Bicara Proyek Geotermal Jelang Pilkada, Kenapa?

Radius kehancuran alam sebagai efek negatif geotermal perlahan mulai dirasakan masyarakat Poco Leok.

Oleh: Herymanto Mau*

Pemilihan kepala daerah serentak akan berlangsung pada November 2024 mendatang, termasuk di Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur.

Beberapa figur bakal calon bupati dan wakil bupati telah memajang poster, baliho, dan bahkan melakukan sosialisasi di akar rumput. Sederet aksi, lobi politik, dan parade visi-misi telah diumbar ke publik demi menggaet massa pendukung sebanyak mungkin.

Salah satu momen yang tidak luput dari pilkada adalah antusiasme masyarakat dalam setiap sesi dan tahapan pilkada. Antusiasme itu tampak dalam keterlibatannya untuk menghadiri setiap event kampanye, berdialog dalam sosialisasi dan tatap muka, hingga melakukan pencoblosan di tempat pemungutan suara.

Masyarakat memberikan hak suara dengan harapan kesejahteraan mereka diperhatikan. Pemimpin yang terpilih nanti diharapkan berpihak pada masyarakat kebanyakan dan bukan pada kepentingan kelompok atau kroni politik.

iklan

Masyarakat Manggarai dan Manggarai Barat kini berhadapan dengan rencana proyek geotermal Poco Leok dan Wae Sano dengan tameng energi hijau (green energy).

Reaksi penolakan terhadap proyek pembangkit listrik panas bumi ini tak terbendung. Masyarakat tak mau ruang hidupnya hancur dengan kehadiran geotermal.

Penulis mencoba menarik benang merah antara keberadaan geotermal di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat dengan partisipasi masyarakat di Pilkada nanti.

Pada prinsipnya, rakyat memilih pemimpin (bupati dan wakil) dengan tujuan untuk membawa perubahan pada aspek kesejahteraan dan kelestarian ekologi.

Penulis tidak bermaksud memprovokasi atau mengarahkan masyarakat untuk taat pada pilihan calon tertentu, tetapi masyarakat Manggarai dan Manggarai Barat harus cerdas membaca peluang pemimpin yang memiliki komitmen bebas geotermal dan menaruh rasa hormat pada adat dan alam.

Kenapa Isu Geotermal?

Ada empat alasan kenapa isu geotermal harus diangkat ke permukaan menjelang pilkada di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat.

Pertama, sejak Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017, masyarakat Flores khususnya di wilayah Manggarai dan Manggarai Barat seolah berada dalam situasi koersif untuk mendukung kehadiran geotermal.

Namun secara kasat mata, rencana ini membawa petaka karena telah memecah belah masyarakat dalam kubu pro dan kontra, memecah persatuan, memorak-poranda tatanan sosial, budaya, dan ekologi.

Oleh karena itu, isu geotermal harus diselipkan dalam agenda kampanye bakal calon dan menjadi perhatian setiap elemen masyarakat yang akan memberikan hak suaranya.

Kedua, masalah geotermal kian menjadi episentrum pro dan kontra dalam masyarakat karena dampaknya sudah sangat memprihatinkan, bahkan dampak kematian di beberapa wilayah lain. Efek geotermal sudah dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, seperti di Ulumbu dan Mataloko.

Tentunya semua elemen masyarakat tidak ingin wilayahnya pada akhirnya hanya bisa dikenang dalam tulisan “Di sini pernah hidup orang Poco Leok atau di sini pernah hidup orang Wae Sano”.

Ketiga, basis elektoral pemilih di wilayah kaplingan geotermal sangat meyakinkan untuk mempengaruhi kemenangan calon tertentu.

Sebagai contoh wilayah Poco Leok terdiri dari 14 gendang (komunitas masyarakat adat) di mana mayoritas masyarakat adat 10 gendang dengan tegas menolak geotermal, dan hanya sebagian kecil yang mendukung.

Dengan demikian, basis penolakan geotermal bisa menjadi keuntungan kalkulatif bagi bakal calon tertentu.

Keempat, proyek geotermal adalah proyek fantastis karena didukung oleh anggaran yang besar. Contohnya; rencana pembangunan geotermal Wae Sano sedianya mendapat dukungan hibah dari Bank Dunia dengan dana mencapai 3,1 triliun, sedangkan proyek geotermal Poco Leok didanai Bank Jerman (KfW).

Dengan anggaran yang sangat besar, dugaan penulis beberapa struktur dalam sistem yang mendukung geotermal akan kecipratan remah-remah anggaran untuk memuluskan kontestasi.

Realita Geotermal di Manggarai

Pada 19 Juni 2017, menteri ESDM Ignasius Jonan mengesahkan Keputusan Menteri ESDM nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi dengan intensi meningkatkan kapasitas elektrifikasi bagi masyarakat Flores.

Rencana ini diperkuat dengan izin lokasi yang dikeluarkan Bupati Manggarai pada bulan Desember 2022 lalu (HK/417/2022) dan yang terbaru Bupati Manggarai mengeluarkan SK Penetapan Wallpad H, I, J, dan Access Road (Nomor 137 Tahun 2024) pada 21 Maret 2024 yang lalu tanpa sepengetahuan masyarakat Poco Leok.

Menteri Ignas sesungguhnya sedang memberikan legacy pemusnahan bagi ruang hidup masyarakat Flores khususnya yang berada di sekitar 16 titik sebaran wilayah eksplorasi dan eksploitasi geotermal yaitu Waesano, Ulumbu, Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Ndetusoko, Sokoria, Jopu, lesugolo, Oka Ile Ange, Atedai, Bukapiting, Roma-Ujelewung, dan Oyang Barang.

Adapun mimpi besarnya adalah untuk mengeliminir penggunaan bahan bakar fosil menuju energi Listrik. Namun harga yang harus dibayar adalah peminggiran dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat di Flores, khususnya yang sedang terjadi di wilayah Ulumbu dan Poco Leok.

Nafsu mewujudkan proyek geotermal di wilayah Poco Leok berbanding lurus dengan masifnya gerakan penolakan dari masyarakat adat setempat.

Pihak PT PLN telah melakukan proses identifikasi dan sertifikasi lahan masyarakat melalui tahapan yang diduga tidak partisipatif, intimidatif, serta memobilisasi aparat.

Situasi ini juga menjadi tolok ukur seberapa besar keterlibatan para pemimpin daerah dalam membubuhkan tinta hitam di atas lembaran izin lokasi yang kontra dengan nasib ribuan masyarakat adat Poco Leok.

Proses eksplorasi geotermal Poco Leok sedang dalam proses antara mendapat legitimasi atau delegitimasi dari adat, alam, dan Allah. Artinya, proses eksplorasi dan eksploitasi itu akan membawa konsekuensi ultim yakni, peminggiran masyarakat adat, penggusuran lahan, penebangan hutan, memecah keheningan alam, memorak-porandakan keteduhan suaka, mencemari mata air dengan limbah hingga memecahbelah masyarakat adat.

Berhadapan dengan realitas ini, sebagian masyarakat menyadari dan terkesan membiarkan laju perluasan geotermal karena patuh pada legitimasi otoritas, namun sebagian besar masyarakat adat Poco Leok menolak momok geotermal.

Alasan luhur masyarakat adat menolak geotermal yakni mempertahankan ruang hidup yaitu kesatuan yang utuh kampung halaman (golo lonto, mbaru kaeng, natas labar), kebun mata pencaharian (uma duat), sumber air (wae teku), pusat kehidupan adat (compang takung, mbaru adat), rumah ibadat (gereja) kuburan (lepah boak), hutan (puar).

Radius kehancuran alam sebagai efek negatif geotermal perlahan mulai dirasakan masyarakat Poco Leok. Hal ini terbersit dari reaksi sebagian besar elemen masyarakat yang menolak aktivitas geotermal dengan pertimbangan ekologis, sosial, dan budaya.

Satu konsensus yang juga menjadi hipotesis umum yakni berhadapan dengan geotermal sama halnya berhadapan dengan pemerintah dan investor. Mendukung atau menolak geotermal secara gamblang diterjemahkan sebagai mendukung atau menolak pemerintah dan investor.

Komitmen Bersama

Dalam kerangka pesta demokrasi yang akan digelar di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat, masyarakat perlu memperhatikan rekam jejak dan visi misi setiap calon kepala daerah.

Salah satunya adalah komitmen bebas geotermal dari para calon pemimpin daerah, sehingga masyarakat dapat menjatuhkan pilihan yang tepat pada posisi mana setiap calon berdiri.

Masyarakat Manggarai dan Manggarai Barat secara rasional ingin memilih berdasarkan kualifikasi keberpihakan pada opsi bebas geotermal ataupun doyan geotermal. Jika posisi seorang calon kepala daerah tidak jelas atau abu-abu berhadapan bahkan memihak dengan isu geotermal mungkin saja akan melahirkan apa yang disebut fenomena golput, apatis, yang tentunya tidak diinginkan dalam pesta demokrasi.

Isu geotermal (seharusnya) menjadi agenda utama dalam setiap momen sosialisasi maupun kampanye dari para kandidat calon kepala daerah guna menjaring hak pilih masyarakat. Masyarakat memiliki hak pilih, yang dalam dunia modern diterjemahkan sebagai hak aktif.

Hak ini menekankan adanya demokrasi dalam kehidupan bersama, dalam kehidupan politik masyarakat.

Masyarakat yang cerdas berpolitik memiliki tipikal mampu berpihak pada figur yang pro rakyat, yang peduli terhadap carut-marutnya situasi geotermal.

Selanjutnya, kewajiban asasi setiap calon kepala daerah adalah berkomitmen untuk mengikis dan meminimalisir perbenturan antara hak-hak hidup masyarakat dengan dampak destruktif yang diakibatkan oleh geotermal.

Komitmen tersebut dibangun mulai saat diadakan sosialisasi dan kampanye politik.

Dengan demikian masyarakat dapat menyerahkan hak pilih (suara) kepada figur yang berkomitmen pada kelangsungan hidup dan kebaikan bersama.

Saatnya masyarakat Manggarai dan Manggarai Barat mengenal dan menjatuhkan pilihan politis kepada para calon kepala daerah yang akan bertarung. Satu hak pilih menentukan lima tahun (masa depan) geotermal dan lima tahun kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Selamat menghidupi hari Lingkungan Hidup Sedunia.


*Staf Advokasi JPIC SVD Ruteng

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA