuk menjalankan tugasnya sebagaimana tradisi yang diturunkan oleh leluhur.

Artinya, manusia dan pangan lokal tak boleh saling menegasikan. Sebab tanpa pangan lokal jagung, ritual ka weru atau ga kvar akan mati.

Pangan lokal yang dimaksudkan adalah jagung warisan leluhur bukan hibrida. Jika ritual mati, puasa akan punah, kita akan kehilangan pengetahuan lokal yang kaya raya.

Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI, sedang gencar-gencarnya membangkitkan kesadaran kita tentang pentingnya menjaga budaya pangan lokal. Dapat saya beri contoh yakni kegiatan Sekolah Lapang Kearifan Lokal (SLKL) dengan salah satu fokus strategisnya yakni mengembalikan pangan lokal ke meja makan.

Hal ini tentu didukung pula oleh landasan hukum Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017. Kerinduan yang barangkali akan segera terjawab sesuai janji dalam debat Capres 2024/2029 yakni terbentuknya Kementerian Kebudayaan. Ini menjadi sebuah kerinduan dari semua mereka yang bergiat di bidang kebudayaan.

Sebelum sampai ke sana, kita tentu mesti memberi bukti kesetiaan kita untuk menjaga budaya lokal di daerah kita masing-masing. Salah satu momen berharga yang mesti kita isi untuk memajukan budaya yakni melalui puasa, baik umat muslim maupun Kristen.

Pada bulan Ramdahan dan Pra Paskah ini, kesadaran kita mesti mengarah kepada kampanye pangan lokal. Kita tak sekadar mempromosikan makanan-makanan instan yang didominasi oleh gula atau setia menanti bantuan beras dari pemerintah, tetapi yang paling penting adalah kembali pada jati diri kebudayaan kita.

Kebudayaan pangan lokal adalah sebuah potensi lokal yang dalam iman dipahami sebagai anugerah dari Tuhan. Alam yang kaya raya menjadi lahan subur bagi kita untuk mengembangkan pangan lokal pemberian Tuhan.

Oleh karena itu, redaksi puasa mesti kita ubah! Puasa makanan instan dan beras raskin lalu kembali kepada pangan lokal yang diberikan Tuhan. Kesadaran ini mesti dimulai dari meja makan keluarga inti, seterusnya tak boleh tidak, ia mesti masuk ke gereja dan masjid.

Para pemuka agama mesti juga memiliki keprihatinan yang sama tentang potensi punahnya pangan lokal di daerah-daerah. Harga beras yang sedang melangit tak boleh menjadi masalah yang melahirkan stres dan traumatis ibu dapur. Sebab, di sekeliling kita tersedia aneka pangan lokal yang sehat dan bebas dari bahan kimia.

Selain pemuka agama, Pemerintah Daerah juga mesti mempunyai keprihatinan yang sama. Dinas yang menangani ketahanan pangan mesti sudah saatnya melirik potensi lokal tanpa perlu lagi mengemis ke pusat untuk mendatangkan beras sebanyak-banyaknya.

Pemerintah tak boleh lumpuh dalam berpikir dan bergerak. Silakan bekerja sama dengan pegiat budaya atau Pandu Budaya yang memiliki passion di bidang budaya.

Tentu masalah kronis yang perlu dilenyapkan yakni rasa inferioritas kita terhadap pangan lokal. Rasa negatif ini mesti perlahan-lahan diubah.

Pemerintah sebagai perumus kebijakan mesti punya wawasan valid terkait masalah yang diwariskan oleh kekuasaan masa lalu ini. Beras dilihat sebagai makanan kelas atas dan pangan lokal sebagai makanan orang miskin, kotor dan seterusnya.

Padahal jika diuji, justru sebaliknya, pangan lokal memberi banyak keuntungan, mulai dari akses gratis sampai pada kualitas kesehatannya.

Ahmad Arif (2023) mencatat, dalam sejarahnya, beras telah menjadi ukuran kemakmuran di Jawa dan Jawanisasi ini seterusnya mendorong pemerintah untuk menjadikannya kebijakan Nasional. Mulai dari Soekarno pada periode 1952-1956 melalui swasembada beras.

Seterusnya pada 1956-1964 swasembada beras dijalankan melalui program Sentra Padi yang dikelola oleh YBP2. Namun demikian, krisis pangan terus bertambah, impor beras jalan terus.

Krisis beras tak teratasi, pangan lokal dibiarkan menjadi makanan untuk ternak. Sebuah paradoks yang layak ditertawakan. Mari berpuasa pada makanan instan dan kembali pada pangan lokal yang dianugerahkan Tuhan secara cuma-cuma kepada kita.


*Alumnus IFTK Ledalero dan Ketua Pandu Budaya Lembata, NTT

spot_img
TERKINI
BACA JUGA