Oleh: Ardy Milik*
Kita bukannya memilih pemimpin yang baru, malah sibuk melahirkan pilu bagi manusia yang lain. Kebaruan yang ditawarkan dalam politik elektoral hanya jargon basi dari rentetan kekalahan rakyat di kelas bawah tahun ganti tahun.
Siapakah yang menang dalam perhelatan politik elektoral lima tahunan? Rakyat yang namanya diteriakkan dalam kampanye dengan biaya jutaan? Atau segerombolan penguasa dan pengusaha tamak dengan didukung oleh beberapa aktivis yang merasionalisasi pilihan politiknya?
Pada level pertarungan presiden nomor satu sampai tiga, mereka cenderung memberi tawaran “programatik” atas ketimpangan dengan cara bantuan praktis. Bukannya tidak dibutuhkan, malah mencipta ketergantungan.
Seolah-olah tanpa bantuan langsung rakyat tak dapat hidup hari ke hari. Malah, akar dari ketimpangan: pendidikan rendah, gizi buruk, korupsi, degradasi lingkungan hidup tidak jadi diskursus yang mewujud program radikal. Dibiarkan tak tersentuh agar dapat ‘digarap’ waktu ke waktu menjelang hajatan pemilihan dan selama masa berkuasa lima tahunan.
Pertarungan Politik Nir-Faedah
Pada level elite kepedulian sebagai kata kunci dalam mengurai persoalan ketimpangan cenderung baku pada teks hukum atau nomenklatur program.
Di luar teks, pengambil kebijakan akan gagap membuat diskresi. Entah tak punya imajinasi atau paranoid terjerat kasus korupsi atau memang tak peduli sama sekali.
Arena tarung elektoral riuh dengan perang tagar dan gimik. Medsos bukan alat pendidikan politik. Malah jadi medium pembohongan publik. Dipoles oleh kreator konten, disebarluaskan lintas ruang dan waktu oleh Buser.
Rakyat yang sehari-hari pusing kepala dengan pikiran mau makan apa, dengan mudah ditipu tayangan di media sosial. Glorifikasi pada tokoh politik pengisap darah berbuah tarung caption dan tagar pada media sosial arus utama. Bahkan, perkelahian fisik terjadi antar simpatisan garis keras. Lalu, rakyat dapat apa sesudah berkelahi membela yang bayar?
Memang ruang privat keluarga diisi dengan percakapan politik yang menandakan melek dalam mengunyah realitas sosial. Realitas permukaan pada faktanya menjadikan rakyat sebagai komoditi.
Tanpa sadar, hak-hak dasariah: air, pendidikan, tanah, kesehatan yang harusnya didapat gratis setelah kewajibannya sebagai pembayar pajak dipenuhi, tidak pernah terurai. Rakyat malah menerima segala ketimpangan penerimaan hak sebagai buntut dari takdir kehidupannya.
Jauh hari Jean Baudrillard telah mengingatkan dalam bukunya berjudul ‘Simulacra and Simulation’ (1983). Bahwasanya kenyataan sebenarnya bukan kenyataan yang di depan mata. Kita hanya sekadar mencerap hiper-realitas yang telah dimodifikasi oleh elite agar kita cukup mencerap apa yang ingin dilihatnya.
Kenyataan sebenarnya tentang ketimpangan dimanipulasi melalui simbol-simbol yang menyenangkan atau mewakili keluhan orang banyak. Tiba-tiba masuk ke sawah atau tiba-tiba blusukan ke kampung kumuh bukan berarti peduli pada kondisi kemelaratan.
Gesture yang menandakan seolah-olah peduli, aslinya lihat saja kebijakan mana yang menurunkan harga alat dan bahan produksi pertanian, lahan tani dikonversi jadi perumahan elite dan kampung-kampung kumuh digusur atas nama pembangunan kota pintar (smart city).
Tak dapat dipungkiri, masa pemilu menciptakan lapangan pekerjaan bagi operator politik lapangan. Dalam ranah politik legislatif, perputaran modal berlangsung pesat. Modus operandi-nya beragam. Mulai dari menggalang kelompok relawan, menjual isu anak muda, perempuan, anak dan petani, sampai bergerak langsung dari rumah ke rumah.
Membayar harga per kepala dengan kisaran 50.000 sampai paling tinggi 1.000.000 rupiah. Siapakah yang masih bertahan nuraninya dan menolak politik uang?
Apa kita berani bersuara setelah “mulut disumbat nurani dibutakan” oleh segepok tunai. Sebagian orang memutuskan untuk tidak memilih yang bayar.
Mereka punya pilihan calonnya sendiri dengan dasar putusan ikatan kekeluargaan, pertemanan dan simpati pada perjuangan politik kandidat. Sebagian tetap pada pilihan hatinya, memutuskan untuk memilih yang masih mengedepankan amanah rakyat di dalam perjuangan politiknya.
Sekelompok kecil, politisi yang bertarung tanpa modal finansial memadai cenderung kalah tarung dari pemodal besar. Kelompok politisi yang mengandalkan modal sosial ini, akhirnya terjebak dalam arena tarung modal.
Konstituen yang mudah goyah bisa saja menyurutkan tekad. Apalagi ada godaan untuk menggunakan pilihan politik uang, namun apakah kelompok kecil ini punya basis modal kapital yang cukup dibanding dengan jumlah suara yang harus didapatkan dan luasnya areal daerah pemilihan. Untuk bersafari politik dari satu wilayah ke wilayah lainnya saja sudah ngos-ngosan.
Keyakinan untuk melanjutkan cita-cita mulia kesejahteraan rakyat bisa saja tunduk pada kuasa modal. Salah satu pilihannya adalah dengan menggunakan media sosial sebagai basis penggalangan masa dan peningkatan elektabilitas.
Hanya saja, rakyat masih membutuhkan perjumpaan wajah. Kehadiran yang mampu untuk membuka relung hati yang terlanjur menjatuhkan pilihan politik tanpa mengenal latar belakang calon legislatifnya.
Tidak banyak politisi yang memilih jalan sukar seperti, menjual nilai aktivisme dan maju secara independen. Bahkan, ada yang tanpa dukungan memadai dari infrastruktur partai, hingga dianggap sebagai pelengkap penderita untuk memenuhi kualifikasi partai dalam perhelatan legislatif. Kelompok ini punya peluang menang yang kecil.
Hanya beberapa di antaranya yang mampu memenangkan pertarungan. Meski secara jumlah minim, kemenangan kecil politisi lingkar luar elite seharusnya dirayakan.
Dengan demikian, harapan bahwa ruang demokrasi parlementer sebagaimana filosofinya adalah ranah pengejawantahan nilai-nilai kerakyatan yang dipimpin dengan arif agar mewujud pada kesejahteraan sosial bagi segenap rakyat Indonesia. Cita-cita berdirinya negara Indonesia Raya tidak hidup di awang-awang. Keberadaannya menyata pada kesediaan menanggalkan kemewahan politisi untuk turun merasai dan mengakrabi deritanya kaum marhaen.
Menelisik Ketimpangan di Pinggiran
Dalam konteks mikro, tahun pemilu bagi rakyat Indonesia sekaligus tahun paceklik bagi warga di Nusa Tenggara Timur. Curah hujan rendah. Sebagian wilayah bahkan baru diterpa hujan dengan intensitas tinggi pada akhir Januari. Masa tanam jagung yang harusnya dimulai pada bulan Oktober, malah terpaksa pindah ke Februari atau Maret akibat curah hujan yang hanya 50-100 mililiter per wilayah. Musim tanam berganti masa rajam. Sementara, para politisi sibuk mengumbar janji, bermain mata antar koalisi demi memuluskan hasrat berkuasa.
Kondisi objektif yang memuluskan penggelontoran berbagai skema bantuan diterima sebagai berkat, disyukuri sebagai keberpihakan. Padahal, sejatinya negara bertugas ‘memberi makan dan minum’ rakyatnya terutama pada masa sengsara. Kenyang sementara dapat membutakan penalaran akal.
Konsekuensi logisnya, siapa yang memberi banyak, ia yang akan dipilih. Bukannya bantuan itu adalah hasil dari pengelolaan negara pada penerimaan pajak rakyat? Mengapa pemahaman ini tidak sampai pada kelas rakyat marginal?
Nusa Cendana yang permai semasa jayanya, kini hidup dalam stigma yang meski terus ditolak oleh sebagian kalangan masyarakat sipil, tapi apa lacur berhadapan dengan pengkategorian statistik.
Ditambah dengan indikator pukul rata dari Ibu Kota yang jelas tidak kontekstual dengan situasi aktual per wilayah, maka makin langgeng ketimpangan yang terus direproduksi setiap tahunnya. Pencatatan angka-angka pada galibnya memudahkan untuk mengidentifikasi soal secara kuantitatif. Akan tetapi, cenderung mereduksi kemampuan alami manusianya untuk bertahan hidup pada alam yang telah menyediakan keragaman pangan dan sandang untuk tetap melanjutkan keturunan dari generasi ke generasi.
Buktinya, berbagai etnis di Nusa Cendana dengan sistem pengetahuan lokalnya mampu untuk bertahan hingga generasi sekarang setelah melalui masa tribal, klan, kerajaan atau pra negara modern dan negara modern kini. Generasi ini, bahkan mempunyai sistem mitigasinya sendiri untuk mengurai persoalan antara sesama manusia atau berhadapan dengan bencana yang sekelebat melanda.
Jadi, konstelasi politik elektoral lima tahunan bukan saja menghadiahkan jalan dan jembatan, tetapi juga Proyek Strategis Nasional yang menuai penolakan rakyat di wilayah proyek, karena tidak menjadi prioritas dalam hidupnya.
Kebutuhan rakyat adalah meningkatnya kapasitas manusianya sehingga taraf hidupnya bisa diperbaiki. Pembangunan suprastruktur justru mencipta rakyat yang mampu mencerna sekian persoalan yang mendera kesehariannya.
Bila negara berkehendak baik mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia, maka arena tarung politis lima tahunan akan jauh dari praktik kotor, dan akan menghasilkan pemimpin yang memiliki moral dan etika politis.
Demikian tugas negara sebagaimana amanat pendirinya. Jangan sampai penerusnya hanya mengobral negara dan kekayaannya tanpa mengembalikan hasil ‘jualan’ pada pemilik asali negara, yakni rakyat.
*Peneliti di Insitute of Resource Governance and Social Change (IRGSC)