Oleh: Patrisius. E. K. Jenila
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) akan melaksanakan hajatan demokrasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) pada 27 November 2024. Antusiasme publik menyambut Pilgub sudah kelihatan. Di media sosial, sebagian orang sudah ramai membicarakan Pilgub NTT.
Pembicaraan yang umum dipercakapkan seputar bakal calon dan partai politik pengusung. Selain itu, di tingkat Parpol dan bakal calon, ramai mengiklankan ke publik beberapa nama yang santer dibicarakan. Iklan politik macam ini sudah umum di masyarakat demokrasi.
Nama seperti, Melki Laka Lena, Ansy Lema, Frans Aba, Orias Petrus Moedak, Emi Nomleni, Fransiscus Go, Jhony Asadoma, dan beberapa nama lain, adalah figur potensial untuk maju memimpin NTT.
Figur-figur ini dibesarkan dengan berbagai pengalaman di berbagai sektor (publik dan privat). Pengalaman kepemimpinan di berbagai sektor yang mereka tangani, merupakan modal penting untuk memimpin NTT.
Namun, sebagai pemilih dan warga yang hidupnya ditentukan oleh kebijakan politik pemerintah, Pilgub NTT perlu dilihat lebih kritis. Kritisisme yang dimaksud ialah mengarahkan lensa berpikir pada persoalan-persoalan sehari-hari yang dihadapi warga.
Persoalan itu mewujud dalam berbagai dimensi sosial, ekonomi, kebudayaan, politik, dan ekologi tentang NTT hari ini dan di masa depan.
Maka sebagai pemilih dan warga NTT, pertanyaannya bukan siapa yang layak memimpin NTT? Bukan pertanyaan Parpol mana yang cocok memenangi Pilgub NTT? Melainkan isu ekonomi, kebudayaan, politik, sosial, dan ekologi apa yang harus diselesaikan di NTT?
Isu seperti ini harus bergulir di ruang publik, agar figur-figur ini punya komitmen, strategi, dan kepemimpinan yang jelas untuk berbuat bagi kepentingan masyarakat NTT.
Tulisan ini akan mendiskusikan Pilgub NTT dari perspektif agraria, dengan melihat nasib petani dan masalah agraria di NTT.
Menurut saya, isu agraria penting didiskusikan sebagai sebuah diskusi publik menjelang Pilgub NTT. Lebih penting dari Pilgub, tulisan ini mengajak kita untuk berpikir kritis tentang nasib petani dan masalah agraria yang mendera rumah tangga petani di tengah kemiskinan dan diamnya negara atas berbagai persoalan agraria di NTT.
Sederet Masalah
Seperti pernah saya tulis di media ini, “kita butuh ‘pengenalan identitas’ dengan melihat fakta-fakta sosial, kultural, ekonomi tentang masalah di NTT” (Ekorantt.com; 4/04/2024). Pengenalan identitas berarti ‘menyerap masalah’ di tengah masyarakat serta memiliki kecakapan untuk menuntaskan masalah lewat pilihan kebijakan.
NTT memiliki sederet masalah dengan berbagai kompleksitasnya. Beberapa di antaranya seperti, masalah di sektor agraria dan penghidupan petani. Masalah ini jarang dibicarakan secara serius di tingkat negara.
Bahkan, masalah agraria dan penghidupan petani kurang dimunculkan dalam berbagai kebijakan negara – sehingga abai dipersoalkan dan ditangani lewat kebijakan.
Ketidakseriusan negara pada masalah petani, misalnya, ditunjukkan lewat sikap pemerintah Nagekeo yang hanya memberi imbauan kepada masyarakat ketika petani pisang tak berdaya menghadapi penyakit darah pisang (Ekorantt.com; 19/04/2024).
Sementara itu, di sektor agraria, perampasan tanah (land grabbing) sudah menjadi cerita sehari-hari yang dihadapi oleh warga di Poco Leok, Sumba, Besipae, dan di banyak tempat lain di NTT.
Sementara itu, pada sektor ekologi, masalah kerusakan lingkungan kerap ditemui. Atas nama investasi demi pertumbuhan ekonomi, banyak lahan pertanian dan ruang ekologi dirusak.
Proyek Geotermal Mataloko adalah salah satu contoh kasus bagaimana perusakan lahan pertanian warga, perusakan ekologi, yang mengakibatkan udara berubah menjadi kotor, dan lahan-lahan produktif menjadi rusak (Tirto.id; 23/08/2022).
Pada sektor pariwisata, berbagai regulasi dan tata kelola pariwisata, seperti di Labuan Bajo, membebani penghidupan warga sekitar. Regulasi dan tata kelola pariwisata yang diterapkan banyak meminggirkan keberadaan warga sekitar.
Potret pariwisata kapitalistik neoliberal, yang mendorong agenda penguasaan pariwisata, lewat privatisasi, justru berjalan berbarengan dengan kemiskinan dan penyingkiran warga.
Di samping masalah tersebut, masalah ketenagakerjaan di luar negeri, seperti di Malaysia, sudah lama menjadi perhatian berbagai pihak. Masalah ketenagakerjaan mewujud dalam bentuk ‘human trafficking’. Mirisnya, selama rentang waktu Januari sampai April 2024, sebanyak 26 pekerja migran asal NTT meninggal di luar negeri (Ekorantt.com; 16/04/2024).
Akar Masalah
Akar masalah NTT bisa ditarik lebih jauh ke dalam hidup warga sehari-hari. Berdasarkan sensus pertanian tahun 2023 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah usaha pertanian perorangan di Provinsi NTT sebanyak 901.801 unit. Sementara pada tahun 2013 sebanyak 928.269 unit.
Sementara itu, jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 873.096, sementara tahun 2013 sebanyak 778.854 rumah tangga. Selain itu, jumlah petani milenial yang berumur 19-39 tahun sebanyak 225.185 orang, atau sekitar 25,48 persen dari petani di Provinsi NTT (BPS; 04/12/2023).
Sayangnya, laporan BPS tidak menjelaskan lebih lanjut terkait penghidupan rumah tangga petani ketika menghadapi ‘tekanan pasar’ dan dinamika agraria. Padahal, konteks penghidupan petani di NTT, menurut saya, perlu dilihat dari bagaimana petani di tiap rumah tangga menghadapi tekanan pasar serta dinamika agraria, yang menghambat produktivitas pertanian dan melemparkan petani dari tanahnya.
Laporan BPS juga tidak menjelaskan penghidupan sebagian petani yang tidak memiliki lahan pertanian atau petani proletar penuh. Pengabaian atas petani jenis ini tentu bermasalah, karena tidak melihat secara lebih luas persoalan petani di NTT. Bahwa, ada sebagian petani yang tak memiliki tanah (petani proletar penuh) perlu dipikirkan oleh negara.
Laporan dan data pemerintah kerap melihat persoalan di kalangan petani sebagai hasil dari persoalan individu semata. Dengan melihat berbagai dinamika yang mengelilingi penghidupan rumah tangga petani, kita mampu melihat bahwa persoalan petani di NTT tidak semata-mata terletak pada aspek individu. Melainkan terletak pada dua hal yang mendasari gerak hidup petani.
Pertama, dukungan yang lemah. Ini berkaitan dengan posisi negara yang kurang serius mendorong agenda pertanian petani. Banyak persoalan di kalangan petani di NTT kerap tidak dilihat sebagai ‘masalah publik’ oleh negara. Sikap ‘diam’, dan ‘tidak mau tahu’ menunjukkan ketidakseriusan negara menjawab persoalan yang dihadapi petani.
Banyak petani kehilangan tanah, karena tanahnya dirampas untuk pembangunan maupun kehilangan tanah karena beban utang – harusnya dipikirkan serius oleh negara.
Saya belum menemukan sikap negara terhadap masalah petani yang kehilangan tanah karena utang di bank dan koperasi. Negara pada titik tertentu hanya ‘menghimbau’ yang menunjukkan sebentuk ‘cuci tangan’ atas persoalan petani.
Kedua, tekanan pasar. Harus diakui, persoalan petani di NTT tidak sebatas pada persoalan land grabbing maupun yang sifatnya accumulation by dispossession a la David Harvey. Tetapi, penghidupan petani juga perlu dilihat dari aspek tekanan pasar, yang mewujud dalam bentuk seperti, utang bank/koperasi, tingginya harga kebutuhan pokok rumah tangga, dan komodifikasi ruang hidup petani.
Keberpihakan
Lalu bagaimana Pilgub NTT meletakan masalah di kalangan petani NTT? Menurut saya, ada tiga hal yang bisa kita upayakan di tengah momen Pilgub ini.
Pertama, kampanye politik petani. Maksudnya, kita mendorong wacana-wacana seperti, ‘petani sejahtera’, ‘tanah milik petani’, ‘kembalikan tanah yang dirampas’, ‘hentikan konflik agraria’, ‘kembalikan kedaulatan petani’.
Wacana-wacana seperti ini penting digulirkan di ruang publik agar para figur memiliki perhatian, komitmen, dan serius menyelesaikan masalah petani dan masalah agraria.
Kedua, membuat kesepakatan politik yang melibatkan banyak pihak seperti bakal calon, Parpol, LSM, gereja, akademisi, swasta, birokrasi negara, untuk bersama-sama mendukung dan berkomitmen membangun produktivitas pertanian.
Melalui kesepakatan politik seperti ini, menurut saya, banyak pihak pada gilirannya punya keprihatinan dan keberpihakan pada masalah petani.
Ketiga, wacana reforma agraria di tingkat provinsi dan kabupaten. Pilgub harus berani masuk pada wilayah seperti ini, yakni mendorong wacana dan agenda reforma agraria yang sifatnya kecil di tingkat provinsi dan kabupaten, dengan mendistribusikan tanah negara, tanah gereja, dan tanah para tuan tanah.
Tanah negara, gereja, dan tuan tanah, yang tak terpakai bisa dibagikan kepada petani yang tak memiliki tanah dan petani yang luas tanahnya terbatas/kecil (petani gurem).
Pada akhirnya, Pilgub NTT harus berani mendorong wacana dan agenda perbaikan nasib petani dan keadilan agraria bagi rumah tangga di NTT.
Bahwa, Pilgub bukan semata-mata meraih kekuasaan yang kemudian hanya dinikmati oleh segelintir pihak. Tetapi, Pilgub selain refleksi tentang persoalan, ia juga adalah momen yang penting untuk mendesak diperhatikannya nasib petani dan masalah agraria.
*Patrisius E. K. Jenila, Alumnus Universitas Merdeka Malang dan saat ini tinggal di Jakarta