Walhi Sebut Kelompok Perempuan Paling Rentan dalam Geliat Proyek Skala Besar di NTT

Gres menegaskan, masifnya peningkatan investasi dari proyek pembangunan berskala besar ini berbading terbalik dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) di NTT pada tahun 2021 yang menunjukkan 20 persen masyarakat NTT mengalami kemiskinan ekstrem.

Maumere, Ekorantt.com Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT menyatakan, dalam 10 tahun terakhir advokasinya kelompok perempuan paling rentan di balik geliat proyek berskala besar di Provinsi NTT.

Staf Advokasi, Kampanye dan Pengorganisasian Rakyat Walhi NTT Gres Gracelia mengaku, kerentanan tersebut bisa dilihat dari betapa maraknya konflik perampasan atas lahan yang dilakukan oleh negara melalui proyek-proyek investasi dengan skema penguasaan lahan, baik hutan maupun lahan pertanian, daerah pesisir dan juga perumahan penduduk.

“Hal ini tentu berdampak pada penghilangan wilayah kelola rakyat masyarakat adat terutama kelompok perempuan,” ujar Gres dalam rilis yang diterima Ekora NTT, Sabtu, 1 Juni 2024.

Perempuan menurut dia, rentan mengalami kekerasan baik fisik, psikis, moral maupun seksual ketika mengadvokasi dirinya dalam perlawanan dan upaya menjaga lahan dan ruang hidup yang dimiliki.

iklan

Gres menegaskan, masifnya peningkatan investasi dari proyek pembangunan berskala besar ini berbading terbalik dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) di NTT pada tahun 2021 yang menunjukkan 20 persen masyarakat NTT mengalami kemiskinan ekstrem.

Hal ini membuktikan pertumbuhan investasi tidak menjadi solusi mengatasi kemiskinan di NTT, justru menambah jumlah ketimpangan bagi masyarakat dan kelompok rentan.

‘Bahaya’ Proyek Strategis Nasional

Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup 2024, Walhi NTT melakukan pertemuan bersama Komnas Perempuan guna memberi sejumlah rekomendasi atas kasus lingkungan hidup.

Kasus tersebut diakibatkan oleh masifnya pembangunan berskala besar di NTT yang berdampak langsung pada ruang akses dan kontrol perempuan.

Pertemuan ini berlangsung di ruang persahabatan Jl. Latuharhary No.4B 1, RT.1/RW.4, Menteng, Kecamatan Menteng, Kota Jakarta Pusat pada Jumat, 31 Mei 2024.

Dalam pertemuan ini, Gres menyoroti Proyek Strategis Nasional (PSN) yang saat ini masuk ke NTT, khususnya dalam proyek pembangunan Energi Baru Terbarukan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)  atau yang biasa disebut dengan geothermal dan juga pengembangan bendungan untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Dalam konteks pembangunan bendungan, misalnya, perempuan adat di Lambo Kabupaten Nagekeo menyampaikan secara langsung persoalan yang dihadapi oleh kelompok perempuan adat pasca-beroperasinya bendungan sejak tahun 2021.

Di antaranya; perempuan dan masyarakat adat di Lambo kehilangan akses terhadap lahan pertanian mereka akibat tergusurnya lahan untuk pembangunan bendungan.

“Tentu dalam hal ini mereka juga kehilangan asas keberlanjutan mereka untuk generasi yang akan datang sebab lahan untuk memproduksikan pangan telah hilang seiring masuknya bendungan,” terang Gres.

Selain akses terhadap lahan petanian yang hilang, perempuan adat di Lambo juga kehilangan akses pengetahuan lokal mereka untuk menganyam, sebab pohon lontar yang dipakai sebagai bahan dasar dalam membuat anyaman juga sudah dibabat saat proses pembangunan bendungan.

Kemudian, masyarakat peternak juga semakin sulit menjaga ternak sapi mereka karena setelah membangun bendungan, sapi-sapi masyarakat di sekitar wilayah itu harus berpindah dan lari ke gunung.

Tidak hanya berdampak pada akses perempuan, lanjut Gres, tetapi kelompok perempuan juga kerap mengalami represif dan kriminalisasi oleh aparat setempat sejak awal wacana pembangunan bendungan karena menolak pembangunan bendungan Lambo di wilayah mereka.

“Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga melalui Simon Welan yang juga bersama dengan Walhi NTT melakukan advokasi masyarakat adat di Bendungan Lambo juga menyoroti hal yang sama bahwa hingga hari ini proses intervensi terhadap masyarakat yang menolak pembangunan bendungan di Waduk Lambo masih terjadi hingga tindakan persekusi yang dilakukan oleh aparat kepada jaringan advokasi yang melakukan pendampingan,” terang Gres.

Tidak hanya di Lambo, ia juga menyoroti pembangunan bendungan yang berdampak kepada kelompok perempuan seperti bendungan yang ada di Pulau Timor yakni Bendungan Raknamo, Bendungan Rotiklot, Bendungan Manikin dan juga wacana pembangunan bendungan di Kolhua Kota Kupang.

Selain persoalan bendungan, Gres juga menjelaskan dampak pembangunan geothermal di Wae Sano Kabupaten Manggarai Barat dan pengembangan geothermal dari Ulumbu ke Poco Leok Kabupaten Manggarai yang berdampak kepada kelompok perempuan.

Titik Potensial Pembangunan Geothermal

Gres mengungkapkan, sejak Pulau Flores ditetapkan sebagai Pulau Geothermal di tahun 2017 oleh Kementrian ESDM berdasarkan Keputusan mentri No. 2268K/30/MEM/2017, setidaknya ada 28 titik potensial pembangunan geothermal yang akan dibangun di NTT.

Rinciannya; yakni 18 titik di  Pulau Flores, tiga titik di Pulau Lembata, enam titik di Pulau Alor dan satu titik di Kabupaten Kupang.

Dari 28 titik potensial ini, ada tiga titik yang saat ini menghadapi persoalan yakni, di Poco Leok, Wae Sano dan Mataloko, Kabupaten Ngada.

“Perempuan-perempuan di Poco Leok dan juga di Wae Sano berada di garda terdepan dalam proses penolakan geothermal. Hal ini didasari oleh keyakinan mereka bahwa proyek ini tidak menguntungkan mereka tetapi justru menjauhkan mereka dari ruang hidup yang saat ini mereka miliki,” ujar Gres.

Ia menambahkan, sejak awal wacana masuknya proyek geothermal ini dalam skema PSN oleh negara, justru membuat mereka kehilangan akses terhadap lahan tempat mereka bertani dan berkebun. Juga menghilangkan masyarakat dari tanah adat mereka sendiri.

Bagi masyarakat Poco Leok maupun Wae Sano filosofi asas budaya Manggarai terdiri dari Mbaru Bate Kaeng (Rumah adat atau gendang), Uma Bate Duat (Kebun atau lingko), Wae Bate Teku (Mata Air), Compang Dari (Tempat Menaruh Persembahan) dan Natas Bate Labar (Halaman).

Dan masyarakat Mangarai juga memiliki pembagian tata ruang wilayah adat antara lain: Puar (Hutan), Uma (Lingko atau kebun), Pong (Hutan sebagai penghasil mata air), Satar (Wilayah pengembalaan) dan juga Oka (Tempat pengembalaan).

Jika salah satu di antaranya dihilangkan tentu itu menggangu mereka secara pribadi. Sebab masyarakat adat di Manggarai mempercayai bahwa tanah yang mereka miliki merupakan warisan luhur dari nenek moyang.

Bagi kelompok perempuan di Poco Leok dan Wae Sano, menurut Gres, menjaga keberlanjutan hidup antara generasi adalah dengan tidak membiarkan proyek apapun itu masuk merusak lahan dan ruang hidup mereka.

Alasan penolakan oleh kelompok perempuan di Poco Leok juga karena hasil produktivitas lahan pertanian di  mengalami penurunan drastis baik dari segi kualitas maupun kuantitas selama PLTP Ulumbu beroperasi sejak tahun 2013. Hal serupa juga mereka belajar dari pembangunan geothermal yang gagal di Mataloko Kabupaten Ngada.

Di Mataloko, kata Gres, proyek pembangunan geothermal terlihat gagal yang mengakibatkan daya rusak lingkungan hidup dan lahan pertanian warga terganggu. Juga kelompok perempuan, lansia dan anak-anak mengalami sakit kulit dan gangguan pernapasan (ISPA).

Proyek geothermal yang masuk baik di Poco Leok dan maupun Wae Sano ini mengakibatkan masyarakat terutama kelompok perempuan mengalami kekerasan oleh aparat negara di setiap aksi jaga kampung yang dilakukan oleh masyarakat. Kekerasan itu berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis dan juga ada kelompok perempuan yang mengalami kekerasan seksual.

Upaya perampasan lahan dan alih fungsi kawasan ini juga kemudian mengakibatkan banyak kelompok perempuan terpaksa harus meninggalkan kampung halaman untuk menjadi pekerja migran di luar daerah hingga ke luar negeri.

“Kami juga menyoroti sejumlah proyek strategis nasional untuk pengembangan Labuan Bajo sebagai kota wisata super premium dengan masifnya pembabatan hutan yang dilakukan dan masyarakat di Pulau Komodo yang rencananya akan direlokasi dari kampung halamannya sendiri,” tambah Gres.

Komisioner Komnas Perempuan Andy Yetriyani menyatakan, pihaknya berkomitmen penuh untuk mengawal dan membangun koordinasi kepada pemerintah atas persoalan perempuan yang terjadi di NTT, terutama yang diakibatkan dari pembangunan proyek strategis nasional oleh pemerintah pusat.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA