Oleh: Dominggus Elcid Li
Salah satu hal kontras dalam Pemilu 2024 adalah kala semua mata mencermati persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta yang menampilkan para ahli, pengacara, dan hakim MK dari tiga pasang calon presiden, di daerah hampir tidak terdengar kritik tentang kegiatan jual beli suara di level legislatif di daerah, maupun kombinasi jual beli suara pemilihan legislatif di berbagai tingkatan dan pemilihan presiden.
Sidang-sidang MK telah menjadi sidang yang asing. Sidang MK telah dibuat menjadi sesuatu yang sangat elitis. Sedangkan jual beli suara dari pusat hingga ke daerah yang melibatkan semua pihak, tidak tersentuh sistem pengawasan Pemilu kali ini.
Sistem Pemilu yang dibangun di ‘era reformasi’ dalam dua dekade telah porak-poranda di tahun 2024.
Kata-kata tentang penegakan hukum (rule of law), telah menjadi sesuatu yang jauh dari kenyataan. Arogansi kekuasaan begitu pekat.
Kekuasaan dalam sekian lapisannya bergerak dari lapis struktural, hingga tingkat personal. Mulai dari skema struktur kuasa organisasi berbagai lembaga, hingga manipulasi di ruang privat.
Untuk yang terdidik dan mampu cukup dihajar dengan perang digital. Sedangkan untuk lapis bawah bagi-bagi uang dan barang sudah menjadi standar kerja. Jika ada yang melawan intimidasi dengan sekian alasan cukup efektif.
Semua pihak diam seolah Pemilu di tingkat legislatif berlangsung wajar-wajar saja. Di berbagai jurnal politik, para ahli berkomentar kualitas demokrasi Indonesia menurun alias ‘terjun bebas’.
Bahkan mereka yang bertugas memenangkan Pemilu di partai-partai politik pun sepakat jika Pemilu 2024 adalah pemilu yang paling brutal.
Bahkan rohaniwan yang berkotbah di gedung-gedung ibadat pun jika membicarakan tentang kelakuan umat semasa Pemilu pada umumnya membahas kegiatan ‘menerima uang tunai’ pada saat Pemilu, tak ubah seperti memperoleh ‘uang kaget’.
“Ya, kapan lagi ada orang datang kasi mereka doi (duit),” kata sebagian orang.
Sebagian lagi berkotbah lewat mimbar, “Ya, segera lah bertobat, bagi mereka yang ikut bagi-bagi dan terima uang.”
Lantas umat pun tertawa. Mungkin hal jual beli suara, sudah terlampau dianggap biasa, dianggap lumrah, dan menjadi kebiasaan baru.
Sehingga mereka yang mengkritik dan idealis pun dianggap sekadar kotbah humor. Bilik suara tidak lagi dianggap sakral. Suara pemilih, bukan lagi dianggap suara hati, dan telah berubah menjadi komoditas lima tahunan.
Bukankah ini cuma urusan cari kerja, yang mana sogok menyogok sudah menjadi hal biasa tanpa terkecuali?
Namun analisis ini pun terlampau biasa, sebab mana mungkin orang-orang yang cerdas membaca ayat, dan refleksinya kuat pun tak bisa membuka selubung. Bukankah mereka adalah orang-orang yang paling banyak beredar bertemu segenap lapisan masyarakat dan para elite?
Bukankah mereka dianggap mempunyai seribu mata dan seribu telinga? Apakah mereka juga sudah menjadi membran autopoiesis para politikus yang mengungkapkan praktik brutal, sebab para politikus partai kerap bercerita bahwa di dalam sistem politik yang ada saat ini, tak ada jalan keluar untuk menyatakan ‘suara hati’, sebab kompromi untuk taat dan tunduk sudah dimulai sejak pendaftaran anggota partai?
Satuan dalam berbicara bukan lagi suara hati, kebenaran, tetapi kekuasaan. Selama aksi yang dilakukan demi mencapai kekuasaan, atau memperkuat posisi partai politik, atau faksi politik kelompok maka segala hal sah dianggap perlu dilakukan dan perlu.
Mulai dari bagi-bagi sembako, uang, penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan cyber troops, mesin-mesin amplifikasi (boots), hingga intimidasi fisik dengan cara apa pun.
Kegiatan operasi lapangan saat Pemilu terbuka lebar, baik oleh mereka yang berseragam, maupun yang tidak berseragam. Tim lapangan yang bekerja pada saat Pemilu adalah mereka yang mampu menaklukkan para pemilih dengan cara apa saja. Semua cara dianggap halal, selama mendapatkan suara, dan target angka kemenangan tidak meleset.
Budaya Diam di Era Digital
Dialog kritis dan partisipatoris yang pernah menjadi antitesis dari budaya diam yang dipraktikkan di era sebelumnya kini sedang kembali.
Bedanya semua orang bebas berbicara lewat media sosial, namun apa yang disebut sebagai kebenaran hampir tidak tersentuh.
Ruang digital cenderung menggantikan dan mampu memanipulasi. Kekuasaan yang mendiamkan sedang kembali dalam beragam rupa.
Formasi kekuasaan yang mendiamkan terjadi kolektif, terbukti kita bisa mendiamkan dengan resep tertentu untuk masing-masing komunitas, tujuan, dan masing-masing ruang. Di partai politik, seruan ‘tegak lurus’ artinya ente tidak boleh ngomong sembarangan jika tidak setuju.
Di faksi agama, untuk berkuasa menghalakan segala cara dianggap sebagai siasat untuk berkuasa, termasuk menghitamkan semua yang lain pun diterima dan dijalankan.
Di seberang tangsi, puluhan ribu spanduk yang menyatakan elemen-elemen koersif negara itu netral, tidak bisa mendiamkan temuan tentang operasi senyap.
Penutup
Tulisan ini tidak sedang membicarakan soal 01, 02, atau 03. Tidak penting soal menang atau kalah. Sebab ukuran kita adalah republik ini masih bisa dipertahankan atau tidak.
Jika seluruh nalar baik mampu dimanipulasi, lantas lewat apa ruang sakral republik masih bisa dipertahankan? Jika seluruh wakil rakyat yang duduk terindikasi melakukan manipulasi dengan variannya masing-masing dalam konteks ruang yang juga beragam, apakah mungkin suara rakyat itu masih ada?
Lantas, mereka yang keras kepala berujar, “Tidak usah protes macam-macam, kondisinya memang seperti ini, untuk berkuasa semua harus main, omongan para ahli itu ada di langit, di lapangan nalar semacam itu tidak ada, Bos!”
Untuk hal ini Drijarkara sebagai tukang pikir mungkin patut didengar. Kutipannya sering dipakai, dan jika diadaptasikan dalam konteks ini menjadi, “Bermain-main lah untuk kekuasaan, tapi jangan mau dipermainkan kekuasaan, barang siapa mempermainkan permainan, akan menjadi permainan permainan, barang siapa mempermainkan kekuasaan, akan menjadi permainan kekuasaan.”
Jika hari-hari ini seluruh elite negeri tampak necis saat lebaran, persidangan, dan jumpa pers, tapi tidak bisa membuang wajah bingung, bukan kah kita sedang menjadi permainan dari permainan yang kita yang sedang kita mainkan?
Tiba-tiba kura-kura digitalis itu ada di dalam mulut kita. Entah kura-kura, entah perahu, semua tidak tahu.
Masalahnya, mengelola republik tidak mungkin dilakukan dalam kondisi ketidaktahuan dalam ruang dan waktu yang bergerak.
Pengetahuan dasar agar tidak dipermainkan oleh permainan tidak mungkin ditemukan dalam mentalitas ego drama: semua bisa dimainkan, semua bisa dimanipulasi.
Sebaliknya ruang sakral dalam republik tetap diperlukan. Mempermainkan Mahkamah Konstitusi (MK), dan ketidakmampuan kita semua menjaga konstitusi republik dalam praktik berepublik, lewat Pemilu, merupakan awal dari pupusnya republik.
Sebab, secara mendasar, republik senyatanya adalah kita yang berdiri di garis etik. Ketika noktah-noktah etik itu pupus, maka republik pun sedang menghilang.
*Sosiolog, Peneliti di IRGSC (Insitute of Resource Governance and Social Change)